Komunikasi Politik Para Pendendam

by - May 24, 2010

Ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono berpidato menanggapi hasil hak angket Pansus Century, sesungguhnya ia tidak sedang menyikapi kasus yang menjadi sorotan publik itu. Pidato itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, karena keputusan DPR tersebut membuat SBY sebagai representasi Partai Demokrat merasa ditekan.



Oleh : Budi P. Hatees


Merujuk Alfred Adler (1964), SBY bisa disebut memiliki tipikal anak tunggal: cenderung menjaga perhatian tetap tertuju kepadanya, menghindari konflik yang mungkin membuatnya jadi orang tak disukai. Karena itu, ia mesti menampilkan diri sebaik mungkin di depan orang lain. Cara itu efektif memperoleh perhatian, setelah itu ia akan tampil sebagai orang memesona dan berprestasi.

SBY sangat menjaga citra baik dirinya dengan selalu ingin tampil memosona dan menjadi pusat perhatian orang lain. Segala bentuk tekanan akan membuat SBY merasa risih dan tidak enak. Karena tekanan itu akan memosisikan pada kedudukan sebagai inspirasi bagi segala bentuk eksploitasi. Pada akhirnya, ia hanya akan dicirikan sebagai pemimpin yang lemah dan tidak punya cukup keberanian untuk “mengeksekusi“ nama-nama yang bermasalah dalam opsi C dipilih Pansus DPR itu.

Bahasa Politik

Pidato SBY berusaha menghindarkan dirinya menjadi sumber eksploitasi politik. SBY tak ingin publik mengubah persepsi mereka tentang sosoknya sebagai manusia terbaik yang terpilih dua kali dalam Pemilu sebagai presiden. Sebab itu, pidato SBY dirancang sedemikian rupa untuk mendapatkan tempat dan dukungan public dengan menggugah rasa solidaritas nasional.

Pidato yang disampaikan, salah satu upaya SBY membangun kembali komunikasi politik dengan public luas. Ini kentara dari pilihan idiom, frasa, diksi, semantik, dan gramatikal dalam pidato, yang mencerminkan sosoknya orang yang memesona. Pidato SBY dibuat dengan citraan bahasa yang santun, lembut, dan sangat menghargai tata karma.
Etika berbahasa sangat diperhatikan, memperlihatkan bahwa ia bukan tife yang suka berkobar-kobar. SBY hanya berusaha mempertahankan citra diri, yang dalam pandangannya sudah terganggu oleh hasil kerja Pansus DPR.

Bahasa politik bagi SBY bukan saja erat kaitannya dengan upaya untuk merebut simpati rakyat, juga sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap DPR RI. Kesantunan berbahasa, kelembutan diksi, dan kesederhanaan dalam linguistic bertolak belakang dengan apa yang dipertontonkan DPR saat persidangan.

Kita melihat, DPR, ketika mengumumkan hasil angket, tampak seolah-olah sedang “menghancurkan” musuh manusia yang paling berbahaya. Ketidaksantunan dalam berkomunikasi, juga dalam bertindak yang kemudian berakhir menjadi kerusuhan, ditutup dengan perilaku kekanak-kanakan dengan menyanyikan lagu kemenangan. Mereka, saat membentuk koor paduan suara selepas acara, tampak sangat bangga seolah-olah sekelompok pejuang yang baru saja merubuhkan benteng musuh.

Tuturan politik yang dilontarkan SBY mengandung muatan dan misi kerakyatan melalui bahasa yang sederhana, gampang dicerna, dan terhindar dari kesan bombastis. SBY menekankan bahwa cara berkomunikasinya sesuai dengan pola komunikasi yang diyakini oleh public. Cara berkomunikasi yang sudah mendapat pujian secara internasional, setidaknya Asia Pasifik, lewat penghargaan Gold Standard yang diberikan oleh Public Affairs Asia beberapa waktu lalu.

Komunikasi Politik

Dalam ranah kehidupan politik, pilihan cara berkomunikasi SBY sebetulnya sangat efektif. Dari pilihan bahasa, SBY terkesan bukan saja ingin membeberkan kebenaran kepada public, mengajak public memercayai kebenaran itu, dan membujuk public agar melihat dampak krisis moter seperti cara pemerintah. SBY terlihat sedang berusaha untuk menguasai public dengan menciptakan pendapat umum yang baru.

SBY membangun kesan, wajar bila proses berdemokrasi di DPR menghasilkan opsi C. Sebab, DPR tidak sedang memikirkan mencari solusi paling tepat dari persoalan bailout, tetapi lebih berpretensi untuk menjatuhkan citra Partai Demokrat. Penekanan ini diungkap SBY dengan pujian bahwa ia menghormati proses demokrasi di DPR itu.

Tetapi SBY menilai proses politik itu hanya berlandaskan hukum (rules of law), bukan berlandaskan pada akal sehat (rules of reason), sehingga keputusan politik legislatif itu mengabaikan kesulitan Indonesia menghadapi dampak krisis ekonomi global pada 2008 lalu. Bagi SBY, para anggota legislative tidak memiliki sense of crisis.

SBY memuji dan menyanjung bekan Gubernur Bank Indonesia Budiono dan bekas Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati sebagai manusia paling berjasa menyelamatkan perekonomian Indonesia dari dampak krisis global tahun 2008.

Tetapi SBY juga mengakui adanya kesalahan dan penyimpangan mengingat kebijakan bouilout Bank Century karena dibuat saat krisis berlangsung, sehingga setiap orang bekerja secara terburu-buru.

Dengan bahasa politik yang santun, SBY berusaha menjadi sumbu komunikasi bagi public. Dalam bukunya From Grammar to Politics: Linguistic Anthropology in a Western Samoan Village (1994), Alessandro Duranti mengatakan “language does not simply reflect the world, is also shapes itu, fashions it”. Artinya, SBY sadar betul public Indonesia mesti diajak berkomunikasi dalam tataran yang santun, yang lahir dari akal sehat (rules of reason) dalam melihat realitas Indonesia.

Komunikasi pada akhirnya merupakan proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Ada penekanan pada peran komunikator, sehingga seorang komunikator haruslah menempatkan diri sebagai orang yang mengerti betul watak dan kultur sebagian besar komunikannya. Komunikan dari SBY sesungguhnya bukan anggota Pansus DPR, tetapi public Indonesia.

Di sinilah SBY memosikan diri sebagai komunikator yang paham betul, bahwa bagi public Indonesia merupakan sebuah tabu untuk menciderai perasaan pihak lain. Bicara lugas dan tegas tidak harus dilakukan dengan melukai perasaan orang lain. Apalagi seorang pemimpin yang acap dipandang dalam kerangka berpikir tradisional sebagai pemuka pendapat (opinion leadher), yakni entitas yang sepenuhnya menjadi anutan public.

Sebagai anutan, public tidak menghendaki seorang opinion leadher yang menjadi perbuatan sebagai hal yang berbeda dengan perkataan.

Dendam Politik

Sayangnya, pasca pengumuman hasil hak angket Pansus, SBY justru tampak ragu dengan kesuksesan komunikasi politik yang dirancangnya. Konsistensi SBY untuk tetap bersikap dan berperilaku santun, perlahan-lahan mulai goyah ketika ia mengumbar “dendam politik” dengan cara mengungkap satu per satu masalah hokum para lawan politik.

Kasus hukum politisi PDIP, PPP, Partai Golkar , dan PKS, mendadak muncul ke permukaan. Memang, sejak awal rombongan Presiden SBY melalui Partai Demokrat telah menggembar-gemborkan kasus hokum para elite partai politik ini. Tapi, intensitas semakin meningkat pasca pengumuman Pansus DPR.

Dengan “dendam politik” ini, sebetulnya SBY sudah melakukan blunder politik. Secara perlahan-lahan, SBY telah melakukan hal yang sesungguhnya kurang disukai public, yakni melukai perasaan orang lain. Akibatnya, persepsi public yang sebetulnya mulai beralih untuk mendukung SBY paska pidato, mulai berubah. SBY mulai disejajarkan dengan para elite partai politik yang terlibat dalam Pansus, yakni entitas yang punya hasrat besar untuk tertawa melihat kejatuhan orang lain.

Padahal, komunikasi politik yang dilakukan SBY bisa sangat efektif apabil tetap konsisten dengan sikap dan orientasi mengubah persepsi public. Sementara mengenai penyelesaikan kasus dana talangan Bank Century yang merugikan Negara, SBY bisa menyerahkannya pada petugas hokum.

Bukankah realitas politik yang mengemuka dari hasil Pansus tidak bisa menjadi realitas hokum. Artinya, SBY seharusnya bukan membuat penawaran politik dengan mengungkap kasus hokum dari elite-elite parpol yang berseberangan, tetapi mengupayakan agar realitas politik itu tidak sampai menjadi realitas hokum. ****

You May Also Like

0 #type=(blogger)