MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Obyektivitas Agenda Media

Banyak kalangan yang menilai kegiatan stasiun televisi terkait pertarungan Polri dan KPK sebagai provokasi, juga soal kasus Anggoro-Anggodo Widjoyo. Provokasi dalam kegiatan media lebih dipahami sebagai konsep yang selalu menjadi alasan bagi banyak kalangan untuk menyebut kebebasan pers sudah kebablasan. Padahal, pemahaman seperti itu hanya untuk membatasi dan mengendalikan kegiatan media hanya pada wilayah yang sudah diketahui publik.

Dilihat dari peran dan fungís media komunikasi masa, penayangan wawancara televisi dengan Angodo Widjoyo merupakan salah satu bentuk kesadaran pengelola media atas kebebasan pers yang dimiliki. Kebebasan pers sebagaimana disampaikan Westersthall dan McQuail, dapat diukur dari faktor faktualitas, relevansi, netralitas, keseimbangan, dan membela kepentingan orang banyak.
Iklim kebebasan pers di negeri ini memberi jaminan kepada para pengelola televisi untuk bekerja lebih kreatif dalam mendesain pesan, dimana publik diposisikan bukan semata sebagai penerima pesan yang hanya bisa menerima dan mengunyah pesan-pesan tersebut. Pada tataran ini kedudukan pesan bukan lagi sebagai komoditas yang diproduksi oleh media, melainkan ilmu pengetahuan. Dengan asumsi siapa yang menguasai pesan berarti menguasai ilmu pengetahuan, sudah tentu publik media pun punya hasrat yang besar untuk memiliki kekuasaan.

Sebagai ilmu pengetahuan, posisi publik di hadapan media massa sudah menjelma menjadi penyampai pesan sekaligus bagian dari pesan itu sendiri. Ketika sebuah pesan disampaikan media massa dalam bentuk audi visual secara langsung dari lokasi kejadian, batas ruang dan waktu pun mengabur sehingga sekat layar televisi yang memisahkan penerima pesan dengan pemberi pesan menjadi batas maya (virtual). Publik ada di lokasi kejadian, bisa memberikan umpan balik terhadap pesan yang diterimanya berupa penolakan atau penerimaan yang oleh pengelola televisi dihadirkan dalam konsep media interaktif, sehingga pesan menjadi lebih kaya dan lebih berkarakter sebagai ilmu pengetahuan.


Agenda Media

Maraknya kehadiran stasiun televisi di negeri ini, tidak cuma memperkaya khazanah pesan yang diterima publik. Tapi, pesan menjadi lebih berkualitas karena lahir dari persaingan kreatif antarpengelola media televisi untuk menjadi satu-satunya media rujukan publik. Jika Deborah Potter dalam bukunya, Handbook of Independent Journalism (2006), mengatakan wartawan mendapat berita dari: (1) peristiwa-peristiwa yang terjadi secara natural atau alami; (2)aneka aktivitas yang direncanakan; dan (3)usaha-usaha yang dilakukan pekerja pers, maka para pengelola media televisi cenderung menggabungkan tiga hal itu dalam menyajikan berita.
Penggabungan itu menjadi strategi yang banyak ditempuh semua pengelola televisi, menyebabkan mereka lebih mempercayai bahwa informasi yang sebenarnya tentang kriminalitas dan kejahatan adalah informasi yang tidak pernah dilaporkan aparat penegak hukum kepada publik. Sebab itu, media televisi harus mengambil alih peran sebagai penyampai informasi-informasi yang disimpan “di bawah tanah” itu kepada publik dengan berbagai upaya yang acap diajarkan dalam teknik investigatif reporting. Kemampuan teknis pencarian bahan berita setiap awak media di lapangan kemudian menentukan kualitas pesan yang disampaikan kepada publik, sehingga publik televisi kemudian bisa menyimpulkan hanya satu stasiun televisi di negeri ini yang mampu menghadirkan Aggodo Widjoyo.

Menghadirkan Anggodo Widjoyo di hadapan publik dalam sebuah acara televisi sementara aparat penegak hukum memiliki kesulitan untuk melakukannya, tidak terjadi begitu saja. Inilah yang disebut sebagai agenda media untuk melunasi rasa penasaran publik atas kedigdayaan seorang Anggodo yang mampu membuat publik mengalihkan perhatian dari isu peningkatan kesejahteraan masyarakat kepada isu suap, korupsi, dan kebobrokan penegakan hukum di negeri ini.

Agenda media lahir dengan konsep yang jelas (concept of agenda setting) dan bisa diukur oleh publik. Konsep agenda setiap media sangat tergantung pada kemampuan teknis pengelola media untuk menanamkan sebuah isu secara berulang-ulang dalam benak publik, sehingga publik pun berusaha untuk menambah terus pengetahuan dan pemahamannya terkait isu tersebut. Kart Lang dan Gladis Ángel Lang dalam Communication Theories: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media (2001) menyebut media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat.

Fungsi agenda media dalam kasus wawancara Anggodo Widjoyo bukan untuk memprovokasi publik, tetapi memberikan alasan-alasan alternatif kepada publik agar mempertimbangkan sebuah pesan. Bagi pengelola media televisi, publik diposisikan sebagai pencari pengetahuan yang aktif dan mengambil tindakan termasuk dalam mempertimbangkan sebuah pesan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Secara psikologis setiap publik pemirsa di negeri ini membangun dunia dalam kepalanya dari tumpukan konsep-konsep ideal yang sangat kental akan nilai-nilai etis yang didapat dari lingkungan sekitarnya.

Pada kasus wawancara Anggodo Widjoyo, pengelola media berhasil menyesuaikan agenda media dengan agenda publik. Tentu, penyesuaian ini tidak didapat begitu saja tanpa penguasaan atas agenda publik, sehingga wacana yang dilontarkan media sesuai dengan apa yang dibutuhkan publik. Tapi, tidak semua pengelola media berhasil menempuh strategi seperti itu. Ada pengelola media yang justru terjebak dengan agenda media yang didesain, terutama karena tidak mampu memisahkan antara kepentingan publik dengan orientasi bisnis media bersangkutan.

Di sinilah posisi publik tidak semata penerima pesan yang bisa dicekoki kepentingan pengelola media. Sebab itu, konsep agenda media dalam strategi penyampaian informasi tentang sebuah wacana, mestilah disesuaikan dengan konsep agenda publik. Tanpa pemahaman terhadap agenda publik, strategi agenda media akan terjerumus pada provokasi publik dan tak ada solusi yang ditawarkan di sana untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi publik.
Agenda publik tentang penegakan hukum di negeri ini sesuai dengan agenda media televisi yang ingin mengungkap objektivitas penegakan hukum dalam kasus KPK. Sebab itu, ketika wawancara Aggodo Widjoyo disiarkan televisi setelah melalui perencanaan, hasil wawancara itu kemudian menemukan signifikansinya dengan persepsi publik mengenai buruknya penegakan hukum di negeri ini. Akibatnya, publik menjadikan penegakan hukum yang seadil-adilnya menjadi agenda publik, sehingga para penegak hukum dituntut bertindak sesuai koriodor hukum yang berlaku.
Meskipun masalah penegakan hukum merupakan masalah krusial yang solusinya hampir tidak ditemukan di negeri ini, namun pada tingkat persepsi publik sebetulnya penegakan hukum bisa dilakukan apabila aparat penegak hukum bekerja sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Tapi, upaya media membangun persepsi publik terus-menerus bahwa penegakan hukum di negeri ini sangat buruk, maka persepsi itulah yang tumbuh dalam diri publik. Pengetahuan dan pemahama publik mengenai realitas penegakan hukum adalah apa yang mereka terima dari media.
Objektivitas Media
Besarnya peran yang dapat dimainkan media dalam menentukan agenda publik, sebetulnya membawa dampak serius terhadap konstruksi sosial masyarakat. Sebab itu, publik juga harus memahami bahwa agenda media memiliki kelemahan terkait objektivitas di lapangan. Liputan media sering tidak memiliki kesesuaian dengan kejadian-kejadian dalam realitas. Kondisi ini terjadi karena pemahaman pengelola media terkait objektivitas bertolak belakang dengan pemahaman umum.
Bagi pengelola media, pesan yang disampaikan bukan peristiwa objektif yang terjadi di lingkungan masyarakat. Pesan merupakan rekonstruksi peristiwa, dan peristiwa adalah konstruksi sosial-historis. Artinya, pesan merupakan hasil pengamatan indrawi pengelola media terhadap peristiwa, yang kemudian dikontruksi ke dalam mata acara yang akan ditayangkan kepada publik.
Proses rekonstruksi peristiwa yang dilakukan pengelola media merupakan proses yang sangat subjektif. Proses ini sudah melalui persepsi pengelola media, yang dipengaruhi oleh kerangka acuan (frame of reference) dan lingkup pengalaman (field of experience). Sebab itu, pemahaman yang sama pada pengelola media mengenai sebuah peristiwa misalnya tentang buruknya penegakan hukum di negeri ini, tanpa disadari kemudian membuat semua pengelola media menampilkan agenda media yang sama.
Agenda media yang sama antarpengelola media (intermedia agenda setting) inilah yang berpotensi memprovokasi publik. Pesan dalam media sebagaimana dipahami Denis McQuail dalam Media Performance, Mass Communication and the Public Interest (1992) dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam yang memengaruhi. Termasuk faktor luar adalah investor, kelompok penekan (pressure group), pemerintah, dan institusi sosial-politik. Faktor dalam: narasumber, pemilik media, pemasang iklan, dan khalayak/pembaca.
Ada idiologi dalam pesan media yang sangat mungkin tidak cocok untuk publik. Sebab itu, publik jangan mau membiarkan pesan media mengubah pengetahuan dan pemahamannya tentang sebuah wacana, tetapi harus mempersiapkan diri sebelum memutuskan memirsa televisi. Sebab, objektivitas bagi pengelola media adalah dimensi, bukan nilai, sehingga ada gradasi di dalamnya. Publik hanya dapat menakar kadar objektivitas suatu berita, tetapi tidak dapat mengategorikannya secara dikotomis: objektif atau tidak objektif.
Dengan bingkai pemikiran seperti itulah, media harus berpihak, tidak berpretensi bahwa dirinya adalah entitas objektif yang hidup dalam ruang hampa. Bingkai pemikiran itu didasari oleh paradigma baru komunikasi transaksional, ketika pesan diinterpretasikan bersama-sama oleh komunikator dan komunikan. Berbeda dari paradigma komunikasi transmisi yang seolah-olah komunikator dengan mudahnya menginterpretasikan dan menyampaikan pesan/informasi kepada komunikan. Paradigma baru tidak menuntut kesamaan interpretasi, sejalan dengan arus reformasi yang membuka ruang bagi demokratisasi. Dalam ranah itulah, media menemukan posisinya sebagai ruang publik (public sphere)