Kita di Negeri Dongeng

by - April 02, 2010

BERPIKIRLAH tentang diri sendiri. Berbuatlah berdasarkan kemampuan diri sendiri. Bertindaklah untuk masa depan diri sendiri. Inilah hal yang acap alpa kita lakukan. Kita senantiasa memikirkan diri sendiri dengan cara yang ganjil, membandingkan kita dengan orang lain. Kita melihat sisi baik orang lain dan menitikberatkan sisi buruk kita. Kita tidak pernah mau tahu bahwa setiap orang pasti melampaui proses yang sangat sulit untuk bisa mencapai kondisinya yang sekarang, yang kita nilai sangat baik berdasarkan perspektif subyektif kita.


Sudah tentu, kita senantiasa akan terlihat lemah, serbakekurangan, tidak berdaya, dan pantas disesalkan.
Di dalam melihat Indonesia sebagai sebuah peradaban, kita sering melihat diri kita bukan sebagai Indonesia, tetapi sebagai salah satu negara di belahan dunia. Kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan internasional, dari pergaulan dunia. Karena itu, kita senantiasa mengandaikan bahwa peradaban Indonesia juga merupakan peradaban dunia. Kebudayaan Indonesia juga merupakan kebudayaan dunia.
Kita ingin dilihat, dinilai, dimaknai sama seperti ketika orang lain melakukan hal serupa terhadap Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Namun, saat keinginan itu kita miliki, sesungguhnya kita telah memosisikan Indonesia berada jauh di bawah level negara-negara tersebut. Kita seolah sebuah bangsa yang belum lama merdeka, dan belum sepenuhnya sanggup memerdekakan diri.
Kita telah melakukan kesalahan yang fatal dengan mengidentifikasi diri sebagai Negara lain. Kita ingin menjadi Negara demokrasi seperti Negara-negara moderen, tetapi keinginan itu kita andaikan sebagai sebuah proses yang instant. Kita membayangkan Amerika Serikat sebagai sebuah Negara demokrasi yang sudah final dan tidak pernah melampaui sebuah sejarah perih saat persoalan warna kulit mengorbankan ribuan nyawa manusai.
Kita hanya melihat Amerika Serikat yang sekarang, sebuah negara super power yang begitu menghargai hak-hak asasi manusia, sehingga seorang dari ras negro seperti Barack Obama dapat menjadi Presiden. Meskipun dulu, sebagaimana potret perih yang ditunjukkan dalam film Gang of New York, politik di Amerika Serikat adalah pertarungan antara kekuatan ras dengan kemanusia, sinfoni atas pengabaian hak asasi manusia dengan kesenangan kaum borjuis.
Di Roma, negeri yang menghasilkan demokrasi, sejarah juga mencatat kekejaman manusia yang dimanjakan atas nama pemurnian ras, golongan, dan status social. Dalam film Gladiator, kita paham betul bagaimana demokrasi ditegakkan mulai dari gelanggang pertarungan manusia dengan singa sampai gelanggang meja rapat para senat yang dipenuhi para khianat.

***

BANYAK alkisah dalam penegakan demokrasi di negara-negara demokrasi yang menjadi anutan kita, menunjukkan bahwa proses menuju demokrasi itu tidaklah semua berjalan seperti yang kita bayangkan. Demokrasi di negara-negara itu menuntut korban, karena ia berproses seperti sebuah revolusi yang keras, yang mengubah cara berpikir manusia begitu drastic.
Kita senantiasa mengandaikan diri sendiri sebagai negara-negara maju itu, lalu mengimitasi diri seolah-olah proses demokrasi yang akan kita lakukan semudah seperti yang kita saksikan. Kita mengabaikan prosesnya yang panjang dan melelahkan.
Ketika stasiun-stasiun televisi menyiarkan proses pemilihan Presiden Amerika Serikat, kita tidak pernah belajar bahwa demokrasi yang dipertontonkan Amerika Serikat kepada dunia itu adalah buah dari perjuangan panjang dan melelahkan selama ratusan tahun. Kita menyaksikan acara politik itu dengan kekaguman yang luar biasa kepada Barack Obbama, seolah-olah ia warga negara Indonesia yang sedang mengikuti American Idol yang membutuhkan dukungan short massage service (SMS). Kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya televise telah mengemas kita sebagai konsumen media yang tidak punya kemampuan menolak, bahkan tidak pernah berpikir untuk menyentuh raymout control untuk mengganti chanel siara ntelevisi.
Itulah kita, warga sebuah bangsa yang selalu dihinggapi oleh penyakit mudah merasa kagum terhadap realitas kehidupan orang lain. Kita adalah warga bangsa yang paling disukai oleh para kapitalis moderen, karena kita gampang terkodifikasi ke dalam segmentasi konsumen yang keinginan-keinginannya dapat diarahkan. Sebagai konsumen, kita adalah konsumen yang menyimpan jiwa massa di dalam dirinya, yakni konsumen yang segala pilihannya sangat tergantung pada pilihan orang lain.
Ketika semua orang memuji Barack Obbama, kita merasa tidak enak kalau tidak ikut-ikutan memujinya. Kita lebih naïf dibandingkan orang-orang di Benua Afrika, mereka yang juga bergembira atas terpilihynya Barack Obbama sebagai Presiden Amerika Serikat karena diantara mereka dengan presiden yang terpilih itu ada ikatan warna kulit yang begitu kental. Sedangkan kita di Indonesia, tidak memiliki ikatan apapun tetapi ikut-ikutan berpesta atas sukses Barack Obbama.
Kita tidak berpikir sebagai diri sendiri. Kita berpikir sebagai orang lain, sebagai massa yang dibentuk oleh tayangan-tayangan televise. Kita betah dalam situasi itu karena kita menemukan hysteria massa di sana, dan kita terwakili dalam hysteria itu.
Sesungguhnya kita kurang mencintai diri sendiri. Kita berbuat bukan sebagai diri sendiri. Ketika kita ingin menegakkan demokrasi, kita ngotot untuk menegakkannya karena melihat Negara-negara demokrasi sangat menghargai hak-hak asasi manusia. Karena itu, ketika kita ngotot untuk menegakkan demokrasi, sebetulnya kengototan itu bukan karena membayangkan sebuah Negara demokrasi dengan segenap kelemahannya. Kengototan kita lebih didorong oleh hasrat yang luar biasa untuk bisa hidup bebas dan memiliki hak asasi yang tidak bisa digangu dan dikontrol oleh Negara.
Ketika demokrasi betul-betul ditegakkan, baru disadari ternyata kita tidak cukup modal untuk menghadapi realitas-realitas yang lahir dari era demokratisasi itu. Kita tidak cukup cerdas untuk berdebat di hadapan public tentang perbedaan-perbedaan pendapat tanpa harus memaki dan menyepelekan orang lain. Kita baru sadar, sebagai warga bangsa, kita memiliki kelemahan yang sangat mendasar. Kita terlalu cepat membayangkan menjadi sesuatu yang ideal, sementara kita tidak punya cukup hal untuk sampai ke sana.

***

SEBAGAIAN dari kita pasti punya banyak alasan untuk mengatakan bahwa pada tataran tertentu bangsa ini memiliki kelebihan dibandingkan bangsa-bangsa lain. Dengan sangat bangga, kita akan merentangkan realitas Indonesia sebagai Negara yang penduduknya dominan bergama. Semua agama tumbuh subur di Negara ini, dan para penganutnya hidup dengan nilai-nilai agama itu dalam kesehariannya.
Inilah kebanggaan lain yang sering diagung-agungkan meskipun sesungguhnya tidak melihat kepada diri sendiri. Sebab, sebagai warga bangsa yang beragama, sangat aneh apabila realitas kehidupan yang tercipta justru menunjukkan pemahaman dan keyakinan atas nilai-nilai agama itu telah bergeser jauh.
Mereka yang duduk sebagai tersangka tindak kejahatan dan kriminalitas, juga mereka yang divonis sebagai terdakwa, terlihat sangat beragama terutama karena peci yang dikenakannya. Mereka yang berpolitik, yang berusaha melegalisasi sebuah peraturan perundang-undangan sembari mengutif kepentingan publik, tampak seperti mesias yang nilai-nilai kehidupannya kental akan nilai-nilai agama. Tapi, mereka justru menjadikan panggung politik itu sebagai arena untuk mempermainkan hak-hak asasi manusia—memasabodohkan masyarakat konstituen atas nama kepentingan partai politik. Mereka yang punya kekuasaan untuk menegakkan keadilan dan senantiasa berbicara sembari mempertontonkan watak agamis yang universal, justru merupakan para makelar kasus.
Sesungguhnya, kontradiksi antara pengakuan dengan kelakuan pada sebagaian manusia di Indonesia, muncul karena mereka tidak berbuat dan berpikir tentang diri sendiri. Mereka berbuat sebagai orang lain, sebagai sesuatu yang dicantelkan kepada dirinya, seperti gelar kesarjanaan, politisi, pengusaha, hakim, polisi, jaksa, dan lain sebagainya.

You May Also Like

0 #type=(blogger)