Terbit di Analisa edisi 16012018 |
ADA banyak sumber
dana dalam menggerakkan roda pembangunan
desa. Sumber-sumber itu dikelola melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), mengacu kepada dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDes), yang kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja
Pemerintahan Desa (RKPDes). Semua
dokumen pembangunan desa itu disahkan sebagai peraturan desa (Perdes), ditanda
tangani aparatur pemerintah desa dan diketahui aparatur pemerintah daerah
melalui SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) terkait.
-------------------------------
Oleh Linni Audy Hutapea
--------------------------------
Dokumen-dokumen itu menjadi rujukan dalam dinamika pembangunan
desa. Segala bentuk program kerja, terutama untuk kegiatan-kegiatan peningkatan
kualitas fisik pembangunan infrastruktur,
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pembiayaan yang sudah
ditetapkan dalam APBDes. Lantaran pembangunan infrastruktur berkaitan dengan
kecakapan teknis sementara masyarakat desa tidak memiliki tenaga ahli, aparatur desa mendapat bimbingan dari petugas
pendamping desa (PD).
Setiap PD melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
berdasarkan nomenklatur yang dikeluarkan Kementerian Desa dan Pembangunan
Daerah Tertinggal (Kemendes PDT). PD lebih banyak bertindak sebagai pembimbing,
sementara mengenai eksekusi dalam mengambil keputusan ada pada aparatur
pemerintahan desa. Tujuannya agar otonomi desa bisa berjalan dengan baik dengan
asumsi hanya masyarakat desa yang memahami apa yang mereka butuhkan.
Sumber pembiayaan
Sejak tahun 2014, pemerintah pusat menggelontorkan dana desa
(DD) sebagai sumber utama pembiayaan
pembangunan desa yang dirancang dalam APBDes.
DD diperuntukkan untuk belanja
modal desa berupa pengadaan aset tetap yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan.
Ada sumber pembiayaan lain yang disebut anggaran dana
desa (ADD). ADD dikucurkan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota sebagai dana penyeimbang
DD. Selain ADD, pemerintah
kabupaten/kota juga menggelontorkan bagi hasil pajak untuk pemerintah desa yang
totalnya disesuaikan dengan peraturan daerah masing-masing terkait bagi hasil
pajak.
Selain DD, ADD, dan
bagi hasil pajak, masih banyak
sumber-sumber lain untuk pembiayaan desa. Sumber-sumber ini tidak masuk dalam
APBDes, tetapi dialokasikan langsung kepada masyarakat desa. Misalnya, dana
berupa program pemerintah pusat yang dikhusukan bagi penduduk miskin di pedesaan
dan dikelola oleh pemerintah daerah melalui satuan kerja pemerintah desa (SKPD)
seperti dana bantuan sekolah (BOS),
Kartu Indonesia Pintar (KIP),
Kartu Indonesia Sehat (KIS),
keluarga sejahtera, beras untuk
masyarakat miskin, dan lain sebagainya.
Semua lapisan
masyarakat di pedesaan mendapat bantuan dari pemerintah pusat yang kita sebut
subsidi pemerintah pusat. Belum lagi subsidi terkait kebutuhan sehari-hari
seperti gas untuk rumah tangga, pupuk untuk pertanian, beasiswa pendidikan
untuk keluarga miskin berprestasi, dan lain sebagainya. Mestinya masyarakat
desa sudah bisa hidup sejahtera dengan bantuan-bantuan itu. Sayangnya, rakyat
miskin kita tetap banyak, selalu menjadi persoalan tiap tahun yang harus
terus-menerus disubsidi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ketakutan Pemda
Dana-dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota untuk
desa memungkinkan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan
pengawasan pengelolan dana-dana yang ada di desa. Pengawasan perlu dilakukan
pemerintah kabupaten/kota mengingat tingkat pemahaman masyarakat desa terhadap
pengelolaan uang rakyat belum memadai, sehingga mereka perlu mendapat bimbingan
dari pihak yang sudah memahami bagaimana mengelola uang negara.
Sayangnya, ketika pemerintah desa memiliki sumber-sumber
pasti untuk pembiayaan APBDes, banyak
kalangan mencurigai pemerintah desa tidak akan sanggup mengelolanya. Kecurigaan seperti ini bukan hanya domain
masyarakat luar, atau mereka yang
menyebut dirinya sebagai aktivis pro-demokrasi dan aktivis antikorupsi, tapi juga
para aparatur sipil negara (ASN) di
lingkungan birokrasi pemerintah daerah.
Tidak sedikit ASN
yang meragukan aparatur pemerintahan desa dan elemen-elemen masyarakat mampu
mengelola dana miliaran itu. Keraguan tersebut mendorong ASN untuk
mengintervensi, yang kemudian tindakan itu dilegalisasi lewat keputusan Kepala
Daerah atau keputusan kepala SKPD. Tidak
jarang ASN menginisiasi agar dibuat peraturan daerah (Perda) dengan visi dan
misi untuk membantu masyarakat desa dalam mengelola DD, meskipun tujuan utamanya agar ASN punya batu
pijakan untuk campur tangan dalam mengelola dana yang berlimpah itu.
Kita ambil contoh
surat keputusan yang dikeluarkan Bupati/Wali Kota terkait pemanfaatan DD untuk
meningkatkan kualitas infrastruktur jalan raya di pedesaan. Meskipun
petunjuk pengelolaan DD menyebutkan agar dana dari pusat itu diperuntukkan
bagi peningkatan kualitas infrastruktur
yang akan menjadi aset desa, tapi DD ternyata dipakai juga untuk meningkatkan
kualitas jalan yang merupakan aset
pemerintah daerah kabupaten/kota.
Dengan alasan
masyarakat desa tidak tahu dan juga karena keinginan bersama seluruh lapisan
masyarakat, pemerintah daerah di
kabupaten/kota memberi izin karena penggunaan DD itu bisa mengurangi beban
pembiayaan dalam APBD. Dengan kata lain, peruntukan DD tidak sebagaimana
mestinya, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga seakan-akan tidak melanggat
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih parah lagi,
pemerintah daerah di kabupaten/kota sengaja tidak memberikan kejelasan mengenai
posisi aset yang ada di daerah, yang ditandai tidak adanya nomenklatur yang
mengatur posisi aset tersebut. Padahal, aset sangat penting bagi pemerintah desa
yang sedang membangun dengan dana DD
agar desa bersangkutan bisa mensejahterakan warganya.
Aset Desa
Dengan aset yang
ada, pemerintah desa bisa mengelola aset tersebut untuk meningkatkan
kesejahteraan warganya. Kita ambil
contoh sebuah desa yang memiliki potensi objek pariwisata. Pemerintah desa bisa mengalokasikan DD untuk
mengembangkan potensi yang ada seperti melengkapi sarana dan prasarana di
sekitar objek pariwisata tersebut guna menumbuhkan sektor ekonomi pariwisata. Tapi, upaya pemerintah desa tidak
akan berdampak positif bila objek pariwisata itu tetap menjadi aset pemerintah
daerah.
Pemerintah di
kabupaten/kota harus lapang dada melepaskan objek pariwisata itu sebagai aset
desa dengan mengeluarkan Perda tentang pelepasan aset, sehingga masyarakat desa
bisa memanfaatkannya untuk kepentingan mereka.
Pelepasan aset oleh pemerintah daerah di kabupaten/kota berkaitan dengan
wewenang mengelola objek pariwisata tersebut. Masyarakat desa bisa mengeluarkan
peraturan desa mengenai pengelolaan objek wisata yang ada di desanya, dan hasil
pengelolaan itu diterangjelaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, hal
seperti ini tidak terjadi karena pemerintah daerah di kabupaten/kota khawatir
kehilangan aset yang berarti juga kehilangan sumber pendapatan asli daerah
(PAD). Sebagai contoh, aset berupa sumber air minum yang selama ini dikelola
oleh BUMD (badan usaha milik daerah) yang merupakan perusahaan daerah air minum
(PDAM), mustahil dilepas oleh pemerintah
daerah di kabupaten/kota untuk menjadi aset desa. Dengan berbagai alasan, masyarakat desa akan
ditakut-takuti untuk tidak mengutak-atik aset yang sudah menjadi milik
BUMD. Padahal, masyarakat desa bisa mengelola air minum dan
membangun perusahaan desa air minum berbentuk BUMDes (badan usaha milik desa).
Kekhawatiran Masyarakat
Dana lebih satu miliar rupiah jarang masuk ke lingkungan
masyarakat desa selama bertahun-tahun,
dan masyarakat desa dicurigai akan
lupa diri kalau tidak kebingungan.
Misalnya, masyarakat dicurigai tidak akan mampu membangun infrastruktur
saluran irigasi karena mereka tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang
punya kapasitas di bidang perencanaan.
Kecurigaan juga dialamatkan kepada para pendamping desa,
petugas yang diberi tugas khusus untuk membantu masyarakat desa dalam mengelola
DD. Pasalnya, para pendamping desa bukan
SDM yang tepat karena keterpilihan mereka lebih kuat ditandai faktor negosiasi
politik. Banyak yang meragukan kepala
desa akan menjadi pihak yang dominan dan paling diuntungkan, terutama karena orang menilai kualitas SDM di
pedesaan tidak cukup mumpuni untuk mengelola uang rakyat sesuai standar-standar
akuntansi publik.
Kecurigaan seperti itulah yang mendorong Kapolri
Jenderal Tito Karnivian memberikan tugas tambahan kepada polisi yang bertugas di lingkungan kepolisian sektor (Polsek) untuk
mengawasi penggunaan DD. Keterlibatan
anggota Polri justru membuat masyarakat semakin khawatir, karena polisi di
lingkungan Polsek (kepolisian sektor) nyaris
tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat desa. Pasalnya, jumlah
personil polisi yang ada di Polsek tidak mencukupi untuk mendampingi kegiatan
DD yang ada disetiap desa, sehingga anggota Polri akhirnya tidak maksimal
melakukan pengawasan.
Mereka hanya akan mengunjungi desa pada waktu tertentu
tanpa upaya mengawasi apakah pelaksanaan kegiatan yang didanai DD itu sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dengan kata
lain, SDM anggota polisi di lingkungan Polsek bukanlah personil yang memiliki
kapasitas yang paham mengenai nomenklatur pengelolaan DD, sehingga kekeliruan
dalam pengelolaan DD akan terabaikan. ***