Teanan
Gema gong dipukul dengan nada tiga-tiga,
bergaungan di langit Huta Ginjang ketika Namora menapak pada anak tangga rumah.
Ransel berisi beberapa potong pakaian yang tercantel di pundaknya menghasilkan
suara derit pada anak tangga dari kayu merbau tua itu setiap kali ia
memindahkan kaki ke anak tangga berikutnya. Tapi suara itu tidak begitu menyita
perhatiannya, karena gaung gong dengan nada tiga-tiga itu melahirkan tanda
tanya di kepalanya.
“Siapa yang meninggal, Amangboru,” kata Namora kepada Amangboru Sangap, suami dari Inangboru
Halimah—adik ayahnya yang paling bungsu—yang membukakan pintu rumah untuknya.
Amangboru Sangap menyebut nama
Partaonan, tapi Namora merasa tak punya ingatan apa pun
terhadap pemilik nama itu. “Apa saya mengenalnya Amangboru?” Namora mencoba
menggali ingatannya di masa lalu, saat
ia masih anak-anak dan menjadi bagian dari penduduk di Huta Ginjang, dan itu
terjadi sekitar 15 tahun lalu.
“Kau ingat rumah tua di ujung kampong, rumah kosong itu? Kau dan
kawan-kawanmu sering bermain perang-perangan di halaman rumah itu,” kata Amangboru Sangap, mencoba membongkar
ingatan Namora pada masa kecilnya.
“Apa hubungannya Amangboru.
Bukankah rumah itu sudah lama tak berpenghuni?”
“Lima tahun lalu Partaonan pulang dari rantau dan tinggal di rumah itu, tapi justru karena
itulah hidupnya menjadi sengsara.” Amangboru Sangap menghela nafas dan terdengar begitu
berat. “Sejak tinggal di rumah itu, nasib buruk selalu menimpanya hingga semalam ia ditemukan meninggal dunia
di dalam rumahnya.”
“Meninggal?!” Namora masih berusaha menggali banyak hal tentang almarhum
Partaonan, tapi Amangboru Sangap memberi isyarat agar ia membersihkan
diri dan beristirahat karena pasti kecapaian sehabis perjalanan jauh dari Kota
Medan. “Amangboru
mau melayat dulu. Inangborumu sudah
di sana sejak pagi. Selesai pemakaman, nanti kita lanjutkan pembicaraan,” kata Amangboru Sangap.
“Saya ikut melayat, Amangboru,”
kata Namora. “Saya bagian dari huta ini.”
Di angkasa, suara gong dengan nada tiga-tiga sudah tak terdengar lagi.
LIMA BELAS
TAHUN LALU, 1998, Namora meninggalkan Huta Ginjang. Saat itu ia baru selesai SMA, dan bermaksud
melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi di Kota Bandung.
Di Kota Bandung itulah Namora lahir, tapi saat masuk SMP, ia harus
meninggalkan Kota Bandung dan ayah
mengirimkannya ke Huta Ginjang lantaran suatu sebab yang tak pernah
diketahuinya. Ia hanya ingat, sebelum
keputusan itu dibuat ayahnya, terjadi
pertengkaran hebat antara ayah dengan ibunya.
Pertengkaran yang dipicu oleh suatu soal yang tak bisa dingatnya dengan
jelas hingga hari ini, dan ia harus menuruti keinginan ayahnya tanpa penolakan.
Mula-mula
Namora merasa bagai dibuang dari keluarga, tapi setelah sekian tahun menjadi bagian dari
warga Huta Ginjang, ia merasa sangat
beruntung. Di tempat baru inilah ia menjadi paham siapa dirinya, juga mengerti
betul dari keluarga seperti apa ayahnya dilahirkan.
“Di Huta Ginjang ini, semua orang akan menghormatimu tanpa kau minta,”
kata Amangboru Sangap.
Namora menduga ucapan Amangboru
Sangap itu hanya untuk membahagiakan hatinya agar betah tinggal di Huta
Ginjang. Tapi, setelah beberapa hari tinggal di Huta Ginjang dan Amangboru Sangap membawanya berkeliling
serta mengunjungi setiap rumah yang ada di Huta Ginjang, barulah ia menyadari
bahwa ucapan Amangboru Sangap tidak
hanya bermaksud menyenangkan hatinya.
“Kau berasal dari keluarga panusunan
bulung,” kata Amangboru Sangap.
Kemudian Amangboru Sangap bercerita tentang
panusunan bulung yang
merupakan keluarga pembuka Huta Ginjang. Sebelum panusunan bulung muncul, Huta Ginjang hanyalah sebuah kawasan hutan
lebat yang perawan di kaki Gunung Sibualbuali.
Ratusan tahun lalu leluhur Namora memasuki hutan perawan itu dan
membukanya untuk berkebun. Setelah satu
kali musim tanam mengalami panen yang luar biasa, leluhur Namora
kemudian membangun rumah, lalu memutuskan pindah dan tinggal di rumah itu. Selang beberapa tahun kemudian, leluhur Namora kembali lagi ke kampung lama
dan mengajak beberapa kerabat untuk pindah ke sekitar lahan perkebunan yang
baru dibukanya. Sejak itulah, muncul sebuah perkampungan di bekas hutan perawan
itu, yang kemudian disepakati namanya sebagai Huta Ginjang.
Kata ginjang berarti tinggi, diberikan karena letak perkampungan itu di
kawasan yang lebih tinggi. Dari jendela rumah-rumah penduduk di sana, bisa
menatap ke bawah yang merupakan lahan perkebunan milik warga yang sebagian besar
ditanami kopi, kulit manis, cengkih, dan sayur-mayur. Pemandangan itu memberikan ketenangan pada
diri siapa pun yang menebarkan tatapannya jauh ke lembah hingga berhenti di
pinggir sebatang sungai jernih. Air dari sungai itu dimanfaatkan warga Huta Ginjang
untuk mencetak lahan persawahan, dan manakala musim padi tiba, dari jendela rumah-rumah warga sawah-sawah
itu akan terlihat seperti permadani hijau yang dibentangkan.
“Kalau ada kerajaan di sini, kaulah putra mahkotanya,” tambah Amangboru Sangap. “Tapi semua kelebihanmu jangan sampai
membuatmu bersikap sombong. Keturunan
panusunan bulung adalah keturunan manusia yang boleh bersikap sombong.”
Namora mengangguk. Ingatan
tentang ucapan Amangboru Sangap itu
tak akan pernah lekang, juga saat ia memasuki
halaman rumah almarhum Partaonan. Di halaman rumah itu, di tempat dimana Namora
pernah bermain perang-perangan bersama kawan-kawan masa kecilnya, sudah dipasang dua tenda. Di bawah tenda ada
kursi plastik yang disiapkan ahlul bait untuk
para pelayat, beberapa anak muda terlihat sibuk menata kursi-kursi lain.
Sebagian kursi sudah dihuni para pelayat,
pada barisan pertama kursi dihuni pihak keluarga dekat dari almarhum
Partogi.
Berjalan di belakang Amangboru
Sangap, Namora juga menyalami setiap orang
yang duduk di bawah tenda itu, setelah Amangboru
Sangap menyalami mereka. Sambil
menyebutkan namanya, Namora melemparkan
senyum dan sekali-sekali meladeni warga yang merasa mengingat dirinya. Beberapa diantara mereka adalah kawan
sebayanya, tetapi secara fisik mereka
terlihat lebih tua dibandingkan Namora, sehingga ia baru mengenali bila mereka
menyebut namanya.
“Masya Allah, Monang! Kalau tak
kau sebut namamu, pasti saya tak mengenalimu lagi,” kata Namora sambil
merengkuh tubuh Monang ke dalam pelukannya.
Dulu, Namora banyak menghabiskan waktunya bersama Monang, dan laki-laki
itu sangat terpukul ketika Namora memutuskan kembali ke Kota Bandung.
“Sudah hebat kau sekarang,” kata Monang. “Tak aku sangka kita akan
bertemu lagi.”
Namora tersenyum. Ia bertanya tentang
anak-anak Monang, dan Monang bercerita bahwa ia menikah selesai SMA. “Aku sudah
punya dua cucu. Anak pertamaku tak mau sekolah,
ia memutuskan menikah agar bisa membantu aku di sawah. Dia memberiku dua
cucu,” katanya.
“Istri kau?” tanya Namora. “Apa kau menikahi
Rumondang?” Namora membongkar ingatan pada gadis manis yang sama-sama mereka
taksir saat SMA, dan itu membuat Monang terpingkal-pingkal. “Aku tak berjodoh
dengan Rumondang, “ kata Monang, “dia
menolak cintaku.”
Namora ikut tergelak.
“ADA APA KAU PULANG?” tanya Monang, beberapa
saat setelah mereka bernostalgia tentang masa lalu.
“Rindu.”
Namora berusaha tersenyum.
“Aku kenal kau jauh lebih baik daripada amangboru kau. Pasti ada hal
lain yang ingin kau lakukan,” tebak Monang.
Namora tersentak, tapi ia
sembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka Monang akan menduga-duga sampai
sejauh itu. Dan, mendadak, Namora ingat percakapan terakhirnya
dengan ayahnya, hal yang membuatnya bertolak dari Kota Bandung ke Huta Ginjang.
Semua lantaran warisan, harta peninggalan almarhum ompung, ayahnya ayah,
yang ada di Huta Ginjang: lima petak rumah, 10 petak kebun kopi, ratusan hektar
sawah, dan banyak lagi. Harta-hrta itu menjadi hak ayahnya sebagai anak laki-laki satu-satunya,
tapi semua harta itu dikelola Amangboru
Sangap bersama Inangboru. Namora
membutuhkan sebagian dari harta itu untuk dijual dan uangnya guna menambah
investasinya. Bisnis jaringan kafe yang dibukanya lima tahun lalu sedang
berkembang pesat, dan ia harus membuka beberapa
cabang di sejumlah mall di Kota Bandung. Upayanya untuk meminjam tambahan
investasi ke bank gagal karena masih terkait utang-piutang pada beberapa bank,
dan hal ini membuat Namora sangat pusing.
Ayah kemudian member alternatif, bahwa Namora masih punya harta yang
melimpah di Huta Ginjang, dan ia boleh menjualnya untuk menambah modal
usahanya.
“Coba bicarakan pada Amangboru
dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka
pasti mengerti,” saran ayah.
Namora memang menolak, karena ia tahu persis kondisi Amangboru dan Inangboru di Huta Ginjang. Mereka tak bisa disebut kaya meskipun
punya harta yang melimpah, karena hasil dari seluruh harta itu tidak dinikmati
sendiri. Pasalnya, saudara-saudara
ayah, semuanya empat orang
perempuan—salah seorang tinggal di Huta Ginjang dan menikah dengan Amangboru Sangap—selalu meminta jatah
mereka dari harta-harta tersebut. Mereka beralasan, ayah Namora tidak membutuhkan harta itu
karena hartanya sendiri sudah terlalu banyak,
dan karena itulah mereka yang paling berhak atas harta-harta itu.
Namora ingat ketika masih tinggal bersama Amangboru Sangap. Dulu, Amangboru Sangap sering mengeluhkan sikap saudara-daudara
perempuan ayah---Namora memanggil Inangboru
kepada semua saudara perempuan ayah—yang selalu mendesak agar membagi-bagi
harta warisan dari almarhum ompung itu. Tapi,
lantaran ayah Namora masih ada dan ia satu-satunya ahli waris yang
paling berhak atas harta warisan itu, Amangboru
Sangap mengatakan baru akan melayani
keinginan mereka jika sudah mendapat izin dari ayah Namora. Tapi, setiap kali Amangboru Sangap meminta izin dari ayah Namora, jawaban yang
didapat selalu sama.
“Harta itu warisan, tak boleh dibagi. Siapa pun yang tinggal di Huta
Ginjang, dia yang berhak mendapatkan
semua hasil dari harta itu,” kata ayah Namora.
Tapi sekarang, lantaran kebutuhan
dana yang mendesak untuk mengembangkan bisnis kafe itu, Namora tidak punya pilihan. Seperti juga
ayahnya, Namora adalah anak laki-laki satu-satunya. Bedanya, kalau ayah Namora
punya empat saudara perempuan, maka Namora hanya seorang diri. Sebab itulah,
Namora menjadi satu-satunya ahli waris dari harta yang diwariskan almarhum
ompungnya.
Itu pula alasan ayah Namora memberi
tahu soal harta itu. “Kalau kau
mau, kau bisa menjual semuanya,” kata ayah Namora.
“Hei!” Monang menepuk pundak Namora. “Apa yang kau pikirkan?”
Tapi Namora diam saja.
“Kau tak mau cerita padaku seperti dulu?” tanya Monang.
Namora mengeleng. “Tidak. Tidak ada masalah
apapun. Aku hanya rindu mau bertemu Amangboru
dan Inangboru. Sudah lama sekali,
sudah lima belas tahun saya tak ke mari.”
“Kalau kau tak mau, ya, sudah. Masih lama kau
di sini. Sempatkan ke rumah biar kau lihat siapa yang jadi ibu anak-anakku!”
kata Monang.
“KASIHAN KALI PARTAONAN,” kata Inangboru Halima, sehari kemudian
setelah pemakaman Partaonan. Suara inangboru
begitu lembut, masih seperti lima belas
tahun lalu. Namora mencoba menyimaknya.
Mereka sedang duduk di beranda rumah sambil
menunggu Amangboru Sangap pulang dari
kebun kopi. Jelang Magrib, Amangboru Sangap selalu pulang tepat waktu. Seharian ia
menghabiskan waktunya di kebun kopi, menyiangi gulma, dan menunasi pohon-pohon
kopinya. Tidak seperti dulu, kini Amangboru
Sangap kerja sendiri. Inangboru Halima tidak boleh ikut, menunggu di rumah.
Rumah tangga Amangboru Sangap
dengan Inangboru Halima belum dikarunia anak, meskipun usia
mereka sudah kepala lima. Saat mereka masih muda, Inangboru Halimah terkena serangan tumor indung rahim, dan harus
diangkat. Karena penderitaan itulah
makanya ayah Namora sangat menyayangi Inangboru
Halimah, dan untuk mengobati luka hatinya karena tidak punya anak, Namora dikirim ke Huta Ginjang. Meskipun begitu, keduanya menjadi pasangan
yang bahagia, dan tak merasa bahwa hidup mereka menjadi sangat kering tanpa kehadiran seorang anak pun.
“Ada apa sebetulnya Inangboru?”
tanya Namora. “Aku dengar semua orang mengatakan nasib Partaonan begitu buruk.”
“Seharusnya ia tidak pernah pindah ke rumah itu.” Inangboru Halima bicara seperti mengeluh. “Sejak awal Amangboru kau sudah mengingatkannya,
tapi niatnya untuk pulang kampong dan mengurusi semua harta warisan almarhum
orangtuany begitu luhur.”
“Rumah tua itu,” tebak Namora.
“Ya, rumah itu tak ada yang mengurusinya. Mereka
enam bersaudara, semuanya merantau. Hanya Partaonan yang berpikir untuk pulang
dan mengurusi rumah itu. Kata Partaonan itu rumah tempatnya lahir, makanya ia
ingin rumah itu terawat.”
“Itu niat yang baik.” Namora mengomentari.
“Mestinya begitu,” kata Inangboru Halimah, “tapi nyatanya jadi malapetaka.”
“Kenapa begitu?”
“Lima saudaranya, terutama tiga saudara
perempuannya, meminta agar menjual rumah itu dan hasil penjualannya dibagi-bagi
kepada semua ahli waris. “
“Rumah sebesar itu dibagi-bagi. Berapalah totalnya untuk satu orang.
Untuk beli kerupuk saja tak cukup.” Namora geleng kepala. “Partaonan menolaknya
pasti.”
“Ya. Partoanan menolak menjualnya. Katanya, rumah itu satu-satunya tanda
peninggalan almarhum orangtuanya. Dia berniat memperbaiki rumah itu agar setiap
saudaranya yang hendak pulang bisa mengunjungi rumah tersebut. Tapi sikap itu
justru membuat persoalan semakin berat,
saudara-saudaranya memfitnahnya, memburuk-burukkannya, dan
memaki-makinya.”
“Sampai seperti itu?!” Namora menggeleng.
“Partaonan sendiri tidak mengira akan seperti
itu. Dia hanya ingin mempertahankan, tapi dia menjadi musuh semua orang. Itu
membuatnya sedih, dan sejak itu ia sering sakit-sakitan.”
“Betulkah semua ini, Inangboru.”
Namora meragukan cerita yang baru didengarnya. “Hubungan tali darah bisa putus
gara-gara itu.”
“Harta membutakan mata manusia.” Inangboru
Halimah bicara dengan suara bergetar. Kalimat itu seakan-akan ditujukan kepada
dirinya sendiri, karena memang Inangboru
Halimah tahu persis perasaan seperti apa yang dialami Partaonan, penderitaan
seperti apa yang mendera nasibnya. Seperti itulah yang dialami Inangboru Halimah karena
saudara-saudaranya selalu mendesak agar seluruh harta warisan dibagi-bagi, tapi
rasa sakit Inangboru Halimah sedikit terobati karena ayah Namora selalu
mendukungnya.
Mendadak Namora ingat tujuan kedatangannya untuk menjual harta
warisannya itu, tapi keraguan memerangkapnya. Ia tatapan Inangboru Halimah tepat pada bola matanya, dan ia lihat kesedihan
menggenang di sana.
“Kenapa?” tanya Inangboru Halimah, “caramu melihat Inangboru agak berbeda.”
Namora tersentak mendapat pertanyaan seperti itu. Ia alihkan tatapannnya
ke tempat lain, ke pohon jambu air di halaman rumah. Di bawah pohon jambu air
itu, dulu, ia sering bermain bersama kawan-kawannya. Telinganya bagai mendengar tawa mereka yang
riang. Ia juga menangkap suara Amangboru Sangap saat menyuruh mereka
berhenti bermain ketika terdengar suara azan dari masjid.
“Berapa lama rencanamu di sini?” tanya Inangboru Halimah.
“Sepekan.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu? Keluargamu?
Anak-anakmu?”
Namora tersenyum. “Saya rindu kepada Amangboru dan Inangboru. Saya juga rindu pada masa kecil saya di sini.” Kalimat itu diungkapkan Namora sambil menahan
getar di dadanya. Terbayang bisnis jaringan
kafenya di Kota Bandung, terbayang percakapan dengan ayahnya. *
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda