Menjaga Rakyat dengan APBD
Dipublikasikan di Koran Lampung edisi April 2009
MEMASUKI akhir 2009, semua daerah otonom sibuk menyusun Kebijakan Umum Anggaran juga Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk disampaikan kepada legislatif. Akan tetapi legislatif diisi oleh orang baru hasil Pemilu 2009, sementara para politisi itu masih sibuk membahas alat-alat kelengkapan Dewan, KUA-PPAS yang diajukan terlambat dibahas. Bisa dipastikan APBD 2010 yang mestinya mulai berlaku Januari 2010, akan mengalami keterlambatan pula seperti tahun-tahun sebelumnya.
Fakta yang sama juga terjadi di Kabupaten Lampung Selatan, sehingga sampai sekarang public belum mendengar kebijakan anggaran seperti apa yang jadi andalan pemerintah daerah dalam APBD 2010. Apakah masih mengandalkan kebijakan pengurangan kemiskinan? Kalau benar, apakah paradigma pengurangan kemiskinan itu ditempuh dengan strategi desentralis¬tik dan partisipatif dalam semangat mencapai komitmen Millenium Development Goals (MDGs)? Ataukah telah terjadi perubahan paradigma yang lebih epidermis yakni anggaran pro rakyat miskin (pro poor budget) dan dijalankan dengan konsep anggaran partisi¬patif (participatory budgeting)?
Publik belum bisa menyimpulkan, kecuali soal defisit anggaran APBD 2009 yang sangat pasti masih membawa pengaruh besar terhadap realisasi APBD 2010. Sebab itu, jika pemerintah daerah hanya focus untuk mengurangi kemiskinan dengan strategi off budget yang tidak terintegrasi ke dalam perencanaan anggaran seperti yang selama ini dilakukan, sangat pasti APBD 2010 akan dikelola sembari mengabaikan hak-hak dasar rakyat.
Bukan mustahil, menjelang Pilkada 2010 dimana ada calon Bupati Lampung Selatan dari incumbent, akan muncul kebijakan yang memberi peluang besar bagi incumbent untuk lebih sering menemui public konstituen. Apalagi jika kebijakan itu terintegrasi ke dalam sistem perencanaan dan pengang¬garan APBD 2010, sementara sebagian besar anggaran sudah tersedot untuk pelaksanaan Pilkada 2010.
Hak-hak dasar rakyat atas anggaran akan dikalahkan. Komitmen pemerintah daerah untuk mengurangi kemiskinan kembali pada konsep usang pendekatan terpusat (top down), mobilisasi, seragam, dan berbasis proyek. Kebijakan mengurangi kemiskinan dalam APBD 2010 hanya akan dilakukan bila dianggap perlu, apalagi kalau terkait dengan kepentingan pencalonan incumbent, dan anggaran untuk proyek-proyek itu diambil dari pos-pos anggaran SKPD.
Artinya, alokasi distribusi anggaran untuk rakyat bersifat residual atau “si¬sanya-sisa” (atau ndeg-ndeg jika meminjam istilah Prof. Sri-Edi Swasono), dan ditempuh dengan pendekatan yang keliru. Akibatnya, sulit menerapkan diisiplin anggaran yang menyeluruh (aggregate fiscal discipline) pada APBD 2010, sementara penerapan pengawasan dan transparansi anggaran sering bermasalah. Tak ada pihak yang mempersoalkan ketika anggaran menyimpang dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sudah dirumuskan sebelumnya.
Dalam praktik pemerintahan sehari-hari korupsi merajalela mulai dari skala kecil hingga skala besar: SPPD yang berjalan-jalan, cash back dalam bimtek, fee proyek, markup pembelian perlengkapan kantor, jalan-jalan dengan alasan studi band¬ing, pungutan luar, menyunat dana bantuan skandal megapoyek dan perbankan, bupati tidak memberikan alokasi dana desa (ADD) sebesar ketentuan yang berlaku, dan bupati membagi-bagi uang secara populis kepada berbagai lapisan masyarakat untuk mendong¬krak popularitasnya menjelang pemilikan kepala daerah.
Pengabaian Hak Rakyat
SOAL anggaran daerah, sebagaimana diamanatkan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara/daerah, merupakan tanggung jawab kepala daerah. Sebab itu, APBD dalam satu tahun adalah pertaruhan atas kepemimpinan politik seorang kepala daerah. Apakah seorang kepala daerah memiliki perilaku kenegarawanan berupa memberi pencerahan politik dan pelayanan bagi rakyat dalam memimpi daerahnya? Ataukah sebaliknya, kepala daerah tidak pernah menyadari bahwa dirinya merupakan pihak yang menerima kepercayaan rakyat untuk mengutamakan kepentingan rakyat.
Materi APBD merupakan dokumen resmi negara dan merupakan peraturan daerah, sehingga pelaksanaannya menjadi sangat mengikat. Sebagai peraturan daerah, kepala daerah beserta seluruh jajaran SKPD harus mematuhinya. Publik pun bisa mengukur ketaatan dan kepatuhan kepala daerah beserta SKPD terhadap peraturan daerah tentang APBD tersebut. Tentu, pengawasan yang ketat oleh legislative sangat urgen sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 132 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005.
Ketaatan dan kepatuhan dapat diukur dari tercapai atau tidak target setiap program yang menjadi landasan KUA-PPAS. Ketidaktaatan dan ketidakpatuhan akan beresiko tinggi terhadap progresivitas capaian-capaian pembangunan. Lebih parah lagi menimbulkan persoalan krusial terkait defisit anggaran di tengah-tengah pelaksanaan APBD.
Akibatnya, pemerintah daerah mesti mencari akal untuk menutupi deficit sebelum jadwal pengajuan APBD Perubahan, karena pembangunan daerah harus senantiasa berdinamika.
Defisit anggaran seperti ini pernah dialami Kabupaten Lampung Selatan akibat tidak sesuainya proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan dengan asumsi yang mendasarinya. Solusi yang ditempuh pemerintah daerah berupa menjadwal ulang pembayaran anggaran proyek-proyek infrastruktur kepada rekanan, menunjukkan eksekutif tidak memiliki strategi mumpuni. Alih-alih sebuah solusi, justru menimbulkan masalah baru terkait pengabaian hak-hak para rekanan sebagai stakeholders pembangunan daerah.
Defisit anggaran di tengah pelaksanaan APBD menunjukkan kualitas dan profesionalisme kerja sumber daya manusia pengelola SKPD sangat memprihatinkan. Indikator kerja dan target kinerja tidak terekam dengan detail, karena penetapan pengelola SKPD bukan didasarkan pada kapasitas melainkan untuk melegitimasi kekuasaan kepala daerah di tingkat SKPD.
Orientasi kepala daerah begitu sempit, hanya agar memiliki legitimasi di jajaran birokrasi. Itu sebabnya, rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) tidak menggambarkan dengan jelas kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan, dan kewajiban daerah. Sebab, berbagai proyeksi SKPD atas pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan muncul dari asumsi yang tak mendasar untuk tak mengatakan lebih sering hanya mengutif KUA-PPAS yang lama.
Penyakit Elite
SEJATINYA APBD lebih berpihak pada hak-hak dasar rakyat, kebutuhan rakyat untuk bisa hidup sejahtera. Sudah umum diketahui, Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu penyumbang angka kemiskinan bagi Provinsi Lampung. Kemiskinan itu berakar pada banyak masalah yang berbeda pada setiap kecamatan, namun secara garis besar terkait pada persoalan penguasaan asset yang rendah dan akses infrastruktur dan sarana pelayanan public sangat buruk.
Meskipun Lampung Selatan kaya dengan sumberdaya alam berupa lahan yang luas, tapi hak atas lahan-lahan itu dikuasai oleh perusahaan swasta dan nasional seperti lahan di Tanjung Bintang, Natar, dan sebagainya. Tidak sedikit dari lahan-lahan yang ada seperti di Bakauheni, Penengahan, Ketapang, dan lain sebagainya, dikuasai oleh individu-individu dan dibiarkan tidak digarap. Sementara lahan yang ada dan digarap rakyat, makin tidak berarti akibat ledakan penduduk, sehingga banyak keluarga miskin yang memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.
Problem sosial masyarakat makin bertambah karena memiliki pemerintah daerah yang berkarakter pemangsa (predatory state) terhadap anggaran. Sebagian besar anggaran APBD (sekitar 60%), dialokasikan untuk urusan belanja aparatur. Biaya belanja aparatur selalu lebih besar daripada belanja public. Belanja publik masih ada yang dikonsumsi untuk biaya administrasi dan belanja aparatur, karena di dalam komponen gaji pegawai melekat biaya pelayanan yang sangat besar, termasuk honor upah pungut pajak.
Situasi sosial makin parah karena birokrasi yang dikelola dengan semangat menjaga legitimasi kekuasaan, melahirkan politik patronase yang mengakar atau biasa disebut penyakit capture. Elite semacam ini mengambil alih semua dinamika pembangunan daerah, men¬curi uang negara, membuat kebijakan dan kegiatan yang menguntungkan patronase dan kon¬tradiktif dengan hak kepentingan kaum miskin maupun kelompok-kelom¬pok marginal.
Meminjam Craig Johnson dan Daniel Strat dalam Rights, Claims and Capture: Under¬standing the Politics of Pro-poor Policy (2001), capture bisa juga hadir dalam bentuk tindakan invidividu maupun kelompok, baik aktor informal maupun formal, yang memengaruhi peraturan maupun kebijakan pemerintah untuk kepentin¬gan mereka. Penyakit elite ini mudah ditemukan di Kabupaten Lampung Selatan mengacu pada hasil peneliti capture di aras lokal—baca sebutan mafia lokal (Vedi Hadiz, 2003); bosisme lokal (John T. Sidel, 2005); raja-raja kecil (HS Nordholt, 2005); maupun shadow state (Syarif Hidayat, 2007).
Penutup
ELITE capture merupakan ancaman serius bagi desentralisasi. Padahal, secara teoretis desentralisasi membawa tujuan-tujuan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan yang lebih dekat pada masyarakat lokal. Tentu, desentralisasi akan terwujud bila kepala daerah bertindak dalam koridor yang jelas dan bertanggung jawab. Eksistensi kepala daerah sangat menentukan arah dari dinamika pembangunan daerah.
Karena itu, agar otonomi daerah berjalan lancer, maka kepala daerah haru memiliki: (1)kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kesejahteraan masyarakat di daerahnya; (2)kemampuan melakukan penyesuaian-penyesuaian dari peraturan yang ditetapkan secara nasional dengan kondisi daerah; (3) menyelenggarakan pemerintahan daerah yang memunyai legitimasi luas dari masyarakat, baik pada posisi eksekutif maupu legislative; (4) mengembangkan kemampuan dalam mengelola sumber-sumber penghasilan dan keuangan yang memadai untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat yang segera menjadi kebutuhannya; dan (5) membangun sumberdaya manusia aparatur pemerintah dan masyarakat yang andal yang bertumpu pada kapabilitas intelektual dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Dengan begitu, upaya mengatasi masalah kemiskinan akan muda diwujudkan sehingga Kabupaten Lampung Selatan akan mengikuti jejak daerah-daerah yang berhasil mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan melalui skema pro poor budget seperti Jembrana, Solok, Blitar, Sragen, Sinjai, Purbalingga, Tanah Datar, dan Belitung Timur. Pendidikan dan kesehatan “gratis” bagi rakyat miskin merupakan tema yang konkret dan utama dalam pro poor budget itu. Studi Sutoro Eko (2007), misalnya, menyebut kam¬piun-kampiun yang inovatif itu sebagai “daerah budiman”, yakni daerah yang memiliki keterbatasan anggaran (APBD) tetapi mengeluarkan belanja sosial yang relatif tinggi untuk mempromosikan kesejahteraan rakyat
0 #type=(blogger)