Menjadi Renta Bersamamu

by - December 13, 2019


Setelah malam itu aku menginap di rumahmu, pagi harinya aku dihantam oleh rasa bersalah yang sangat dahsyat. Harusnya aku bicara terus-terang, bahwa sejak mengenalmu, setiap pagi aku menemukan diriku sudah terbelah. Sepotong diriku ada di Bandar Lampung, menjadi suami dari seorang istri sekaligus ayah dua orang anak, dan sepotong lainnya seperti mengembara di jagat yang tak aku kenali dan terus-menerus diganggu oleh keinginan luar biasa untuk mengumpulkan kepingan-kepingan dirimu hingga utuh di dalam hidupku.
Di dalam angkot yang membawaku dari rumah kontrakanmu di Cimanggis menuju Depok, berulang-ulang aku kutuki ketidakberanianku untuk bicara terus-terang, padahal itulah kesempatan emas untuk bicara apa adanya kepadamu. Tidak banyak kesempatan bertemu dan berbicara berdua dengan dirimu, karena jarak di antara kita bukan saja soal panjangnya ruas jalan yang harus aku tempuh, tapi juga tentang waktu yang kadang lebih cepat berganti dari perkiraanku. Jarak di antara kita, ternyata, juga soal ruang yang terlalu lebar seperti aku sedang berada di sebuah gurun tandus dan susah payah melintasinya dalam keadaan kantung air sudah kosong, sedangkan kau di tengah-tengah padang sabana dengan ratusan kuda berlari-lari di sekitarmu.
Aku memang sengaja menunggu sampai malam tiba, berharap suasana malam akan menumbuhkan hal-hal yang romantis dalam percakapan kita, dan aku berpura-pura menolak  tawaranmu agar aku menginap di rumah kontrakanmu hanya agar kau mengulangi tawaran itu. “Malam ini aku tak di rumah, kau bisa menginap di rumah kontrakanku.  Besok pagi kau akan lebih segar untuk lanjutkan perjalananmu,” katamu.
Aku memang sangat lelah ketika sore itu aku tiba di Cimanggis. Aku  tak begitu memahami daerah yang kau pilih sebagai tempat  tinggalmu. Aku tak tahu di mana persis bisa menemuimu meskipun telah kau kirim pesan berisi alamatmu di telepon genggamku.  Aku menyesali kenapa begitu nekat datang dari Bandar Lampung hanya untuk menemuimu. Aku putuskan turun dari angkot dan berjalan kaki. Aku pikir lebih mudah mencari alamatmu dengan cara berjalan kaki. Dan, memang, setelah aku temukan alamatmu, seluruh pakaianku basah oleh keringat.  Tapi rasa pegal pada betis dan seluruh ototku terabaikan ketika melihatmu.
Kau tak banyak berubah, masih seperti saat pertama kali aku menemuimu tanpa sengaja di acara pelatihan itu. Ah, aku tak akan melupakan pertemuan yang sebetulnya tidak berkesan itu.  Tapi, saat itu, ketika kau mendatangiku dan memperkenalkan diri sebagai guru wali dari murid-murid yang akan mengikuti pelatihan menulis itu,  aku bisa menebak bahwa kau pasti seorang guru yang sulit dilupakan muridmu. Tapi aku tak banyak bicara, hanya berdialog dengan diriku sendiri,  juga ketika kau bercerita panjang lebar tentang sekolah yang dibangun di tengah-tengah hutan batang-batang tebu itu. Aku lebih banyak sebagai pendengar sambil sekali-sekali mengagumi daun-daun tebu yang bergelombang ditiup angin.
Pertemuan dengan dirimu mulai memberi kesan luar biasa beberapa hari kemudian. Tiba-tiba kau menghubungiku pada telepon genggam, memberi tahu bahwa kau sedang berada di Kota Bandar Lampung, dan menginap di sebuah hotel melati di tengah-tengah kota. Sebagai orang yang baru aku kenal, juga sebagai orang yang telah kau perlakukan dengan begitu istimewa saat aku datang ke sekolah tempatmu mengajar, aku merasa harus menjadi tuan rumah yang baik bagimu. Saat menemanimu, aku jadi lebih mengenalimu, dan ada sesuatu di dalam dirimu yang selalu membuat aku berpikir keras untuk tak melupakanmu.
Sejak itu kita semakin sering berhubungan, meskipun hampir tidak pernah bertemu. Lewat surel yang kau kirim, kau bilang akan meninggalkan pekerjaanmu sebagai guru,  karena anakmu yang tinggal bersama Ben, suamimu, dan juga neneknya, ibu dari suamimu, butuh kehadiran ibunya.
“Aku akan ke Purwakarta,” tulismu suatu hari di dalam surel, menyebut nama kota di mana anakmu tinggal bersama ayahnya. “Ada hal penting yang harus aku selesaikan.” Di hari lain kau meneleponku, mengatakan kalau kau sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tanggamu bersama Ben. “Kami tak cocok. Itu saja,” katamu.  Lalu di hari lainnya, kau memberitahuku kalau kau sudah pindah ke Cimanggis. “Aku ingin jadi penulis,” katamu.
Entah lantaran suatu beban yang membuat kepalaku begitu berat, suatu hari aku  berencana berangkat bekerja sambil  naik angkot. Tidak biasanya aku seperti itu.  Dan, betapa terkejutnya aku, setelah turun dari angkot, ternyata aku naik bus menuju Pelabuhan Bakauheni. Lebih terkejut lagi, ternyata pula, setelah tiba di Pelabuhan Bakauheni, aku membeli tiket kapal cepat. Lalu kau berlebat di kepalaku.
“Ada apa denganmu?” Kau memperhatikanku, seluruh pakaianku yang basah. “Kau begitu kacau. Kau seperti tak terurus.”
“Aku memang kacau.” Aku mencoba tersenyum. “Aku tak tahu apa yang telah terjadi padaku?”
Aku ceritakan padamu, bahwa tadi pagi aku berencana hendak ke kantor, tapi ternyata aku justru ada di hadapanmu. Kau malah tertawa. Sekejap. Lalu kau mengalihkan pembicaraan pada tema lain, pada hal-hal yang  kau ceritakan di dalam surelmu. Semua tentang keinginanmu untuk menjadi penulis, lalu kau bertanya tentang tulisan-tulisan yang pernah kau kirimkan kepadaku.
Aku justru mengalihkan ke hal lain, ke beberapa judul buku yang pernah aku baca, dan menceritakan isi buku itu kepadamu. Kau membalas dengan bercerita tentang kebiasaanmu membaca buku, menghabiskan uang gaji bulananmu untuk membeli buku, dan usahamu yang sangat keras untuk bisa menghasilkan sebuah karya yang bisa disiarkan di sebuah koran atau majalah.
Kita pun bicara banyak hal. Selesai satu tema, kita meloncat ke tema lain. Selesai bicara tentang buku, kita perbincangkan tentang orang-orang yang menulis buku. Kau pun menceritakan pengalamanmu bertemu dengan banyak penulis selama berada di Cimanggis.  Pada hari libur, kau menghabiskan waktu dengan mengunjungi toko buku. Kadang, di toko buku itu ada acara peluncuran buku baru yang menampilkan pengarangnya. Kau berkenalan dengan para pengarang buku itu. Aku selalu mendengar ceritamu tentang para penulis yang  kau kenal. Sekali-sekali aku bilang kalau aku juga mengenal mereka secara pribadi.
“Aku pernah membaca cerpen dan sajak yang kau tulis. Apakah aku bisa menulis seperti itu?” tanyamu.
Kita pun berbicara tentang cara menulis. Setelah itu kau bercerita tentang bekas murid-muridmu yang pernah ikut pelatihan menulis dengan aku. Kau bilang, anak-anak muridmu itu selalu menghubungimu walaupun kau tidak lagi bekerja sebagai guru di sekolah itu. Kau bilang mereka adalah anak-anak yang cerdas dan berbakat. Aku hanya mengangguk, meskipun tak begitu mengenali mereka. Aku pikir  dengan mengangguk-angguk, kau akan tahu kalau aku menyukai ceritamu.
Tanpa terasa, maghrib pun tiba. Aku baru sadar harus kembali ke Bandar Lampung. “Kau gila,” katamu, lalu menawarkan agar aku menginap di rumah kontrakanmu. Kau bilang rumah itu akan kosong karena ada tugas yang mesti kau kerjakan di kantor hingga besok pagi. “Aku masih ingin mengobrol denganmu,” katamu.
Ketika angkot yang membawaku berhenti di Depok, aku berencana naik angkot lain yang bisa membawaku ke Terminal Kampung Rambutan. Dari sana aku akan naik bus ke Pelabuhan Merak, kemudian naik kapal cepat ke Pelabuhan Bakauheni. Di Bakauheni aku bisa memilih taksi menuju rumah. Tapi, saat aku pikir sudah memilih angkot jurusan Depok–Kampung Rambutan,  ternyata aku malah naik angkot trayek Depok–Cimanggis.
Aku baru menyadari kekeliruanku setelah sopir angkot berteriak  Cimanggis untuk memanggil calon penumpangnya.  Aku ingin turun dari angkot itu, tapi aku tetap bertahan. Angkot kembali bergerak, lalu bayanganmu berkelebat di kepalaku. Tiba-tiba aku ingat ternyata banyak hal yang sebetulnya ingin aku bicarakan denganmu justru tidak aku bicarakan. Aku baru sadar, ternyata aku lebih banyak menjadi pendengar saat bertemu denganmu. Dan, tiba-tiba pula, ketika ada seorang penumpang yang minta turun di depan sebuah sekolah, mendadak aku ikut turun.
Begitu angkot pergi, aku baru ingat bahwa kau mengatakan rumah kontrakanmu persis di depan sekolah.
Aku menoleh ke seberang jalan, betapa ajaibnya, kau berdiri di depan rumah kontrakanmu.  Kau tak bekerja hari ini, dan penampilanmu begitu kacau. Mungkin kau tidur lagi setelah aku berpamitan, tapi kau tidak bisa tertidur lantaran satu dan lain hal. Dan, saat bersamaan aku melihatmu berdiri di depan rumah kontrakan, kau juga melihat aku berdiri di seberang jalan. “Budi…. Kau…!” Kau berteriak dari depan rumah kontrakanmu, melangkah ke pinggir jalan, melihat aku menyeberangi jalan untuk mendekatimu. “Kau belum pulang?”
Aku bilang kalau aku sudah sampai di Depok, dan saat aku ingin ke Terminal Kampung Rambutan, aku justru menaiki angkot menuju Cimanggis. “Jangan menertawaiku!” kataku ketika melihat kau hendak tertawa. “Aku betul-betul kacau.”
Kau mengajakku masuk ke rumah kontrakanmu. Aku duduk di ambal yang kau gelar. Kau duduk di sampingku. Lama kita saling diam. Aku sedang berusaha menumbuhkan keberanian untuk bicara terus terang kepadamu, dan aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan. Ketika aku merasa sudah punya cukup keberanian untuk bicara, aku membuka mulut. Saat bersamaan kau membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu.
“Kau duluan!” kataku.
“Kaulah duluan!” katamu.
Kita kembali sama-sama diam. Dadaku bukan lagi berdetak tak keruan, tapi sudah bergetar hingga membuat tanganku bergetar. Aku rasa bibirku ikut bergetar. Aku merasa harus bisa mengalahkan getaran ini sebelum kau melihatnya. Tapi, ternyata, saat aku perhatikan, tubuhmu juga bergetar.  Aku menarik napas dalam-dalam. Aku pikir aku harus mengatakan apa yang aku pikirkan.
“Malam tadi,” katamu, tiba-tiba, lalu menatapku. “Tidak terjadi apa-apa di antara kita, bukan?”
Aku gugup dan menggeleng. “Tidak,” kataku. “Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Tidak,” katamu, lalu tersenyum.
Aku menghela napas. Aku ingat tadi malam. Kau pulang dari kantor karena tidak enak membiarkanku sendirian di dalam rumah kontrakanmu. Aku bukakan pintu untukmu. Seumur hidup aku tidak pernah membukakan pintu untuk seorang perempuan, dan aku mengecup keningmu begitu mesra. Kau kaget tapi kau diam saja. Lama kita saling menatap. Kita baru tersadar ketika kau menutupkan pintu. “Kau sudah tertidur?” tanyamu. Aku hendak menjawab kalau aku sulit memejamkan mata, tapi kau melanjutkan kalimatmu. “Kenapa aku harus bertanya, sudah pasti kau tidak bisa tidur.” Kau meletakkan tasmu, lalu duduk di sampingku.
“Kenapa kau berkata begitu?” tanyaku.
Kau tersenyum. “Karena aku tidak betah di kantor dan selalu memikirkanmu.”
Dan, entah bagaimana awalnya, malam itu kita kembali bercakap-cakap tentang banyak hal. Semakin lama, kita semakin dekat. Lalu kau mulai rebahan di atas ambal sambil tetap bicara. Tak lama kemudian aku juga rebahan sambil tetap bicara.  Aku menatap langit-langit. Pikiranku terasa begitu tenang. Aku merasa begitu nyaman. Tak sadar, aku tertidur.
Pagi harinya aku terbangun dan kita sudah berpelukan.  Kita hanya tidur, berpelukan. Tidak terjadi apa-apa di antara kita.  Tapi malam itu, mungkin karena pelukanmu, aku bermimpi sudah menjadi tua bersamamu.
Kau tersenyum, menatapku begitu dalam. “Kau tahu. Tadi malam aku bermimpi menjadi renta bersamamu.” 

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda