Esai Budi Hatees
Emily Dickinson sering dibicarakan sebagai penyair yang tertutup, suka mengurung diri, dan tak banyak bergaul. Di Indonesia, banyak penyair yang menulis sebagai Dickinson, dan gagal karena mereka bukan Dickinson. Ada yang kemudian dikenal sebagai penyair imajis, ada yang ditandai sebagai penyair nazis.
Orang membaca puisi Dickinson sembari mengait-kaitkan hasil karyanya itu dengan perilaku kesehariannya. Dia seorang gadis, entah mungkin masih perawan sampai akhir hidupnya. Dia bukan tife perempuan yang cengeng, manja, atau berpura-pura terlihat ayu seperti dirimu. Dia pun bukan perempuan perkasa, yang keras dan meledak-ledak seperti Maya Angelou, penyair kulit hitam yang anti-rasis.
Yang jelas, seorang penyair selalu akan menulis apa yang diketahuinya, baru kemudian tentang apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dialaminya. Lantas apa yang diketahui oleh seseorang yang jarang keluar rumah, kurang bergaul, dan introvet.
Secara psikologis, orang introvert lebih suka menyendiri bukan karena tidak ingin bergaul, tetapi sering karena dia memilih mengumpulkan energi. Dickinson memiliki energi berlimpah di dalam dirinya dan ia menghabiskan energi itu bukan dalam pergaulan sosial seperti yang sering kau lakukan, melainkan dengan membuat risalah-risalah kehidupan. Dengan itu, ia melakukan penciptaan, dan puisi-puisi lahir dari dirinya.
Seumur hidupnya, hanya 10 puisi yang dipublikasikan. Ketika kematiannya tiba, ternyata ada ribuan puisi yang diselesaikannya dan disimpannya. Ada dari puisi-puisi itu sudah dibundelnya. Harta karun itu kemudian dipublikasikan, dan orang-orang kaget begitu membacanya.
Tidak jarang, seorang yang introvet sering menciptakan alter ego. Ada seseorang yang lain dalam hidupnya, meskipun orang itu tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Dengan orang yang diciptakan itu, dia akan merasa sangat bahagia, seperti seseorang dengan pujaan hatinya. Atau, dalam kasus Dickinson, dia menciuptakan aku lirik yang mengenali malaikat kematian.
Puisi "Because I could not stop for Death", aku lirik diceritakan sebagai orang yang menyukai perjalanan. Kau bisa menafsirkan orang seperti itu adalah Dickinson, menyukai pilihan hidupnya sebagai seorang introvet, tapi kau akan ragukan kesimpulanmu karena puisi itu menceritakan tentang orang yang menikmati hal-hal yang dilihatnya dalam perjalanannya.
Tentu saja tidak ada apa-apa dalam kesendirian. Dari dalam kamar, menembus dinding, imajinasi Dickinson tak mengenal pembatas. Dia bisa bersentuhan dengan apa pun. Pikirannya tak sesempit kamar tidurnya, atau ruang di dalam rumahnya. Dia hanya seorang Dickinson yang sepintas tak menarik, tapi dia bahkan memberi makna yang luar biasa pada sehelai bulu dalam puisi "'Hope' is the thing with feathers".
Dalam puisi "I felt a Funeral, in my Brain", Dickinson menggambarkan sebuah pemakaman ada di kepalanya (brain), lengkap dengan segala kesibukan orang-orang mempersiapkan pemakaman. Puisi ini menggambarkan apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan Dickinson seumur hidupnya, tapi tafsir seperti ini hanya akan dianut oleh mereka yang telah lebih dahulu membaca riwayat hidup penyair ini.
Orang lain bisa saja setuju dengan penafsiran seperti itu, dan tidak keliru bila kemudian berkesimpulan bahwa Dickinson sebetulnya sedang menyesali kehidupannya yang terjebak di dalam (suasana) pemakaman, tetapi setiap kali dia berusaha untuk keluar dari suasana itu, dia justru semakin terperosok ke dalamnya. "And then a Plank in Reason, broke," tulisnya di akhir puisi, "And I dropped down, and down/And hit a World, at every plunge/And Finished knowing - then -"
Mungkin memang orang-orang telah keliru tentang pribadi Dickinson, mengira dia introvet, padahal tidak. Semua perkiraan itu disimpulkan setelah membaca puisi-puisinya. Hanya itu sumber informasi yang paling valid tentang Dickinson. Tetapi puisi bukan data base atau biografi seorang penyair. Penyair yang tak pernah ke laut pasti pernah menulis puisi tentang laut.
Di dalam puisinya yang lain, "My Life had stood - a Loaded Gun", Dickinson jelas tahu kapasitasnya. Hidupnya penuh, seperti senjata yang terisi peluruh. Dia siap ditembakkan. Pilihan katanya eksplosif, mengagetkan, karena orang terlanjur menganggapnya introvet, lemah, suka mengurung diri, dan, mungkin, kehilangan rasa percaya diri.
Bagaimana bisa seseorang yang kehilangan rasa percaya diri mampu melukiskan harapan dengan begitu bagus seperti dalam puisi "'Hope' is the thing with feathers". Metapor bulu itu, sesuatu yang hanya kita temukan pada burung, yang membalut tubuh seekor burung dan seekor burung memiliki siul yang indah. Bulu membuat seekor burung terbang, manusia selalu mendambakan bisa terbang. Dan bulu, apabila tercerabut, kelak akan tumbuh lagi dan sayap akan berfungsi lagi.
Mungkin Dickinson bukan introvet, tapi pengamat aves yang luar biasa. Dia tahu tentang burung, tahu kalau ada saatnya seekor burung melepaskan sayap-sayapnya, tahu kalau bulu-bulu burung akan tumbuh, tahu kalau bulu itu telah membuat seekor burung berpindah dari satu tempat ke lain tempat atau dari angkasa yang biru ke angkasa lain yang dipenuhi awan gelap.
Semua yang aku tulis ini hanya tafsir setelah membaca Miuss Emily, buku yang ditulis Nuala O'Connor berdasarkan kisah hidup Emily Dickinson atau berdasarkan penafsiran atas riwayat penciptaan sejumlah puisi Emily Dickinson.
Ini salah satu puisi Emily untuk kau. Ketahuilah, Emily juga humoris dengan pilihan judul "Tell all the truth but tell it slant" (sampaikan kebenaran itu tidak dengan cara kebenaran disampaikan, sebab kebenaran harus mempesona).
Tell all the truth but tell it slant
Tell all the truth but tell it slant —
Success in Circuit lies
Too bright for our infirm Delight
The Truth's superb surprise
As Lightning to the Children eased
With explanation kind
The Truth must dazzle gradually
Or every man be blind
Emily Dickinson sering dibicarakan sebagai penyair yang tertutup, suka mengurung diri, dan tak banyak bergaul. Di Indonesia, banyak penyair yang menulis sebagai Dickinson, dan gagal karena mereka bukan Dickinson. Ada yang kemudian dikenal sebagai penyair imajis, ada yang ditandai sebagai penyair nazis.
Orang membaca puisi Dickinson sembari mengait-kaitkan hasil karyanya itu dengan perilaku kesehariannya. Dia seorang gadis, entah mungkin masih perawan sampai akhir hidupnya. Dia bukan tife perempuan yang cengeng, manja, atau berpura-pura terlihat ayu seperti dirimu. Dia pun bukan perempuan perkasa, yang keras dan meledak-ledak seperti Maya Angelou, penyair kulit hitam yang anti-rasis.
Yang jelas, seorang penyair selalu akan menulis apa yang diketahuinya, baru kemudian tentang apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dialaminya. Lantas apa yang diketahui oleh seseorang yang jarang keluar rumah, kurang bergaul, dan introvet.
Secara psikologis, orang introvert lebih suka menyendiri bukan karena tidak ingin bergaul, tetapi sering karena dia memilih mengumpulkan energi. Dickinson memiliki energi berlimpah di dalam dirinya dan ia menghabiskan energi itu bukan dalam pergaulan sosial seperti yang sering kau lakukan, melainkan dengan membuat risalah-risalah kehidupan. Dengan itu, ia melakukan penciptaan, dan puisi-puisi lahir dari dirinya.
Seumur hidupnya, hanya 10 puisi yang dipublikasikan. Ketika kematiannya tiba, ternyata ada ribuan puisi yang diselesaikannya dan disimpannya. Ada dari puisi-puisi itu sudah dibundelnya. Harta karun itu kemudian dipublikasikan, dan orang-orang kaget begitu membacanya.
Tidak jarang, seorang yang introvet sering menciptakan alter ego. Ada seseorang yang lain dalam hidupnya, meskipun orang itu tidak pernah ada dalam kehidupan nyata. Dengan orang yang diciptakan itu, dia akan merasa sangat bahagia, seperti seseorang dengan pujaan hatinya. Atau, dalam kasus Dickinson, dia menciuptakan aku lirik yang mengenali malaikat kematian.
Puisi "Because I could not stop for Death", aku lirik diceritakan sebagai orang yang menyukai perjalanan. Kau bisa menafsirkan orang seperti itu adalah Dickinson, menyukai pilihan hidupnya sebagai seorang introvet, tapi kau akan ragukan kesimpulanmu karena puisi itu menceritakan tentang orang yang menikmati hal-hal yang dilihatnya dalam perjalanannya.
Tentu saja tidak ada apa-apa dalam kesendirian. Dari dalam kamar, menembus dinding, imajinasi Dickinson tak mengenal pembatas. Dia bisa bersentuhan dengan apa pun. Pikirannya tak sesempit kamar tidurnya, atau ruang di dalam rumahnya. Dia hanya seorang Dickinson yang sepintas tak menarik, tapi dia bahkan memberi makna yang luar biasa pada sehelai bulu dalam puisi "'Hope' is the thing with feathers".
Dalam puisi "I felt a Funeral, in my Brain", Dickinson menggambarkan sebuah pemakaman ada di kepalanya (brain), lengkap dengan segala kesibukan orang-orang mempersiapkan pemakaman. Puisi ini menggambarkan apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan Dickinson seumur hidupnya, tapi tafsir seperti ini hanya akan dianut oleh mereka yang telah lebih dahulu membaca riwayat hidup penyair ini.
Orang lain bisa saja setuju dengan penafsiran seperti itu, dan tidak keliru bila kemudian berkesimpulan bahwa Dickinson sebetulnya sedang menyesali kehidupannya yang terjebak di dalam (suasana) pemakaman, tetapi setiap kali dia berusaha untuk keluar dari suasana itu, dia justru semakin terperosok ke dalamnya. "And then a Plank in Reason, broke," tulisnya di akhir puisi, "And I dropped down, and down/And hit a World, at every plunge/And Finished knowing - then -"
Mungkin memang orang-orang telah keliru tentang pribadi Dickinson, mengira dia introvet, padahal tidak. Semua perkiraan itu disimpulkan setelah membaca puisi-puisinya. Hanya itu sumber informasi yang paling valid tentang Dickinson. Tetapi puisi bukan data base atau biografi seorang penyair. Penyair yang tak pernah ke laut pasti pernah menulis puisi tentang laut.
Di dalam puisinya yang lain, "My Life had stood - a Loaded Gun", Dickinson jelas tahu kapasitasnya. Hidupnya penuh, seperti senjata yang terisi peluruh. Dia siap ditembakkan. Pilihan katanya eksplosif, mengagetkan, karena orang terlanjur menganggapnya introvet, lemah, suka mengurung diri, dan, mungkin, kehilangan rasa percaya diri.
Bagaimana bisa seseorang yang kehilangan rasa percaya diri mampu melukiskan harapan dengan begitu bagus seperti dalam puisi "'Hope' is the thing with feathers". Metapor bulu itu, sesuatu yang hanya kita temukan pada burung, yang membalut tubuh seekor burung dan seekor burung memiliki siul yang indah. Bulu membuat seekor burung terbang, manusia selalu mendambakan bisa terbang. Dan bulu, apabila tercerabut, kelak akan tumbuh lagi dan sayap akan berfungsi lagi.
Mungkin Dickinson bukan introvet, tapi pengamat aves yang luar biasa. Dia tahu tentang burung, tahu kalau ada saatnya seekor burung melepaskan sayap-sayapnya, tahu kalau bulu-bulu burung akan tumbuh, tahu kalau bulu itu telah membuat seekor burung berpindah dari satu tempat ke lain tempat atau dari angkasa yang biru ke angkasa lain yang dipenuhi awan gelap.
Semua yang aku tulis ini hanya tafsir setelah membaca Miuss Emily, buku yang ditulis Nuala O'Connor berdasarkan kisah hidup Emily Dickinson atau berdasarkan penafsiran atas riwayat penciptaan sejumlah puisi Emily Dickinson.
Ini salah satu puisi Emily untuk kau. Ketahuilah, Emily juga humoris dengan pilihan judul "Tell all the truth but tell it slant" (sampaikan kebenaran itu tidak dengan cara kebenaran disampaikan, sebab kebenaran harus mempesona).
Tell all the truth but tell it slant
Tell all the truth but tell it slant —
Success in Circuit lies
Too bright for our infirm Delight
The Truth's superb surprise
As Lightning to the Children eased
With explanation kind
The Truth must dazzle gradually
Or every man be blind
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda