Menjadi Renta Bersamamu
Setelah malam itu aku menginap di rumahmu,
pagi harinya aku dihantam oleh rasa bersalah yang sangat dahsyat. Harusnya aku
bicara terus-terang, bahwa sejak mengenalmu, setiap pagi aku menemukan diriku
sudah terbelah. Sepotong diriku ada di Bandar Lampung, menjadi suami dari
seorang istri sekaligus ayah dua orang anak, dan sepotong lainnya seperti
mengembara di jagat yang tak aku kenali dan terus-menerus diganggu oleh
keinginan luar biasa untuk mengumpulkan kepingan-kepingan dirimu hingga utuh di
dalam hidupku.
Di dalam angkot yang membawaku dari rumah
kontrakanmu di Cimanggis menuju Depok, berulang-ulang aku kutuki
ketidakberanianku untuk bicara terus-terang, padahal itulah kesempatan emas
untuk bicara apa adanya kepadamu. Tidak banyak kesempatan bertemu dan berbicara
berdua dengan dirimu, karena jarak di antara kita bukan saja soal panjangnya
ruas jalan yang harus aku tempuh, tapi juga tentang waktu yang kadang lebih
cepat berganti dari perkiraanku. Jarak di antara kita, ternyata, juga soal
ruang yang terlalu lebar seperti aku sedang berada di sebuah gurun tandus dan
susah payah melintasinya dalam keadaan kantung air sudah kosong, sedangkan kau
di tengah-tengah padang sabana dengan ratusan kuda berlari-lari di sekitarmu.
Aku memang sengaja menunggu sampai malam
tiba, berharap suasana malam akan menumbuhkan hal-hal yang romantis dalam
percakapan kita, dan aku berpura-pura menolak tawaranmu agar aku menginap
di rumah kontrakanmu hanya agar kau mengulangi tawaran itu. “Malam ini aku tak
di rumah, kau bisa menginap di rumah kontrakanku. Besok pagi kau akan
lebih segar untuk lanjutkan perjalananmu,” katamu.
Aku memang sangat lelah ketika sore itu aku
tiba di Cimanggis. Aku tak begitu memahami daerah yang kau pilih sebagai
tempat tinggalmu. Aku tak tahu di mana persis bisa menemuimu meskipun
telah kau kirim pesan berisi alamatmu di telepon genggamku. Aku menyesali
kenapa begitu nekat datang dari Bandar Lampung hanya untuk menemuimu. Aku
putuskan turun dari angkot dan berjalan kaki. Aku pikir lebih mudah mencari alamatmu
dengan cara berjalan kaki. Dan, memang, setelah aku temukan alamatmu, seluruh
pakaianku basah oleh keringat. Tapi rasa pegal pada betis dan seluruh
ototku terabaikan ketika melihatmu.
Kau tak banyak berubah, masih seperti saat
pertama kali aku menemuimu tanpa sengaja di acara pelatihan itu. Ah, aku tak
akan melupakan pertemuan yang sebetulnya tidak berkesan itu. Tapi, saat
itu, ketika kau mendatangiku dan memperkenalkan diri sebagai guru wali dari
murid-murid yang akan mengikuti pelatihan menulis itu, aku bisa menebak
bahwa kau pasti seorang guru yang sulit dilupakan muridmu. Tapi aku tak banyak
bicara, hanya berdialog dengan diriku sendiri, juga ketika kau bercerita
panjang lebar tentang sekolah yang dibangun di tengah-tengah hutan batang-batang
tebu itu. Aku lebih banyak sebagai pendengar sambil sekali-sekali mengagumi
daun-daun tebu yang bergelombang ditiup angin.
Pertemuan dengan dirimu mulai memberi kesan
luar biasa beberapa hari kemudian. Tiba-tiba kau menghubungiku pada telepon
genggam, memberi tahu bahwa kau sedang berada di Kota Bandar Lampung, dan
menginap di sebuah hotel melati di tengah-tengah kota. Sebagai orang yang baru
aku kenal, juga sebagai orang yang telah kau perlakukan dengan begitu istimewa
saat aku datang ke sekolah tempatmu mengajar, aku merasa harus menjadi tuan
rumah yang baik bagimu. Saat menemanimu, aku jadi lebih mengenalimu, dan ada
sesuatu di dalam dirimu yang selalu membuat aku berpikir keras untuk tak
melupakanmu.
Sejak itu kita semakin sering berhubungan,
meskipun hampir tidak pernah bertemu. Lewat surel yang kau kirim, kau bilang
akan meninggalkan pekerjaanmu sebagai guru, karena anakmu yang tinggal
bersama Ben, suamimu, dan juga neneknya, ibu dari suamimu, butuh kehadiran
ibunya.
“Aku akan ke Purwakarta,” tulismu suatu hari
di dalam surel, menyebut nama kota di mana anakmu tinggal bersama ayahnya. “Ada
hal penting yang harus aku selesaikan.” Di hari lain kau meneleponku,
mengatakan kalau kau sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tanggamu
bersama Ben. “Kami tak cocok. Itu saja,” katamu. Lalu di hari lainnya,
kau memberitahuku kalau kau sudah pindah ke Cimanggis. “Aku ingin jadi
penulis,” katamu.
Entah lantaran suatu beban yang membuat
kepalaku begitu berat, suatu hari aku berencana berangkat bekerja
sambil naik angkot. Tidak biasanya aku seperti itu. Dan, betapa
terkejutnya aku, setelah turun dari angkot, ternyata aku naik bus menuju
Pelabuhan Bakauheni. Lebih terkejut lagi, ternyata pula, setelah tiba di
Pelabuhan Bakauheni, aku membeli tiket kapal cepat. Lalu kau berlebat di
kepalaku.
“Ada apa denganmu?” Kau memperhatikanku,
seluruh pakaianku yang basah. “Kau begitu kacau. Kau seperti tak terurus.”
“Aku memang kacau.” Aku mencoba tersenyum.
“Aku tak tahu apa yang telah terjadi padaku?”
Aku ceritakan padamu, bahwa tadi pagi aku
berencana hendak ke kantor, tapi ternyata aku justru ada di hadapanmu. Kau
malah tertawa. Sekejap. Lalu kau mengalihkan pembicaraan pada tema lain, pada
hal-hal yang kau ceritakan di dalam surelmu. Semua tentang keinginanmu
untuk menjadi penulis, lalu kau bertanya tentang tulisan-tulisan yang pernah
kau kirimkan kepadaku.
Aku justru mengalihkan ke hal lain, ke
beberapa judul buku yang pernah aku baca, dan menceritakan isi buku itu
kepadamu. Kau membalas dengan bercerita tentang kebiasaanmu membaca buku,
menghabiskan uang gaji bulananmu untuk membeli buku, dan usahamu yang sangat
keras untuk bisa menghasilkan sebuah karya yang bisa disiarkan di sebuah koran
atau majalah.
Kita pun bicara banyak hal. Selesai satu
tema, kita meloncat ke tema lain. Selesai bicara tentang buku, kita
perbincangkan tentang orang-orang yang menulis buku. Kau pun menceritakan
pengalamanmu bertemu dengan banyak penulis selama berada di Cimanggis.
Pada hari libur, kau menghabiskan waktu dengan mengunjungi toko buku. Kadang,
di toko buku itu ada acara peluncuran buku baru yang menampilkan pengarangnya.
Kau berkenalan dengan para pengarang buku itu. Aku selalu mendengar ceritamu
tentang para penulis yang kau kenal. Sekali-sekali aku bilang kalau aku
juga mengenal mereka secara pribadi.
“Aku pernah membaca cerpen dan sajak yang kau
tulis. Apakah aku bisa menulis seperti itu?” tanyamu.
Kita pun berbicara tentang cara menulis.
Setelah itu kau bercerita tentang bekas murid-muridmu yang pernah ikut
pelatihan menulis dengan aku. Kau bilang, anak-anak muridmu itu selalu
menghubungimu walaupun kau tidak lagi bekerja sebagai guru di sekolah itu. Kau
bilang mereka adalah anak-anak yang cerdas dan berbakat. Aku hanya mengangguk,
meskipun tak begitu mengenali mereka. Aku pikir dengan mengangguk-angguk,
kau akan tahu kalau aku menyukai ceritamu.
Tanpa terasa, maghrib pun tiba. Aku baru
sadar harus kembali ke Bandar Lampung. “Kau gila,” katamu, lalu menawarkan agar
aku menginap di rumah kontrakanmu. Kau bilang rumah itu akan kosong karena ada
tugas yang mesti kau kerjakan di kantor hingga besok pagi. “Aku masih ingin
mengobrol denganmu,” katamu.
Ketika angkot yang membawaku berhenti di
Depok, aku berencana naik angkot lain yang bisa membawaku ke Terminal Kampung
Rambutan. Dari sana aku akan naik bus ke Pelabuhan Merak, kemudian naik kapal
cepat ke Pelabuhan Bakauheni. Di Bakauheni aku bisa memilih taksi menuju rumah.
Tapi, saat aku pikir sudah memilih angkot jurusan Depok–Kampung Rambutan,
ternyata aku malah naik angkot trayek Depok–Cimanggis.
Aku baru menyadari kekeliruanku setelah sopir
angkot berteriak Cimanggis untuk memanggil calon penumpangnya. Aku
ingin turun dari angkot itu, tapi aku tetap bertahan. Angkot kembali bergerak,
lalu bayanganmu berkelebat di kepalaku. Tiba-tiba aku ingat ternyata banyak hal
yang sebetulnya ingin aku bicarakan denganmu justru tidak aku bicarakan. Aku
baru sadar, ternyata aku lebih banyak menjadi pendengar saat bertemu denganmu.
Dan, tiba-tiba pula, ketika ada seorang penumpang yang minta turun di depan
sebuah sekolah, mendadak aku ikut turun.
Begitu angkot pergi, aku baru ingat bahwa kau
mengatakan rumah kontrakanmu persis di depan sekolah.
Aku menoleh ke seberang jalan, betapa
ajaibnya, kau berdiri di depan rumah kontrakanmu. Kau tak bekerja hari
ini, dan penampilanmu begitu kacau. Mungkin kau tidur lagi setelah aku
berpamitan, tapi kau tidak bisa tertidur lantaran satu dan lain hal. Dan, saat
bersamaan aku melihatmu berdiri di depan rumah kontrakan, kau juga melihat aku
berdiri di seberang jalan. “Budi…. Kau…!” Kau berteriak dari depan rumah
kontrakanmu, melangkah ke pinggir jalan, melihat aku menyeberangi jalan untuk
mendekatimu. “Kau belum pulang?”
Aku bilang kalau aku sudah sampai di Depok,
dan saat aku ingin ke Terminal Kampung Rambutan, aku justru menaiki angkot
menuju Cimanggis. “Jangan menertawaiku!” kataku ketika melihat kau hendak
tertawa. “Aku betul-betul kacau.”
Kau mengajakku masuk ke rumah kontrakanmu.
Aku duduk di ambal yang kau gelar. Kau duduk di sampingku. Lama kita saling
diam. Aku sedang berusaha menumbuhkan keberanian untuk bicara terus terang
kepadamu, dan aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Ketika aku merasa
sudah punya cukup keberanian untuk bicara, aku membuka mulut. Saat bersamaan
kau membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.
“Kau duluan!” kataku.
“Kaulah duluan!” katamu.
Kita kembali sama-sama diam. Dadaku bukan
lagi berdetak tak keruan, tapi sudah bergetar hingga membuat tanganku bergetar.
Aku rasa bibirku ikut bergetar. Aku merasa harus bisa mengalahkan getaran ini sebelum
kau melihatnya. Tapi, ternyata, saat aku perhatikan, tubuhmu juga
bergetar. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku pikir aku harus mengatakan
apa yang aku pikirkan.
“Malam tadi,” katamu, tiba-tiba, lalu
menatapku. “Tidak terjadi apa-apa di antara kita, bukan?”
Aku gugup dan menggeleng. “Tidak,” kataku.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Tidak,” katamu, lalu tersenyum.
Aku menghela napas. Aku ingat tadi malam. Kau
pulang dari kantor karena tidak enak membiarkanku sendirian di dalam rumah
kontrakanmu. Aku bukakan pintu untukmu. Seumur hidup aku tidak pernah
membukakan pintu untuk seorang perempuan, dan aku mengecup keningmu begitu
mesra. Kau kaget tapi kau diam saja. Lama kita saling menatap. Kita baru
tersadar ketika kau menutupkan pintu. “Kau sudah tertidur?” tanyamu. Aku hendak
menjawab kalau aku sulit memejamkan mata, tapi kau melanjutkan kalimatmu.
“Kenapa aku harus bertanya, sudah pasti kau tidak bisa tidur.” Kau meletakkan
tasmu, lalu duduk di sampingku.
“Kenapa kau berkata begitu?” tanyaku.
Kau tersenyum. “Karena aku tidak betah di
kantor dan selalu memikirkanmu.”
Dan, entah bagaimana awalnya, malam itu kita
kembali bercakap-cakap tentang banyak hal. Semakin lama, kita semakin dekat.
Lalu kau mulai rebahan di atas ambal sambil tetap bicara. Tak lama kemudian aku
juga rebahan sambil tetap bicara. Aku menatap langit-langit. Pikiranku
terasa begitu tenang. Aku merasa begitu nyaman. Tak sadar, aku tertidur.
Pagi harinya aku terbangun dan kita sudah
berpelukan. Kita hanya tidur, berpelukan. Tidak terjadi apa-apa di antara
kita. Tapi malam itu, mungkin karena pelukanmu, aku bermimpi sudah
menjadi tua bersamamu.
Kau tersenyum, menatapku begitu dalam. “Kau tahu. Tadi
malam aku bermimpi menjadi renta bersamamu.”
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda