Teanan

by - December 13, 2019





GONG…gong…gong….
Gema gong dipukul dengan nada tiga-tiga, bergaungan di langit Huta Ginjang ketika Namora menapak pada anak tangga rumah. Ransel berisi beberapa potong pakaian yang tercantel di pundaknya menghasilkan suara derit pada anak tangga dari kayu merbau tua itu setiap kali ia memindahkan kaki ke anak tangga berikutnya. Tapi suara itu tidak begitu menyita perhatiannya, karena gaung gong dengan nada tiga-tiga itu melahirkan tanda tanya di kepalanya.
            “Siapa yang meninggal, Amangboru,”  kata Namora kepada Amangboru Sangap, suami dari Inangboru Halimah—adik ayahnya yang paling bungsu—yang membukakan pintu rumah untuknya.
            Amangboru Sangap menyebut  nama  Partaonan,  tapi  Namora merasa tak punya ingatan apa pun terhadap pemilik nama itu. “Apa saya mengenalnya Amangboru?”  Namora mencoba menggali ingatannya di masa lalu,  saat ia masih anak-anak dan menjadi bagian dari penduduk di Huta Ginjang, dan itu terjadi sekitar 15 tahun lalu.
            “Kau ingat rumah tua di ujung kampong, rumah kosong itu? Kau dan kawan-kawanmu sering bermain perang-perangan di halaman rumah itu,” kata Amangboru Sangap, mencoba membongkar ingatan Namora pada masa kecilnya.
            “Apa hubungannya Amangboru. Bukankah rumah itu sudah lama tak berpenghuni?”
            “Lima tahun lalu Partaonan pulang dari rantau  dan tinggal di rumah itu, tapi justru karena itulah hidupnya menjadi sengsara.” Amangboru  Sangap menghela nafas dan terdengar begitu berat. “Sejak tinggal di rumah itu, nasib buruk selalu menimpanya  hingga semalam ia ditemukan meninggal dunia di dalam rumahnya.”
            “Meninggal?!” Namora masih berusaha menggali banyak hal tentang almarhum Partaonan,  tapi Amangboru Sangap memberi isyarat agar ia  membersihkan diri dan beristirahat karena pasti kecapaian sehabis perjalanan jauh dari Kota Medan.              “Amangboru mau melayat dulu. Inangborumu sudah di sana sejak pagi. Selesai pemakaman, nanti kita lanjutkan pembicaraan,” kata Amangboru Sangap.
            “Saya ikut melayat, Amangboru,” kata Namora.  “Saya bagian dari huta ini.”
            Di angkasa, suara gong dengan nada tiga-tiga sudah tak terdengar lagi.

LIMA BELAS  TAHUN LALU,  1998,  Namora meninggalkan Huta Ginjang.  Saat itu ia baru selesai SMA, dan bermaksud melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi di Kota Bandung.
            Di Kota Bandung itulah Namora lahir, tapi saat masuk SMP, ia harus meninggalkan Kota Bandung dan  ayah mengirimkannya ke Huta Ginjang lantaran suatu sebab yang tak pernah diketahuinya.  Ia hanya ingat, sebelum keputusan itu dibuat ayahnya,  terjadi pertengkaran hebat antara ayah dengan ibunya.  Pertengkaran yang dipicu oleh suatu soal yang tak bisa dingatnya dengan jelas hingga hari ini, dan ia harus menuruti keinginan ayahnya tanpa penolakan.
Mula-mula  Namora merasa bagai dibuang dari keluarga,  tapi setelah sekian tahun menjadi bagian dari warga Huta Ginjang,  ia merasa sangat beruntung. Di tempat baru inilah ia menjadi paham siapa dirinya, juga mengerti betul dari keluarga seperti apa ayahnya dilahirkan.
            “Di Huta Ginjang ini, semua orang akan menghormatimu tanpa kau minta,” kata Amangboru Sangap.
            Namora menduga ucapan Amangboru Sangap itu hanya untuk membahagiakan hatinya agar betah tinggal di Huta Ginjang. Tapi, setelah beberapa hari tinggal di Huta Ginjang dan Amangboru Sangap membawanya berkeliling serta mengunjungi setiap rumah yang ada di Huta Ginjang, barulah ia menyadari bahwa ucapan Amangboru Sangap tidak hanya bermaksud menyenangkan hatinya.
            “Kau berasal dari keluarga panusunan bulung,” kata Amangboru Sangap. Kemudian Amangboru Sangap bercerita tentang  panusunan bulung yang merupakan keluarga pembuka Huta Ginjang. Sebelum panusunan bulung muncul, Huta Ginjang hanyalah sebuah kawasan hutan lebat yang perawan di kaki Gunung Sibualbuali.
            Ratusan tahun lalu leluhur Namora memasuki hutan perawan itu dan membukanya untuk berkebun. Setelah satu  kali musim tanam mengalami panen yang luar biasa, leluhur Namora kemudian membangun rumah, lalu memutuskan pindah dan tinggal di rumah itu.  Selang beberapa tahun kemudian,  leluhur Namora kembali lagi ke kampung lama dan mengajak beberapa kerabat untuk pindah ke sekitar lahan perkebunan yang baru dibukanya. Sejak itulah, muncul sebuah perkampungan di bekas hutan perawan itu, yang kemudian disepakati namanya sebagai Huta Ginjang.
            Kata ginjang berarti  tinggi,  diberikan karena letak perkampungan itu di kawasan yang lebih tinggi. Dari jendela rumah-rumah penduduk di sana, bisa menatap ke bawah yang merupakan lahan perkebunan milik warga yang sebagian besar ditanami kopi, kulit manis, cengkih, dan sayur-mayur.  Pemandangan itu memberikan ketenangan pada diri siapa pun yang menebarkan tatapannya jauh ke lembah hingga berhenti di pinggir sebatang sungai jernih. Air dari sungai itu dimanfaatkan warga Huta Ginjang untuk mencetak lahan persawahan, dan manakala musim padi tiba,  dari jendela rumah-rumah warga sawah-sawah itu akan terlihat seperti permadani hijau yang dibentangkan.
            “Kalau ada kerajaan di sini, kaulah putra mahkotanya,” tambah Amangboru  Sangap. “Tapi semua kelebihanmu jangan sampai membuatmu bersikap sombong.  Keturunan panusunan bulung adalah keturunan manusia yang boleh bersikap sombong.”
            Namora mengangguk.  Ingatan tentang ucapan Amangboru Sangap itu tak akan pernah lekang,  juga saat ia memasuki halaman rumah almarhum Partaonan. Di halaman rumah itu, di tempat dimana Namora pernah bermain perang-perangan bersama kawan-kawan masa kecilnya,  sudah dipasang dua tenda. Di bawah tenda ada kursi plastik yang disiapkan ahlul bait untuk para pelayat, beberapa anak muda terlihat sibuk menata kursi-kursi lain. Sebagian kursi sudah dihuni para pelayat,  pada barisan pertama kursi dihuni pihak keluarga dekat dari almarhum Partogi.
            Berjalan di belakang Amangboru Sangap,  Namora juga menyalami setiap orang yang duduk di bawah tenda itu, setelah Amangboru Sangap menyalami mereka.  Sambil menyebutkan namanya,  Namora melemparkan senyum dan sekali-sekali meladeni warga yang merasa mengingat dirinya.  Beberapa diantara mereka adalah kawan sebayanya,  tetapi secara fisik mereka terlihat lebih tua dibandingkan Namora, sehingga ia baru mengenali bila mereka menyebut namanya.
            “Masya Allah, Monang!  Kalau tak kau sebut namamu, pasti saya tak mengenalimu lagi,” kata Namora sambil merengkuh tubuh Monang ke dalam pelukannya.  Dulu, Namora banyak menghabiskan waktunya bersama Monang, dan laki-laki itu sangat terpukul ketika Namora memutuskan kembali ke Kota Bandung.
            “Sudah hebat kau sekarang,” kata Monang. “Tak aku sangka kita akan bertemu lagi.”
Namora tersenyum. Ia bertanya tentang anak-anak Monang, dan Monang bercerita bahwa ia menikah selesai SMA. “Aku sudah punya dua cucu. Anak pertamaku tak mau sekolah,  ia memutuskan menikah agar bisa membantu aku di sawah. Dia memberiku dua cucu,” katanya.
“Istri kau?” tanya Namora. “Apa kau menikahi Rumondang?” Namora membongkar ingatan pada gadis manis yang sama-sama mereka taksir saat SMA, dan itu membuat Monang terpingkal-pingkal. “Aku tak berjodoh dengan Rumondang, “  kata Monang, “dia menolak cintaku.”
Namora ikut tergelak.

“ADA APA KAU PULANG?” tanya Monang, beberapa saat setelah mereka bernostalgia tentang masa lalu. 
“Rindu.”  Namora berusaha tersenyum.
            “Aku kenal kau jauh lebih baik daripada amangboru kau.  Pasti ada hal lain yang ingin kau lakukan,” tebak Monang.
            Namora tersentak,  tapi ia sembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka Monang akan menduga-duga sampai sejauh itu.  Dan,  mendadak, Namora ingat percakapan terakhirnya dengan ayahnya, hal yang membuatnya bertolak dari Kota Bandung ke Huta Ginjang.
            Semua lantaran warisan, harta peninggalan almarhum ompung, ayahnya ayah, yang ada di Huta Ginjang: lima petak rumah, 10 petak kebun kopi, ratusan hektar sawah, dan banyak lagi. Harta-hrta itu menjadi hak  ayahnya sebagai anak laki-laki satu-satunya, tapi semua harta itu dikelola Amangboru Sangap bersama Inangboru. Namora membutuhkan sebagian dari harta itu untuk dijual dan uangnya guna menambah investasinya. Bisnis jaringan kafe yang dibukanya lima tahun lalu sedang berkembang pesat,  dan ia harus membuka beberapa cabang di sejumlah mall di Kota Bandung. Upayanya untuk meminjam tambahan investasi ke bank gagal karena masih terkait utang-piutang pada beberapa bank, dan hal ini membuat Namora sangat pusing.  Ayah kemudian member alternatif, bahwa Namora masih punya harta yang melimpah di Huta Ginjang, dan ia boleh menjualnya untuk menambah modal usahanya.
            “Coba bicarakan pada Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka pasti mengerti,” saran ayah.
            Namora memang menolak, karena ia tahu persis kondisi Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka tak bisa disebut kaya meskipun punya harta yang melimpah, karena hasil dari seluruh harta itu tidak dinikmati sendiri.  Pasalnya, saudara-saudara ayah,  semuanya empat orang perempuan—salah seorang tinggal di Huta Ginjang dan menikah dengan Amangboru Sangap—selalu meminta jatah mereka dari harta-harta tersebut.           Mereka beralasan,  ayah Namora tidak membutuhkan harta itu karena hartanya sendiri sudah terlalu banyak,  dan karena itulah mereka yang paling berhak atas harta-harta itu.
            Namora ingat ketika masih tinggal bersama Amangboru Sangap. Dulu, Amangboru Sangap  sering mengeluhkan sikap saudara-daudara perempuan ayah---Namora memanggil Inangboru kepada semua saudara perempuan ayah—yang selalu mendesak agar membagi-bagi harta warisan dari almarhum ompung itu. Tapi,  lantaran ayah Namora masih ada dan ia satu-satunya ahli waris yang paling berhak atas harta warisan itu, Amangboru Sangap  mengatakan baru akan melayani keinginan mereka jika sudah mendapat izin dari ayah Namora. Tapi, setiap kali Amangboru Sangap  meminta izin dari ayah Namora, jawaban yang didapat selalu sama.
            “Harta itu warisan, tak boleh dibagi. Siapa pun yang tinggal di Huta Ginjang,  dia yang berhak mendapatkan semua hasil dari harta itu,” kata ayah Namora. 
            Tapi sekarang,  lantaran kebutuhan dana yang mendesak untuk mengembangkan bisnis kafe itu,  Namora tidak punya pilihan. Seperti juga ayahnya, Namora adalah anak laki-laki satu-satunya. Bedanya, kalau ayah Namora punya empat saudara perempuan, maka Namora hanya seorang diri. Sebab itulah, Namora menjadi satu-satunya ahli waris dari harta yang diwariskan almarhum ompungnya.
            Itu pula alasan ayah Namora memberi  tahu soal  harta itu. “Kalau kau mau, kau bisa menjual semuanya,” kata ayah Namora.
            “Hei!” Monang menepuk pundak Namora. “Apa yang kau pikirkan?”
            Tapi Namora diam saja.
            “Kau tak mau cerita padaku seperti dulu?” tanya Monang.
Namora mengeleng. “Tidak. Tidak ada masalah apapun. Aku hanya rindu mau bertemu Amangboru dan Inangboru. Sudah lama sekali, sudah lima belas tahun saya tak ke mari.”
“Kalau kau tak mau, ya, sudah. Masih lama kau di sini. Sempatkan ke rumah biar kau lihat siapa yang jadi ibu anak-anakku!” kata Monang.
           
“KASIHAN KALI PARTAONAN,” kata Inangboru Halima, sehari kemudian setelah pemakaman Partaonan.  Suara  inangboru begitu lembut,  masih seperti lima belas tahun lalu.  Namora mencoba menyimaknya.
Mereka sedang duduk di beranda rumah sambil menunggu Amangboru Sangap pulang dari kebun kopi.  Jelang Magrib, Amangboru  Sangap selalu pulang tepat waktu. Seharian ia menghabiskan waktunya di kebun kopi, menyiangi gulma, dan menunasi pohon-pohon kopinya. Tidak seperti dulu, kini Amangboru Sangap kerja sendiri. Inangboru  Halima tidak boleh ikut, menunggu di rumah.
            Rumah tangga Amangboru Sangap dengan Inangboru  Halima belum dikarunia anak, meskipun usia mereka sudah kepala lima. Saat mereka masih muda, Inangboru Halimah terkena serangan tumor indung rahim, dan harus diangkat.  Karena penderitaan itulah makanya ayah Namora sangat menyayangi Inangboru Halimah, dan untuk mengobati luka hatinya karena tidak punya anak,  Namora dikirim ke Huta Ginjang.  Meskipun begitu, keduanya menjadi pasangan yang bahagia, dan tak merasa bahwa hidup mereka menjadi sangat kering  tanpa kehadiran seorang anak pun.
            “Ada apa sebetulnya Inangboru?” tanya Namora. “Aku dengar semua orang mengatakan nasib Partaonan begitu buruk.”
            “Seharusnya ia tidak pernah pindah ke rumah itu.” Inangboru Halima bicara seperti mengeluh. “Sejak awal Amangboru kau sudah mengingatkannya, tapi niatnya untuk pulang kampong dan mengurusi semua harta warisan almarhum orangtuany begitu luhur.”
            “Rumah tua itu,” tebak Namora.
“Ya, rumah itu tak ada yang mengurusinya. Mereka enam bersaudara, semuanya merantau. Hanya Partaonan yang berpikir untuk pulang dan mengurusi rumah itu. Kata Partaonan itu rumah tempatnya lahir, makanya ia ingin rumah itu terawat.”
            “Itu niat yang baik.” Namora mengomentari.
“Mestinya begitu,” kata Inangboru Halimah, “tapi nyatanya jadi malapetaka.”
“Kenapa begitu?”
“Lima saudaranya, terutama tiga saudara perempuannya, meminta agar menjual rumah itu dan hasil penjualannya dibagi-bagi kepada semua ahli waris. “
            “Rumah sebesar itu dibagi-bagi. Berapalah totalnya untuk satu orang. Untuk beli kerupuk saja tak cukup.” Namora geleng kepala. “Partaonan menolaknya pasti.”
            “Ya. Partoanan menolak menjualnya. Katanya, rumah itu satu-satunya tanda peninggalan almarhum orangtuanya. Dia berniat memperbaiki rumah itu agar setiap saudaranya yang hendak pulang bisa mengunjungi rumah tersebut. Tapi sikap itu justru membuat persoalan semakin berat,  saudara-saudaranya memfitnahnya, memburuk-burukkannya, dan memaki-makinya.”
“Sampai seperti itu?!” Namora menggeleng.
“Partaonan sendiri tidak mengira akan seperti itu. Dia hanya ingin mempertahankan, tapi dia menjadi musuh semua orang. Itu membuatnya sedih, dan sejak itu ia sering sakit-sakitan.”
            “Betulkah semua ini, Inangboru.” Namora meragukan cerita yang baru didengarnya. “Hubungan tali darah bisa putus gara-gara itu.”
            “Harta membutakan mata manusia.” Inangboru Halimah bicara dengan suara bergetar. Kalimat itu seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri, karena memang Inangboru Halimah tahu persis perasaan seperti apa yang dialami Partaonan, penderitaan seperti apa yang mendera nasibnya. Seperti itulah yang dialami Inangboru Halimah karena saudara-saudaranya selalu mendesak agar seluruh harta warisan dibagi-bagi, tapi rasa sakit  Inangboru Halimah sedikit terobati karena ayah Namora selalu mendukungnya.
            Mendadak Namora ingat tujuan kedatangannya untuk menjual harta warisannya itu, tapi keraguan memerangkapnya. Ia tatapan Inangboru Halimah tepat pada bola matanya, dan ia lihat kesedihan menggenang di sana.
            “Kenapa?” tanya Inangboru  Halimah, “caramu melihat Inangboru agak berbeda.”
            Namora tersentak mendapat pertanyaan seperti itu. Ia alihkan tatapannnya ke tempat lain, ke pohon jambu air di halaman rumah. Di bawah pohon jambu air itu, dulu, ia sering bermain bersama kawan-kawannya.  Telinganya bagai mendengar tawa mereka yang riang.  Ia juga menangkap suara Amangboru Sangap saat menyuruh mereka berhenti bermain ketika terdengar suara azan dari masjid.
            “Berapa lama rencanamu di sini?” tanya Inangboru Halimah.
“Sepekan.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Keluargamu? Anak-anakmu?”
Namora tersenyum.    “Saya rindu kepada Amangboru dan Inangboru. Saya juga rindu pada masa kecil saya di sini.”  Kalimat itu diungkapkan Namora sambil menahan getar di dadanya.  Terbayang bisnis jaringan kafenya di Kota Bandung, terbayang percakapan dengan ayahnya.  *

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda