Oleh
Budi Hatees
Dipublikasi 24 Maret 2012 di
SUMUT POS
 |
Meski bertato, ia bukan preman |
Preman dari kata vrijman dalam Bahasa Belanda yang berarti orang
bebas. Sebab itu, preman di negeri ini tak lebih dari sebuah stigma:
sesuatu yang menakutkan, yang menggetarkan, yang membuat hati kecut.
Seperti segerombolan orang, yang tanpa mengenal rasa takut,
mengobrak-abrik rumah sakit milik TNI, konon hanya untuk mencari
seseorang yang lain, orang yang harus melunasi utang-piutangnya.
Bagi
siapa saja yang pernah berhadapan dengan tentara, yang laras sepatunya
saja acap menjadi simbol sesuatu yang otoriter, tak akan percaya
bagaimana mungkin segerombolan orang merusak fasilitas milik tentara
yang ada di pusat Kota Metropolitan Jakarta. Dugaan awal, gerombolan
itu pastilah terdiri dari orang-orang yang menganggap tentara bukan
apa-apa; hanya sekumpulan orang yang kebetulan di pundaknya dibebani
tanggung jawab untuk menjaga stabilitas nasional. Dugaan akhir,
gerombolan itu pastilah berisi orang-orang yang menganggap negara ini
tidak punya hukum.
Kalau dugaan akhir ini ternyata benar,
berarti gerombolan itu adalah kita-rakyat yang memang selama reformasi
bergulir memiliki asumsi yang sama bahwa tak ada hokum di negeri ini.
Pasalnya, penegakan keadilan hukum sangat buruk untuk tak mengatakan
tidak bisa tegak. Mereka yang dihukum hanya orang yang lemah, yang tak
punya gerombolan, yang kesulitan untuk hidup sehingga mustahil untuk
menyuap.
Sebab itu, atas nama rakyat yang kecewa,
penyerbuan ke dalam fasilitas tentara oleh segerombolan orang, sudah
dapat diduga sebelumnya. Kasus ini tak berbeda dengan apa yang
dilakukan warga Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Lampung,
pada tahun 2000 ketika mereka membakar Markas Polsek Jabung. Atau,
kasus-kasus sejenis yang merebak akhir-akhir ini, yang dimotori oleh
orang-orang yang sudah selesai mengatasi rasa takutnya kepada penegakan
hukum.
Tapi, yang kita dengar kemudian, gerombolan itu
disebut preman. Mereka dikesankan sebagai gangster untuk mempertegas
tentang stigmatisasi preman. Tentu, agar publik membenci mereka,
meneriakkan yel yel agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
menghapus segala bentuk premanisme. Seperti teriakan yang digaungkan
sekelompok orang agar Negara bebas dari Front Pembela Islam (FPI), yang
kemudian dibalas dengan kampanye agar Negara bebas dari Islam Liberal.
Untuk
membenarkan tindakan itu, preman dikelompokkan ke dalam suatu kelas
masyarakat (stratifikasi social) tersendiri yang ditandai dengan adanya
perasaan yang sama di kalangan anggota kelompok untuk tidak patuh
terhadap hukum yang berlaku. Ketidakpatuhan akibat perasaan senasib,
selama hidup senantiasa berada pada posisi kalah, lalu melakukan
perlawanan karena pada hakikatnya manusia selalu ingin eksistensinya
mendapat pengakuan manusia lain.
Pada tahun 1888,
Suhartono W Pranoto mencatat keberadaan gerombolan orang seperti itu,
yang tak mengenal rasa takut dan tak perduli pada hokum yang berlaku.
Dalam bukunya yang terbit pada 2010, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan,
Studi Historis 1850-1942, Suhartono menyebut mereka sebagai bandit.
Bandit adalah istilah klasik. Kita menemukannya dalam sejumlah buku
yang ditulis E.J. Hobsbawm, sejarawan Inggris, seperti
Primitive Rebels
(1959),
Bandit (1972), dan
Social Banditry (1974).
Tapi,
bandit yang dimaksudkan di sini tidak identik dengan anti-sosial,
sebaliknya justru mereka merupakan contoh manusia dengan jiwa social
yang berkadar tinggi, yang menangis ketika melihat orang lain
menderita. Setidaknya itulah yang ingin disampaikan Suhartono dengan
menulis sejarah para bandit di negeri ini. Mereka, sekalipun secara
hokum jelas melanggar dan melawan, namun layak dicatat sebagai
sekelompok manusia yang berjuang dan sukses membuat kolonialisme Belanda
bangkrut.
Memang cara mereka berjuang sangat kasar,
keras, dan kejam, tapi bukan cara yang layak dipersoalkan pada zaman
itu, melainkan tujuan dari perlawanan mereka.
Pada zaman
ketika para bandit muncul, diperkirakan 1870-1942, adalah zaman ketika
kolonialisme Belanda merampas seluruh asset rakyat terutama lahan.
Rakyat tak punya apapun untuk berusaha, kemiskinan menjerat, dan
kelaparan mengincar. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan
dengan cara merampok orang-orang kaya, lalu membagi-bagikan hasil
rampokkan itu kepada rakyat yang membutuhkan.
Kolonialisme
Belanda tak menyebut mereka sebagai preman, tetapi menyebut mereka
bandit. Kata preman baru popular pada priode awal kekuasaan negara Orde
Baru manakala pemerintah yang paranoid merasa kekuasaannya terancam
oleh kekuatan orang-orang yang tak takut pada hukum yang berlaku.
Ketakutan pemerintah diatasi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan
Penglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani ketika itu dengan melancarkan
serangan dadakan kepada siapa saja yang disebut preman. Kita mengenal
zaman itu sebagai musim penembak misterius (petrus), yang oleh
sastrawan Seno Gumira Ajidarma dicatat dalam buku kumpulan cerpennya
berjudul Penembak Misterius.
Mereka yang disebut preman,
satu per satu mati secara misterius. Terkadang, kita tak tahu pasti
apakah mereka betul-betul preman atau tidak. Kita hanya tahu, mereka
mati. Ketika petrus berlaku, barang siapa yang ditemukan mati mendadak
dengan sebuah lobang peluruh di tubuhnya, si mayid dipastikan sebagai
preman.
Tak ada hokum karena hokum yang sebenarnya ada
pada telunjuk yang menekan pelatuk senjata. Hukum adalah suara letusan
senjata yang menggema ke dalam rumah-rumah rakyat, yang meninggalkan
rasa takut luar biasa, yang membuat setiap hari menjadi mencekam. Dan
situasi seperti itu, kini, ditumbuhkan kembali. Sekalipun tak ada lagi
Pangkopkamtib, tak ada pula perintah tembak di tempat, ruang-ruang
publik di kota-kota besar dicekam ketakutan. Pasalnya, Kapolri Jenderal
Pol Timur Pradopo mengeluarkan surat perintah kepada seluruh Kapolda
agar memberantas premanisme di daerah masing-masing.
Tentu
saja perintah itu tak diikuti dengan defenisi yang jelas tentang
premanisme, sehingga yang berlaku justru tafsir-tafsir atas makna
premanisme. Yang menjadi acuan tafsir adalah preman, yakni sekelompok
orang yang tak memiliki pekerjaan jelas, luntang-lantung tanpa
juntrung, tak punya identitas, tubuh penuh tatto, dan acap menimbulkan
keresahan di lingkungannya.
Setiap orang di kota-kota
besar di negeri in, yang masuk ke dalam kelompok preman, satu per satu
ditangkapi. Polres Jakarta Timur, misalnya, menangkap sebanyak 440
orang yang mereka sebut preman selama Operasi Premanisme 2012, sejak 24
Februari 2012 sampai 3 Maret 2012. Sebanyak 35 orang ditahan dan
diproses polisi karena terindikasi unsur yang memperkuat penahanannya,
yaitu kepemilikan senjata tajam. Selain itu, keberadaan mereka juga
meresahkan warga sekitar.
Di kota-kota lain, preman juga
bernasib sama. Ditangkapi, lalu ditahan dengan berbagai alasan yang
sangat subyektif. Padahal, sejatinya penahanan itu lebih didorong oleh
kata “isme” pada kata “preman”, sehingga preman dicurigai sebagai
segerombolan orang yang membawa ajaran-ajaran dan nilai-nilai untuk tak
patuh pada hokum yang berlaku. Dengan pemahaman lain, kini premanisme
menjadi semacam subversib. Semacam sekelompok orang yang membawa ajaran
sesat, yang pengikut-pengikutnya tak punya rasa takut, dan karenanya
dapat mengancam kekuasaan Negara.
Barangkali kita terlalu
berlebihan menyikapi perkara preman. Kita terlalu memaksakan defenisi
yang seram tentang preman. Yang lebih penting lagi, kita melupakan
bahwa sesungguhnya mereka warga bangsa, sekelompok orang yang
keberadaannya di negeri ini juga diperlukan seperti ketika Negara ini
membutuhkan tangan para bandit untuk menyengsarakan kolonialisme
Belanda.
Di era ketika kolonialisme Belanda tak ada lagi,
preman dibutuhkan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang ingin
membangkitkan kolonialisme baru, yang bisa dengan mudah ditemukan
bahkan di lingkungan aparat penegak hokum di Negara ini. (*)
Link:
http://www.hariansumutpos.com/2012/03/29633/dari-bandit-sampai-preman.htm