Ompung Godang terbaring sakit di tempat tidur. Tubuhnya lemah, antara sadar dan pingsan, dan aku merasa tubuh itu sangat cepat menjadi kurus, tepatnya menjadi kering seakan-akan ada yang menyedot dagingnya.
Sudah sepekan Ompung Godang menderita suatu penyakit yang belum kami ketahui, belum pernah ada orang yang menderita penyakit semacam itu, dan Ompung Godang menolak dibawa ke rumah sakit sambal berkata kepada ayah, dengan suara yang nyaris hilang, bahwa para dokter tidak akan tahu jenis penyakit yang dideritanya karena penyakitnya bukan penyakit biasa. Ayah selalu mendengarkan apapun yang Ompung Godang katakan, dan perkara penyakit yang diderita oleh Ompung Godang, ayah akhirnya memutuskan untuk tidak membawa Ompung Godang ke rumah sakit. Keputusan ayah itu membuat ibu tidak senang, terus memaksa agar ayah membawa Ompung Godang ke rumah sakit, kemudian melepaskan kalung emasnya dan memberikannya ke ayah agar dijualkan supaya ada uang untuk biaya perobatan Ompung Godang. Namun, setelah ayah menjelaskan bahwa persoalannya bukan tentang ada atau tidak ada uang untuk membayar ongkos perobatan, tetapi lantaran Ompung Godang sendiri paham apa yang sedang dideritanya, dan penjelasan itu membuat ibu tidak lagi mendesak meskipun ia mengaku tidak mengerti bagaimana bisa rumah sakit tidak akan mampu menyebuhkan penyakit Ompung Godang.
Kesehatan Ompung Godang yang memburuk terjadi begitu saja, tidak ada gejala awal sebagaimana orang menderita suatu penyakit. Setiap pagi, ia selalu bangun lebih dahulu dari siapapun di dalam rumah, selalu saat jarum jam menunjukkan angka pukul 04.00 Wib, lalu membuka pintu kamarnya yang engselnya mengeluarkan suara derit. Suara derit itu selalu membangunkan aku, dan, sebagaimana orang yang sudah terbiasa, aku akan segera keluar dari kamar tidurku, membuka pintu kamar dan melihat Ompung Godang sedang berjalan menuju kamar mandi. Begitu Ompung Godang keluar dari kamar mandi, ia sudah mengambil air wudhuk, dan bersamaan dengan itu terdengar suara orang mengaji, berkumandang dari corong pengeras suara masjid. Ompung Godang kemudian menyuruhku mengambil air wudhuk, dan kami akan berangkat ke masjid bersama-sama. Tapi, pada hari kami mengetahui kondisi kesehatan Ompung Godang sudah memburuk, hari itu ia tidak keluar dari kamar seperti biasa dan suara engsel berkarat itu tidak terdengar. Aku pun tidak terbangun. Ibu yang membangunkan aku, kemudian menyuruhku membangunkan Ompung Godang ke kamar tidurnya karena waktu sholat Subuh mulai habis, dan aku mendapati Ompung Godang tidak bergerak sama sekali. Pemandangan itu membuat aku khawatir, buru-buru aku laporkan kondisi Ompung Godang kepada ayah.
Sepengetahuan aku, Ompung Godang tidak pernah menderita sakit apapun selama hidupnya, baik sakit ringan apalagi sakit keras. Begitu juga halnya dengan Ompung Boru. Keduanya selalu tampak sehat walafiat, ke mana-mana selalu berdua, dan saat mereka berduaan, misalnya ketika mereka berjalan-jalan pada pagi hari selepas menjalankan sholat Subuh berjamaah di masjid, melihat mereka adalah pemandangan yang sangat menyenangkan hati. Mereka selalu mesra dan tampaknya mereka sengaja mempertontonkan kemesraannya kepada semua orang di kota kecil kami, seakan-akan mereka sedang berkata bahwa pasangan suami-istri itu harus seperti mereka, selalu bersama sampai maut memisahkan.
Mereka tinggal di rumah panggung yang besar dan berhalaman luas, satu-satunya rumah panggung yang masih mempertahankan arsitektur lamanya di kota kecil kami. Ayah dan tiga saudaranya, Amangtua Torkis, Amangtua Baginda, dan Amangtua Tondi, lahir di rumah panggung itu. Setelah dewasa, keempat anak-anak Ompung Godang berangkat ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di perguruan tinggi negeri, dan perguruan tinggi hanya ada di kota lain, maka sejak itu mereka jarang pulang. Suatu hari di tahun 1970-an, setelah keempat anak-anak Ompung Godang sudah berumah tangga dan tinggal di empat kota berbeda, Ompung Godang meminta salah seorang dari empat anaknya agar pulang dan tinggal di kota kecil kami dengan alasan harus ada dari anak-anaknya yang tinggal agar keturunannya tidak terputus secara kultural dengan orang-orang di kota kecil kami. Kata Ompung Godang, barang siapa dari empat anaknya bersedia tinggal bersamanya, maka anak itu akan bertanggung jawab mengelola semua harta milik Ompung Godang.
Dari keempat anak-anak Ompung Godang, hanya ayah yang bersedia, dan keputusan ayah untuk pulang ditentang oleh ibu dengan alasan kami tidak membutuhkan harta warisan Ompung Godang karena kehidupan kami sangat baik dan lebih dari sekadar berkecukupan. Tapi ibu kemudian memahami setelah ayah memberi penjelasan tentang betapa pentingnya menjaga kelestarian budaya agar generasi muda memahami akar budaya asal mereka di dalam menjalani kehidupan, meskipun di kemudian hari, terutama bila terjadi perdebatan antara ayah dengan ibu, tidak jarang ibu menyesalkan keputusan itu.
Sebelum ayah memutuskan pulang kampung, kami tinggal di Pangkalan Berandan, hidup bertetangga dengan masyarakat Melayu pesisir yang hidup sebagai nelayan, dan ayah bekerja sebagai tenaga engineering di sebuah kilang minyak lepas pantai milik sebuah perusahaan minyak berlogo kuda berunding. Kata ibu, pekerjaan ayah sangat bagus dan mestinya jabatan ayah sudah tinggi kalau saja ayah tetap bertahan di perusahaan minyak itu. Tapi ayah tidak sepakat dengan pendapat ibu soal pekerjaannya di perusahaan minyak itu, karena ayah merasa tidak nyaman bekerja bersama orang-orang yang tidak pernah mengurusi pekerjaan dengan profesional dan lebih memilih melakukan pendekatan-pendekatan personal terhadap pimpinan perusahaan untuk mendapatkan jabatan dan kedudukan. Itulah alasan ayah memilih meninggalkan pekerjaannya yang bagus untuk tinggal di kota kecil kami meskipun belum punya gambaran yang jelas tentang pekerjaan yang akan dilakukannya setelah pulang. Pilihan itu dibuat ayah karena ia ingin merawat orang tuanya, yaitu Ompung Godang dan Ompung Boru, selain juga karena ayah sudah bisa membayangkan kalau ia akan tersingkir dari perusahaan berlogo kudang berunding itu suatu hari nanti karena ia tidak pernah berpikir untuk melakukan pendekatan personal kepada siapa pun demi mendapatkan jabatan.
Sebagai ucapan terima kasih, Ompung Godang kemudian membangunkan sebuah rumah sederhana untuk ayah, letaknya sekitar 500 meter dari rumah panggung. Rumah sederhana itu dibangun di atas tanah warisan Ompung Godang, dan di rumah sederhana itulah kami tinggal. Saat menyerahkan kunci rumah itu, Ompung Godang berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada ayah atas pilihannya yang sangat berat untuk pulang sambil menjanjikan kalau kehidupan ayah tidak akan menjadi lebih buruk setelah ia kembali ke kota kecil kami. Ompung Godang mengatakan ia sangat memahami karakter ayah, yang menurut Ompung Godang karakter itu berbeda dengan karakter tiga saudara ayah lainnya, dan sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya Ompung Godang sangat berharap agar ayah yang memutuskan untuk pulang ke kota kecil kami. Dan benar, setahun setelah kami pindah ke kota kecil kami, Ompung Godang meminta ibu untuk mempersiapkan berkas-berkas administrasi kependudukan ayah dan menyerahkan berkas-berkas itu kepada Ompung Godang tanpa sepengetahuan ayah. Ompung Godang mengatakan kepada ibu kalau ia ingin memberikan kejutan kepada ayah dan ayah tidak boleh mengetahui hal itu sampai Ompung Godang memberitahu sendiri kejutan itu langsung kepada ayah. Meskipun tidak mengerti apa keinginan Ompung Godang, ibu tetap memenuhi permintaan Ompung Godang. Beberapa bulan kemudian ternyata bukan ayah saja yang mendapat kejutan, tetapi juga ibu dan hampir semua orang di kota kecil kami.
Secara tiba-tiba dua orang utusan dari Bupati datang menemui ayah di rumah dan menyampaikan kabar baik bahwa ayah mendapat kepercayaan untuk menjadi Kepala Desa, menggantikan posisi Kepala Desa yang sudah beberapa bulan kosong karena pejabat sebelumnya, Baginda Hasian, memutuskan mengundurkan diri. Mendapat kejutan yang luar biasa itu, ayah lebih banyak diam, dan itu artinya ayah sedang berpikir keras tentang bagaimana bisa dirinya ditunjuk menjadi Kepala Desa. Ibu yang meladeni kedua utusan itu, berkali-kali ibu mengucapkan terima kasih dengan sikap ramah dan lembut, dan ibu mengantarkan kedua utusan itu sampai ke pintu. Setelah kedua utusan itu pergi, ayah mengajak ibu menemaninya ke rumah panggung untuk menemui Ompung Godang dan Ompung Boru karena ayah sangat yakin kalau Ompung Godang sangat berperan dalam hal ini.
Ompung Godang ternyata sudah menduga kalau ayah akan menemuinya, dan Ompung Godang bersama Ompung Boru sudah menunggu kedatangan orang tuaku di teras rumah panggung. Begitu melihat orang tuaku muncul di halaman rumah, Ompung Godang dan Ompung Boru sudah berteriak dari teras rumah panggung itu, menyuruh orang tuaku agar segera mendekat. Begitu orang tuaku berada di hadapan Ompung Godang dan Ompung Boru, tidak ada kata yang diucapkan, hanya tatapan Ompung Godang dan Ompung Boru menyiratkan rasa bangga luar biasa atas apa yang baru diperoleh ayah.
“Kau pasti bertanya-tanya kenapa?” kata Ompung Godang, seakan-akan ia sudah bisa menebak isi kepala dan isi hati ayah, dan Ompung Godang kemudian menjelaskan semuanya. Katanya, sebagai tokoh masyarakat di kota kecil kami, Ompung Godang tahu persis kalau para pejabat di pemerintahan itu bukanlah orang-orang yang mau bekerja untuk memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi bekerja untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasannya, termasuk soal bagaimana meyakinkan masyarakat banyak agar terus mendukung Golongan Karya, partai politik yang sedang berkuasa di pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto. Sebagai seorang pensiunan pegawai negeri, Ompung Godang sangat dekat dengan pengurus-pengurus Golongan Karya, dan ia menemui para pengurus itu untuk menyampaikan bahwa ayah, anaknya yang bernama Baginda Haholongan, sangat cocok dijadikan sebagai Kepala Desa karena masyarakat akan mendukungnya. Kata Ompung Godang, jika ayah dijadikan Kepala Desa, maka Ompung Godang akan ikut meyakinkan semua orang untuk terus mendukung Golongan Karya dengan cara memilihnya saat Pemilihan Umum digelar, sehingga partai politik ini akan tetap bisa berkuasa.
Ayah hanya diam mendengar cerita Ompung Godang. Ketika Ompung Godang dan Ompung Boru silih bergantian menasehati ayah agar menerima pekerjaan sebagai Kepala Desa karena tugas dan tanggung jawabnya sangat cocok dengan karakter ayah yang gemar mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada orang lain serta sangat perduli pada kondisi di lingkungannya. “Kami tahu apa yang cocok untuk orang seperti kau,” kata Ompung Godang. “Agar kau tahu, inilah tujuan kenapa kami justru lebih senang jika kau yang memutuskan untuk pulang ketimbang ketiga saudaramu.“
Begitulah akhirnya, ayah menjadi Kepala Desa. Seperti yang diharapkan Ompung Godang, ayah menjelma menjadi generasi penerusnya, dihormati oleh semua orang di kota kecil kami. Aku ingat dengan sangat jelas kata-kata Ompung Godang ketika ia membanggakan ayah di hadapanku, lalu meminta aku agar menjadikan ayah sebagai panutan, kemudian Ompung Godang bercerita bagaimana ayah saat masih sesusia dengan aku. Cara Ompung Godang bercerita membuat aku bisa membayangkan bagaimana situasi saat ayah masih seusia dengan aku, seakan-akan Ompung Godang sedang menaruh sebuah layar lebar di hadapanku dan ia memutar sebuah film yang mengisahkan riwayat ayah. Aku melihat bagaimana ayah beriteraksi dengan Ompung Godang, bagaimana tiga saudara ayah sering memperlakukan ayah dengan sesuka hati mereka, bagaimana ayah memperlakukan kawan-kawan sebayanya seakan-akan mereka memiliki hubungan darah yang begitu erat, dan bagaimana ayah menghormati semua orang tua di kota kecil kami. Sejak kecil ayah sudah menjadi panutan bagi anak-anak lain, dan Ompung Godang mengaku sangat bangga dengan karakter ayah, sesuatu yang tidak ditemukan Ompung Godang di dalam diri tiga anaknya yang lain.
Lantaran Ompung Godang begitu piawai bercerita, aku dan anak-anak sebayaku sering mengunjungi Ompung Godang ke rumah panggung dan memintanya menceritakan dongeng atau apa saja tentang masa lalu di kota kecil kami. Ompung Godang menuhi permintaan kami sambil sekali-sekali ia memberikan nasehat, lalu sekali-sekali ia menyampaikan harapannya yang luar biasa kepada kami agar kelak menjadi generasi muda yang bisa dibanggakan orang tua masing-masing. Selama kami sering mendengarkan Ompung Godang bercerita, aku tidak pernah punya ingatan kalau Ompung Godang pernah masuk rumah sakit atau dirawat di rumah sakit, atau minimal mengeluhkan rasa sakit pada tubuhnya. Ompung Godang selalu sehat. Kata ayah, kondisi kesehatan Ompung Godang sudah seperti itu sejak dulu, sejak ayah masih kecil.
Berbeda halnya dengan kondisi kesehatan kawan-kawan sebaya Ompung Godang. Sudah banyak dari mereka yang menghadapi Ilahi, dan sebelum kematian mereka, berkali-kali pihak keluarganya harus membawa mereka ke rumah sakit untuk berobat. Misalnya, almarhum Mangaraja Botari--orang yang semasa hidupnya pernah menjadi pejabat di kantor pemerintahan daerah dan hidup sebagai orang tua pensiunan yang sangat dihormati--sebelum kematian menjemputnya, ia harus menjalani perawatan dari satu rumah sakit ke lain rumah sakit selama lebih empat tahun. Mula-mula ia mendapat serangan stroake ringan, membuat kakinya kaku seakan-akan tak ada persendiannya, belakangan ia terkena serangan jantung. Semua penyakit itu datang silih berganti, memaksa keluarganya membawanya menemui dokter spesialis yang berbeda-beda. Setelah seluruh hartanya terkuras hingga tidak ada lagi tersisah untuk ditinggalkan sebagai warisan kepada anak dan cucunya, Mangaraja Botari kemudian menghembuskan nafas terakhir saat berobat di Penang.
Mangaraja Botari adalah ayah dari Baginda Hasian, Kepala Desa yang terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya karena harus mencurahkan waktu membawa ayahnya berobat ke mana-mana. Kematian Mangaraja Botari membuat kawan sebaya Ompung Godang di kota kecil kami hanya tinggal seorang, yakni Ompung Idris. Cuma, tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana kondisi kesehatan Ompung Idris, karena laki-laki tua itu memutuskan mengurangi bertemu dengan orang lain. Ayah mengaku sering menemui Ompung Idris ke rumahnya, bukan karena ayah seorang Kepal Desa yang harus mengetahui kondisi rakyatnya, tapi karena ayah ingin terus membina hubungan persahabatan antara Ompung Godang dengan Ompung Idris yang sudah terbina sejak mereka masih kecil. Kata ayah, Ompung Godang sangat menghargai semua orang yang pernah dekat dengan dirinya di masa lalu, terutama orang-orang yang pernah berjuang bersamanya melawan penjajah Belanda, dan Ompung Godang menjadikan orang-orang itu sebagai saudara sedarah yang harus diperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Mangaraja Botari salah seorang dari orang yang sudah dianggap Ompung Godang sebagai saudara sedarah. Ketika Mangaraja Botari berobat dan membutuhkan banyak uang, Ompung Godang sering membagi hartanya dan tidak berharap akan dibayarkan. Itu sebabnya, kematian Mangaraja Botari membuat Ompung Godang sangat kehilangan, tetapi Ompung Godang tidak pernah bersedih berlarut-larut, meskipun ia sering merasa bahwa Tuhan sengaja memberinya umur panjang agar bisa menyaksikan kepergian dari orang-orang yang dicintai dan dikenalinya. Ompung Godang mengaku bersyukur atas umur panjang yang diberikan Tuhan.
Usia Ompung Godang 79 tahun lebih beberapa bulan. Dalam usia serenta itu, hal yang wajar apabila kondisi fisik Ompung Godang melemah. Tapi, nyatanya, Ompung Godang tetap gagah. Memang, pernah sekali Ompung Godang mendadak seperti orang linglung dan lemah, dan itu terjadi beberapa menit setelah Ompung Boru menghembuskan nafas terakhirnya. Ompung Godang duduk bersila seperti arca di dekat mayat Ompung Boru. Ia tidak menyahut ketika ditegur. Matanya menatap ke depan, ke mayat yang membujur di hadapannya, terlihat begitu kosong. Ibu berusaha menenangkan Ompung Godang, tetapi ayah memberi isyarat agar jangan mengusik Ompung Godang. Kata ayah, Ompung Godang sangat terpukul atas kepergian Ompung Boru, dan perasaan seperti itu biasa diderita oleh pasangan yang sudah puluhan tahun menikah dan akhirnya dipisahkan oleh kematian pasangannya. Mereka yang ditinggalkan oleh pasangannya akan merasa bahwa sebagian dari dirinya ikut dibawa oleh pasangannya yang telah pergi. Berada dalam situasi psikologis seperti itu, siapa saja akan merasa sangat tertekan, akhirnya kehilangan rasa percaya diri.
Peristiwa
kepergian Ompung Boru itu sangat mendadak, terjadi lima tahun lalu, di mana
Ompung Boru tiba-tiba merasakan dadanya begitu sesak. Saat itu sore menjelang
Magrib, Ompung Godang dan Ompung Boru sedang di teras rumah seperti biasa, dan
masing-masing sibuk dengan kegiatannya. Ompung Godang sedang membaca kitab
tafsir Quran, dan Ompung Boru sedang menisik kain sarung yang robek. Saat
keduanya sama-sama larut dengan kesibukan masing-masing, tiba-tiba Ompung Boru
mengeluhkan dadanya terasa sesak. Dan, tiba-tiba, tubuhnya mengejang. Ompung
Godang reflex menangkap tubuh Ompung Boru sebelum jatuh ke lantai teras, lalu
berteriak-teriak memanggil-manggil namanya. Suara Ompung Godang saat berteriak
itu terdengar sampai ke rumah tetangga di kiri dan kanan, dan mereka bergegas
menghampiri karena khawatir telah terjadi sesuatu terhadap pasangan tua itu.
Benar
apa yang ayah katakan, Ompung Godang akhirnya pulih seperti sediakala, hanya
beberapa hari setelah pemakaman Ompung Boru. Ia berusaha membangun kesan bahwa
ia sangat iklas atas kepergian Ompung Boru, dan berusaha kembali kepada
kebiasaan lamanya, tiap sore ia duduk di teras rumah sambil membaca kitab
tafsir Quran. Kebiasaannya bercerita kepada aku dan kawan-kawanku tetap
berlanjut. Tapi, ada yang berubah sedikit, yakni Ompung Godang mulai jarang sholat
berjamaah di masjid, mungkin ia masih teringat kepada Ompung Boru setiap kali
berjalan kaki menuju masjid.
Lantaran perubahan Ompung Godang itu, ibu mengusulkan kepada ayah agar Ompung Godang tinggal bersama kami atau sebaliknya kami yang tinggal di rumah panggung supaya bisa merawat Ompung Godang. Kata ibu, ia ingin merawat Ompung Godang dan ibu meyakinkan ayah kalau orang tua seusia Ompung Godang itu tidak bisa menikmati sembarangan makanan sehingga perlu ada orang yang khusus menjaga makanannya. Ayah setuju dan membicarakan keinginan ibu itu kepada Ompung Godang, dan pembicaraan itu justru membuat Ompung Godang menagis haru.
Ompung Godang memanggil ibu sebagai “inang parumaen” dan kata “inang” itu berarti ibu, karena begitulah adat dalam masyarakat Angkola di mana seorang ayah mertua memposisikan menantu perempuannya sama persis seperti posisi ibu kandungnya. Itu sebabnya, perhatian ibu yang begitu besar terhadap Ompung Godang mengingatkan Ompung Godang kepada almarhuman ibunya, dan Ompung Godang menerima keputusan untuk tinggal bersama kami tetapi kami yang harus pindah ke rumah panggung.
Orang-orang di kota kecil kami sangat mendukung ketika kami pindah ke rumah panggung. Kepindahan kami membawa perubahan besar pada diri Ompung Godang, karena ia kembali sangat bersemangat dan bergairah. Ompung Godang kembali menjalankan sholat berjamaah di masjid, dan aku yang mendapat tugas berjalan mengiringinya, mengantikan posisi almarhumah Ompung Boru yang selalu mendampinginya selama ini. Di masjid, Ompung Godang sering ditunjuk sebagai imam sholat berjamaah, dan setiap kali usai sholat berjamaah, ada saja warga yang mendatanginya dan meminta nasehat tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi dalam kehidupan. Tidak sedikit yang meminta nasehat di bidang agama, menanyakan hal-hal berkaitan ibadah, yang membuat Ompung Godang sangat bahagia ketika memberikan penjelasan kepada mereka. Aku bangga menjadi cucunya. Orang-orang selalu mengingatkan aku kepada kebaikan-kebaikannya. Ingatan itu membuat orang-orang selalu menghormatiku sebagai cucunya. Orang-orang mengharapkan agar aku bisa menjadi penerus Ompung Godang, menjadi orang yang selalu akan dibanggakan orang lain.
Saat usia Ompung Godang tepat 80 tahun, itu terjadi sepekan yang lalu, tiba-tiba Ompung Godang jatuh sakit. Tubuh tua yang terlihat gagah itu mendadak lemah, tapi ia tidak punya keluhan. Ia menolak dibawa ke rumah sakit, meminta agar dibaringkan saja di tempat tidur di kamar tidurnya. Saat berbaring, Ompung Godang berkali-kali mengigau kalau waktunya akan tiba. Ayah membisikkan ke telinganya, meminta Ompung Godang agar istigfar. Ompung Godang tak merespon saran ayah. Ayah mengajari Ompung Godang cara beristigfar, tapi Ompung Godang bagai tak sadarkan diri meskipun selalu mengigaukan hal yang sama.
Dan hari itu, setelah tiga orang abang ayah – aku memanggil ketiganya Amangtua-- datang, tiba-tiba Ompung Godang terbangun dan memberi isyarat agar ayah mendekat. Ayah mendekat dan Ompu Godang membisikkan sesuatu kepada ayah. Tiga orang Amangtua meyaksikan saat Ompung Godang berbisik, lalu saling pandang satu dengan lainnya. Ayah kemudian bangkit dari tempat duduknya, menatapku sekilas, lalu ke luar dari kamar.
Amangtua Torkis, saudara ayah yang paling tua, bangkit dari tempat duduknya dan keluar, mengikuti ayah. Aku menduga Amangtua Torkis akan menghampiri ayah untuk menanyakan apa yang dibisikkan Ompung Godang. Amangtua Baginda, abang ayah nomor dua, melirik Amangtua Tondi, abang ayah nomor tiga, dan keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tidak memahami apapun. Aku yang justru khawatir Amangtua Torkis akan bertindak kasar kepada ayah. Aku bangkit, bermaksud mengikuti Amangtua Torkis, tapi ibu memberi isyarat agar aku jangan keluar.
Amangtua Torkis tiba dua hari lalu setelah mendapat kabar kalau Ompung Godang sakit parah. Ia tinggal di Jakarta, sudah puluhan tahun tak pernah pulang karena kesibukannya sebagai seorang pengusaha. Amangtua Baginda yang tinggal di Medan sudah sampai sehari sebelumnya, sementara Amangtua Tondi yang tinggal di Bandung, sampai lebih dahulu beberapa jam dibandingkan Amangtua Torkis.
Sejak ketiga Amangtuaku ini datang, aku berkali-kali memergoki mereka sedang membicarakan kondisi Ompung Godang dan mereka meyakini kalau Ompung Godang tak akan bertahan lebih lama lagi. Aku kaget mendengar percakapan itu. Aku membayangkan mereka akan prihatin dengan kondisi Ompung Godang, dan hal itu membuat mereka bersedih. Ternyata tidak, mereka justru berharap Ompung Godang cepat pergi dan mereka membicarakan harta yang ditinggalkan Ompung Godang.
Semasa hidupnya, Ompung Godang termasuk orang yang sangat kaya. Ia punya beberapa petak rumah, beberapa petak sawah, dan beberapa petak kebun. Selama ini ayah yang mengurus dan mengelola semua harta Ompung Godang itu. Ayah menyewakan rumah, sawah, dan kebun kepada orang lain, terutama mereka yang secara ekonomi sangat lemah. Untuk sawah dan kebun, ayah menerapkan system bagi hasil; 1/3 untuk Ompung Godang sebagai pemilik harta dan 2/3 untuk penggarap tanah. Ayah yang menunjuk siapa yang berhak menggarap sawah maupun ladang, tetapi ayah tidak pernah tahu bagaimana hasil dari penggarapan itu. Ayah menyerahkan urusan hasil kepada Ompung Godang dan Ompung Godang yang berhubungan langsung dengan semua orang yang menyewa rumahnya, atau orang yang menggarap sawah maupun ladangnya. Uang hasil sewa rumah serta bagi hasil garapan sawah dan ladang disimpan Ompung Godang di tabungannya di kantor pos, disatukan dengan uang pensiunannya, dan aku yang selalu menemani Ompung Godang setiap kali pergi ke Kantor Pos di kota kecil kami.
Aku dengar Amangtua Torkis mengatakan, ayah tidak akan mendapat bagian dari harta yang diwariskan Ompung Godang karena ayah sudah menikmati hasilnya selama ini. Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi sepakat dengan saran Amangtua Torkis. Apa yang aku dengar itu aku ceritakan kepada ayah. Ayah justru memarahiku dan mengatakan kalau ketiga saudaranya itu tidak akan mau mencelakainya hanya karena harta warisan. Alasan ayah, ketiga saudaranya itu memiliki kekayaan melebihi jumlah harta warisan Ompung Godang, sehingga mereka tidak akan memperdulikan harta warisan itu.
“Jangan pernah mengupingi percakapan orang tua,” kata ayah.
Ayah
ternyata meninggalkan rumah dan tidak pernah memberitahu ke mana ia pergi dan
apa yang dibisikkan Ompung Godang. Ketika azan Magrib berkumandang, ayah belum
juga pulang. Para kerabat dan tetangga masih terus berdatangan untuk membezuk
Ompung Godang. Mereka menyatakan prihatin dengan kondisi Ompung Godang sambil
bercerita tentang kebaikan-kebaikan Ompung Godang selama ini.
Sementara ketiga Amangtuaku sedang di ruang tamu,
tampak sangat serius membicarakan sesuatu. Aku menduga kalau mereka masih
membicarakan tentang pembagian harta warisan Ompung Godang. Kali ini aku tidak
mau mengupingi percakapan mereka seperti kata ayah. Aku berpura-pura tidak
mendengar percakapan mereka, pergi ke halaman rumah untuk menunggu ayah pulang.
Di
halaman aku mendapati ibu. Sama seperti aku, ibu juga sedang menunggu ayah
pulang. Ibu tampak khawatir, tetapi ia berhasil menutup-nutupi rasa khawatirnya
di hadapanku. Ibu menyuruh aku masuk. Aku bilang ingin menunggu ayah pulang.
Ibu ngotot menyuruh aku masuk. Aku agak kecewa dan tetap masuk.
Masih
di pintu rumah, tiba-tiba terdengar suara sepeda motor ayah. Aku berbalik dan
melihat ayah mengendarai sepeda motornya, masuk ke halaman rumah. Ayah memboncengi
seseorang, seorang laki-laki tua seusia dengan Ompung Godang yang belum pernah
aku lihat sebelumnya. Laki-laki tua itu memakai peci hitam, mengenakan baju dan
celana serbahitam, dan ia turun dari boncengan sepeda motor. Setelah melirik ke
arah ibu, ayah membawa laki-laki tua itu masuk.
Aku
ikut masuk bersama ayah. Tiga Amangtuaku kaget melihat ayah muncul bersama
laki-laki tua itu. Ayah tak mengatakan sepatah kata pun, membawa laki-laki tua
itu ke kamar di mana Ompung Godang terbaring. Aku lihat tiga Amangtua bangkit
dari tempat duduk mereka, ikut masuk ke kamar.
Di
dalam kamar, ayah menyuruh para tetangga dan kerabat yang berkumpul agar keluar
karena ada yang harus disampaikan kepada Ompung Godang. Setelah seluruh orang
keluar kamar, laki-laki tua itu kemudian menghampiri Ompung Godang, mendekati
telinganya dan membisikkan sesuatu. Ompung Godang membuka matanya, melihat
laki-laki tua itu, dan berusaha tersenyum. “Kau sudah datang, Mangaraja,” gumam
Ompung Godang, lalu memberi isyarat agar ayah mendekat.
Tiga
Amangtuaku saling pandang. Mereka mencoba mendekat, tapi laki-laki tua itu
memberi isyarat agar mereka tetap di tempatnya. Amangtua Torkis menolak dan
mendekat, tapi laki-laki tua itu berkata: “Tolong! Beri kami waktu sebentar!”
“Ada
apa ini?” Amangtua Torkis bicara kepada ayah, tapi ayah tidak menanggapinya.
“Nanti
saya akan menjelaskan semuanya,” kata laki-laki tua itu, “sekarang beri kami
waktu!”
“Kau
siapa?” Amangtua Torkis ngotot.
“Kau
terlalu lama meninggalkan tempat ini,” kata laki-laki tua itu, “kau tak
mengenaliku lagi, Torkis?”
Tiba-tiba
Amangtua Torkis undur beberapa langkah. Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi
menanyakan ada apa, tapi Amangtua Torkis mendadak jadi pendiam bagai baru
menyadari sesuatu yang sudah lama dilupakannya.
Amangtua
Torkis duduk di atas ambal yang digelar di ruang kamar Ompung Godang itu,
diikuti Amangtua Baginda dan Amangtua Tondi. Mereka diam sambil memperhatikan
ketika Ompung Godang berbicara dengan ayah dan laki-laki tua itu. Beberapa menit
kemudian, laki-laki tua itu menyuruh ayah menjauh dari tempat tidur Ompung
Godang.
Hari itu Ompung Godang meninggal dunia setelah laki-laki
tua itu memberikan segelas air putih. Aku tahu ayah sangat terpukul, tapi ia
tidak menunjukkan kalau ia sangat kehilangan. Ia hanya menunduk di samping
mayat Ompung Godang.
Ayah baru beranjak dari samping Ompung Godang ketika
laki-laki tua itu meminta agar ia diantarkan ke rumahnya. Ayah membawa
laki-laki tua itu keluar kamar, menyuruh duduk di ruang tamu, kemudian ayah
menemui ibu. Tiga Amangtuaku menghampiri laki-laki tua itu. Amangtua Torkis
menyalami laki-laki tua itu sambil berkata: “Aku minta maaf, Tulang. Tulang
begitu banyak berubah,” katanya.
Laki-laki tua itu tersenyum. “Aku masih seperti dulu. Usia
yang membuat fisikku berubah.” Laki-laki tua itu menatap Amangtua Baginda dan
Amangtua Tondi, lalu kembali menatap Amangtua Torkis. “Dulu ayahmu dan aku
berguru. Apa yang dipelajarinya itu membuatnya kesulitan menghadapi sakratul
maut. Aku sudah mengambilnya.”
Amangtua Torkis mengangguk. “Aku pernah dengar soal itu,
tapi aku tidak pernah tahu kalau ayah masih memegangnya.”
“Ayahmu tidak bisa membuangnya. Barang itu harus
diturunkan dan ayahmu mewasiatkan agar adikmu yang menerimanya.”
Ketiga Amangtuaku saling pandang. Mereka sepertinya tidak
terima dengan keputusan itu.
Ayah muncul bersama ibu. Ayah mengajak laki-laki tua itu
berangkat. Tiga Amangtuaku saling pandang, lalu Amangtua Torkis berusaha
mencegat ayah. Ayah tidak bicara sepatah kata pun, hanya menatap Amangtua
Torkis. Tatapan ayah berbeda dari biasanya, matanya lebih tajam dan menusuk.
Mirip tatapan Ompung Godang apabila ia sedang memberi nasehat kepada siapa pun,
atau saat Ompung Godang memberi pidato di hadapan semua orang kampung. Aku bergidik
saat melihat mata ayah. Amangtua Torkis langsung menunduk begitu ayah
menatapnya.
“Sementara aku mengantarkan Tulang Ibrahim, tolong urus
semua keperluan pemakaman ayah,” kata ayah kepada Amangtua Torkis. “Ini tidak
akan lama.”
Setelah bicara, ayah memegang tangan laki-laki tua itu,
membawanya ke pintu. Dalam hitungan detik, tiba-tiba tubuh ayah dan laki-laki
tua itu menghilang dari pandangan kami.
Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Aku menatap
ibu, berbisik kepada ibu apakah laki-laki tua itu yang bernama Ompung Idris. Ibu
mencoba tersenyum. Aku perhatikan tiga amangtuaku mendadak gemetar. ***