"Apakah yang membuat Allen Ginsberg berhasil mendapatkan kursi di dalam gerbong kepenyairan Amerika Serikat yang penuh sesak?" tanya seseorang dalam kelas sastra online. "Dia mendapatkan kursi bukan di gerbong terakhir, melainkan gerbong di mana W.H. Auden, William Carlos Williams, Robert Frost, Walt Whitman, dan beberapa penyair lainnya sudah duduk lebih dahulu."
Yang bertanya ini bukan penyair dan dia tak akan pernah jadi penyair. Tahun ini dia mencalonkan diri jadi anggota legislatif di kotanya. "Banyak penyair yang jadi politisi," katanya, lalu menyebut nama penyair dan politisi dari Chili. "Puisi-puisinya menggairahkan."Aku pun bercerita tentang Ginsberg, penulis Beat yang paling dihormati, penyair Amerika Serikat yang terkenal di generasinya. Dia lahir pada hari yang sama dengan kelahiranku, 3 Juni, tapi Ginsberg lahir pada tahun 1926 di Newark, New Jersey. Ayahnya seorang guru bahasa Inggris, ekspatriat Rusia, dan ibunya seorang penderita masalah psikologis dan gangguan saraf.
Aku cerita biografi Ginsberg tanpa prestensi untuk memahamkan puisi-puisi Beat yang diciptakannya. Orang Indonesia memang terbiasa membicarakan puisi dan mengait-kaitkannya dengan kebiasaan penulis dalam kehidupan sehari-hari. Kau bisa bayangkan betapa menyedihkannya ketika puisi Chairil Anwar dibicarakan hanya karena dia memaka kalimat "aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kalimat itu jadi clue bagi siapa saja dalam memahamkan puisi Chairil Anwar, dan memastikan bahwa Chairil Anwar tidak akan pernah menulis puisi yang menjauh dari tema tentang "binatang jalang dari kumpulannya terbuang".
Orang Amerika Serikat tak menyebut Ginsberg sebagai "binatang jalang" meskipun pandangan hidupnya tak lazim, emosinya tak stabil, perilaku kesehariannya sering mengajak berantem, pemakai narkoba yang aktif, menadah barang curian, dan memilih masuk rumah sakit jiwa.
Chairil Anwar lahir 1922, lebih tua empat tahun dibandingkan Ginsberg. Artinya, mereka sezaman. Zaman ketika Chairil hidup, sama seperti zaman ketika Ginsberg hidup. Zaman ketika dunia global dilanda perang dunia kedua. Di mana-mana di dunia ini, dampak perang itu membawa masalah serupa bagi umat manusia. Hidup manusia tertekan secara ekonomi, perkembangannyua stagnan, dan cara berpikir jadi kacau. Tapi tak separah kondisi manusia di Jepang, negara yang kalah perang dan dihukum dengan bom nuklir.
Indonesia, tanah air Chairil, negara baru merdeka dan bekas jajahan. Amerika Serikat, tanah air Ginsberg, negara yang sudah lama merdeka dan sering didera persoalan rasisme, adalah negara yang bisa dibilang ikut mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dua bom nuklir di Hirosima dan Nagasaki yang dijatuhkan Amerika Serikat membuat Jepang menyerah di mana-mana, dan kejatuhan Jepangf memberi peluang bagi Indonesia untuk merdeka.
Zaman Chairil dan Ginsberg tidak banyak berbeda. Cuma, usia Chairil tak panjang. Dia tak menikmati budaya baru dalam peradaban manusia pasca perang dunia kedua, dia hanya membayangkan peradaban moderen itu dalam puisi-puisinya. Ginsberg sebaliknya, harus menyiasati dinami peradaban moderen yang membawa kerusakan pada ummat manusia, yang lebih kejam dan parah dibandingkan akibat perang.
Tahun 1956, Ginsberg mulai menjadi perhatian publik dengan diterbitkannya kumpulan puisinya, Howl and Other Poems. Puisi Howl--sebaiknya tidak kuterjemahkan saja artinya ke dalam bahasa Indonesia, karena kata howl ini lebih mewakili puisi itu sendiri. Puisi Howl semacam jeritan tertahan, lolongan panjang dari emosi yang terpendam, kemarahan yang tidak bisa diungkapkan, atau pikiran yang entah kenapa terasa mampet dalam menghadapi kehidupan masyarakat di sekitar.
Kevin O'Sullivan menulis di Newsmakers, menyebut "Howl" sebagai "puisi yang penuh kemarahan dan eksplisit secara seksual" dan menambahkan bahwa "dianggap oleh banyak orang sebagai peristiwa revolusioner dalam puisi Amerika". Bahasa puisinya mentah dan jujur.
James Dickey menyebut “Howl” sebagai “kegembiraan yang meluap-luap” dan menyimpulkan bahwa “dibutuhkan lebih dari ini untuk membuat puisi.”
Richard Eberhart menyebut “Howl” sebagai “sebuah karya yang kuat, menembus makna yang dinamis… Ini adalah sebuah lolongan melawan segala sesuatu dalam peradaban mekanistik kita yang membunuh semangat… Kekuatan dan energi positifnya datang dari kualitas cinta yang menebus.”
Paul Carroll menilainya sebagai “salah satu tonggak sejarah generasi ini.” Saat menilai dampak dari “Howl”, Paul Zweig mencatat bahwa “Howl” “hampir sendirian mengubah posisi puisi tradisionalis pada tahun 1950an.”
Dari sekian banyak komentar, nyaris tak ada yang menyebut Ginsberg sebagai "si kurang hajar yang tak tahu tata krama", "binatang jalang", atau hal-hal yang acap dikait-kaitkan dengan konvensi terkait watak sosial. Ginsberg jelas menulis dengan bahasa yang, menurut etika orang Indonesia tidak sopan, tapi puisinya tidak pernah dibicarakan sebagai representasi watak pribadinya.
Memang, sempat Departemen Kepolisian San Francisco menilai bahasa puisi Ginsberg sangat seksual alias porno, karena memakai diksi yang vulgar. Polisi menyatakan buku itu cabul dan menangkap penerbitnya, Lawrence Ferlinghetti--seorang penyair. Persidangan pun digelar, melibatkan tokoh sastra terkemuka seperti Mark Schorer, Kenneth Rexroth, dan Walter Van Tilberg Clark. Semua membela Howl. Ingat, membela puisi, membela kreativitas, dan bukan membela Giunsberg.
Di Indonesia, orang-orang lebih banyak menghukum penyair, ataupun membela-bela penyair. Tentu tidak relevan, tapi itulah tradisi bersastra di negeri ini. Orang Indonesia juga hanya membela Wiji Thukul bukan membela pikirannya atau caranya berpikir. Orang Indonesia kehilangan Wiji Thukul bukan kehilangan cara berpikirnya dalam menghasilkan puisi.
Kenapa orang Indonesia seperti itu dalam melihat karya sastra. Perspektif itu menyelamatkan. Mereka yang bukan penulis puisi tetapi mengaku penyair akan terselamatkan jika yang dibicarakan bukan puisinya. Itu sebabnya, kita nyaris tidak menemukan puisi di Indonesia ini. Dan ini proses panjang yang terus-menerus dilakukan atas nama lembaga beatifikasi. Majalah Horison punya tradisi menerbitkan tulisan (yang disebut kritik sastra meskipun isinya apresiasi karya sastra) tentang puisi-puisi yang terbit di majalah itu. Semua tulisan itu sejak awal sudah menegaskan, bahwa puisi yang terbit doi majalah Horison pastilah puisi yang luar biasa.
Tradisi ini kemudian dicontoh pengelola ruang-ruang sastra di surat kabar. Para redaktur memuji-puji hasil kerjanya dengan menyebut para penyair yang puisinya terbit di surat kabar tempat dia menjadi redakjtur merupakan penyair hebat. Nirwan Dewanto ketika menjadi redaktur sastra majalah sastra, pernah memuji Provinsi Lampung sebagai lumbung penyair nasional meskipun penyair Lampung yang mau mengirimkan karya ke majalah itu tidak banyak.
Sastra di Indonesia, termasuk puisi, hidup bukan karena kreativitas. Hidup dan kehidupannya karena banyak faktor yang tak ada kaitannya dengan kreativitas penciptaan.
Ginsberg diposisikan sebagai penyair, dan dia membawa gerakan Beat. Orang Amerika Serikat membicarakan puisi-puisinya karena membacanya. Orang Indonesia nyareis tidak tahu cara membaca puisi. Mereka menyembunyikan ketidaktahuannya dengan cara memuji penyairnya.
Tak heran jika Ginsberg makin produktif. Setelah buku Howl and Other Poems, dia kembali menerbitkan buku tahun 1961, Kaddish and Other Poems. “Kaddish,” sebuah puisi mirip dengan “Howl,” didasarkan pada doa tradisional Ibrani untuk orang mati dan menceritakan kisah hidup ibu Ginsberg, Naomi. Perasaan kompleks sang penyair terhadap ibunya, yang diwarnai perjuangannya melawan penyakit mental, merupakan inti dari puisi berjajar panjang ini.
Seperti Howl, Kaddish mampu menjaga marwah kepenyairan Ginsberg. Kulitasnya tetap terjaga. Tidak seperti penyair di Indonesia. Kumpulan puisi pertamanya, yang selalu menadapat puja-puji bukan karena kualitas puisinya, akan sama saja dengan kumpulan puisi berikutnya. Kualitasnya sering menjadi lebih rendah. Tapi, penyair sudah terlanjur mendapat puja-puji, dan dia akan sangat marah kalau tidak dipuja-puji. Penyair Indonesia itu pemarah, emosional, dan sering merasa dirinya telah dizolimi.
Ginsberg berbeda, sastra di luar Indonesia berbeda. Amerika Serikat menghargai isi kepala. Indonesia menghargai penampilan fisik.
Kenapa puisi Ginsberg begitu dihargai. Tidak lain dan tidak bukan karena dia memawa suara masyarakat. Puisinya sangat dipengaruhi realitas masyarakat. Puisinya sangat politis. Dia pernah diwawancarai orang tentang bagaimana dia menulis.
Dari sekian banyak komentar, nyaris tak ada yang menyebut Ginsberg sebagai "si kurang hajar yang tak tahu tata krama", "binatang jalang", atau hal-hal yang acap dikait-kaitkan dengan konvensi terkait watak sosial. Ginsberg jelas menulis dengan bahasa yang, menurut etika orang Indonesia tidak sopan, tapi puisinya tidak pernah dibicarakan sebagai representasi watak pribadinya.
Memang, sempat Departemen Kepolisian San Francisco menilai bahasa puisi Ginsberg sangat seksual alias porno, karena memakai diksi yang vulgar. Polisi menyatakan buku itu cabul dan menangkap penerbitnya, Lawrence Ferlinghetti--seorang penyair. Persidangan pun digelar, melibatkan tokoh sastra terkemuka seperti Mark Schorer, Kenneth Rexroth, dan Walter Van Tilberg Clark. Semua membela Howl. Ingat, membela puisi, membela kreativitas, dan bukan membela Giunsberg.
Di Indonesia, orang-orang lebih banyak menghukum penyair, ataupun membela-bela penyair. Tentu tidak relevan, tapi itulah tradisi bersastra di negeri ini. Orang Indonesia juga hanya membela Wiji Thukul bukan membela pikirannya atau caranya berpikir. Orang Indonesia kehilangan Wiji Thukul bukan kehilangan cara berpikirnya dalam menghasilkan puisi.
Kenapa orang Indonesia seperti itu dalam melihat karya sastra. Perspektif itu menyelamatkan. Mereka yang bukan penulis puisi tetapi mengaku penyair akan terselamatkan jika yang dibicarakan bukan puisinya. Itu sebabnya, kita nyaris tidak menemukan puisi di Indonesia ini. Dan ini proses panjang yang terus-menerus dilakukan atas nama lembaga beatifikasi. Majalah Horison punya tradisi menerbitkan tulisan (yang disebut kritik sastra meskipun isinya apresiasi karya sastra) tentang puisi-puisi yang terbit di majalah itu. Semua tulisan itu sejak awal sudah menegaskan, bahwa puisi yang terbit doi majalah Horison pastilah puisi yang luar biasa.
Tradisi ini kemudian dicontoh pengelola ruang-ruang sastra di surat kabar. Para redaktur memuji-puji hasil kerjanya dengan menyebut para penyair yang puisinya terbit di surat kabar tempat dia menjadi redakjtur merupakan penyair hebat. Nirwan Dewanto ketika menjadi redaktur sastra majalah sastra, pernah memuji Provinsi Lampung sebagai lumbung penyair nasional meskipun penyair Lampung yang mau mengirimkan karya ke majalah itu tidak banyak.
Sastra di Indonesia, termasuk puisi, hidup bukan karena kreativitas. Hidup dan kehidupannya karena banyak faktor yang tak ada kaitannya dengan kreativitas penciptaan.
Ginsberg diposisikan sebagai penyair, dan dia membawa gerakan Beat. Orang Amerika Serikat membicarakan puisi-puisinya karena membacanya. Orang Indonesia nyareis tidak tahu cara membaca puisi. Mereka menyembunyikan ketidaktahuannya dengan cara memuji penyairnya.
Tak heran jika Ginsberg makin produktif. Setelah buku Howl and Other Poems, dia kembali menerbitkan buku tahun 1961, Kaddish and Other Poems. “Kaddish,” sebuah puisi mirip dengan “Howl,” didasarkan pada doa tradisional Ibrani untuk orang mati dan menceritakan kisah hidup ibu Ginsberg, Naomi. Perasaan kompleks sang penyair terhadap ibunya, yang diwarnai perjuangannya melawan penyakit mental, merupakan inti dari puisi berjajar panjang ini.
Seperti Howl, Kaddish mampu menjaga marwah kepenyairan Ginsberg. Kulitasnya tetap terjaga. Tidak seperti penyair di Indonesia. Kumpulan puisi pertamanya, yang selalu menadapat puja-puji bukan karena kualitas puisinya, akan sama saja dengan kumpulan puisi berikutnya. Kualitasnya sering menjadi lebih rendah. Tapi, penyair sudah terlanjur mendapat puja-puji, dan dia akan sangat marah kalau tidak dipuja-puji. Penyair Indonesia itu pemarah, emosional, dan sering merasa dirinya telah dizolimi.
Ginsberg berbeda, sastra di luar Indonesia berbeda. Amerika Serikat menghargai isi kepala. Indonesia menghargai penampilan fisik.
Kenapa puisi Ginsberg begitu dihargai. Tidak lain dan tidak bukan karena dia memawa suara masyarakat. Puisinya sangat dipengaruhi realitas masyarakat. Puisinya sangat politis. Dia pernah diwawancarai orang tentang bagaimana dia menulis.
“Saya memeriksa tulisan-tulisan prosa saya,” katanya kepada pewawancara, “dan saya mengambil empat atau lima potongan baris kecil yang benar-benar akurat untuk pemikiran bicara-bicara seseorang dan menyusunnya kembali dalam baris-baris, sesuai dengan nafas, menurut tentang bagaimana Anda akan memecahnya jika Anda benar-benar ingin membicarakannya."
Di lain waktu, dia berkata: "dia menulis puisi bukan, dengan mengerjakannya dalam potongan-potongan kecil dari waktu yang berbeda, tetapi mengingat sebuah ide di kepala dan langsung menuliskannya dan menyelesaikannya di sana.
Tema utama dalam kehidupan dan puisi Ginsberg adalah politik. Dalam sejumlah puisi, Ginsberg bicara tentang perjuangan serikat pekerja pada tahun 1930-an, tokoh radikal populer, perburuan merah McCarthy, dan batu ujian sayap kiri lainnya. Dia juga bicara tentang Perang Vietnam, anti-nuklir. Dia memang acap personal, bicara tentang ibunya dalam Kaddish, tetapi dia memposisikan ibunya sebagai warga yang mengalami masalah kejiwaan. Masalah serupa dialami banyak orang di Amerika Serikat.
Aktivitas politik Ginsberg sangat libertarian, menggemakan preferensi puitisnya terhadap ekspresi individu dibandingkan struktur tradisional. Dia menciptakan dan menganjurkan “kekuatan bunga,” sebuah strategi di mana para demonstran anti-perang akan mempromosikan nilai-nilai positif seperti perdamaian dan cinta untuk mendramatisasi perlawanan mereka terhadap kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh Perang Vietnam. Penggunaan bunga, lonceng, senyuman, dan mantra (nyanyian suci) menjadi hal yang umum di kalangan demonstran selama beberapa waktu.
Ginsberg adalah penyair yang berpolitik. Aktivitas politiknya menimbulkan masalah baginya di negara lain. Pada tahun 1965 dia mengunjungi Kuba sebagai koresponden Evergreen Review. Setelah dia mengeluhkan perlakuan terhadap kaum gay di Universitas Havana, pemerintah meminta Ginsberg meninggalkan negara itu. Pada tahun yang sama, penyair tersebut melakukan perjalanan ke Cekoslowakia, di mana ia terpilih sebagai “Raja Mei” oleh ribuan warga Ceko. Keesokan harinya pemerintah Ceko meminta agar ia pergi, dengan alasan ia “ceroboh dan merosot”.
Studi Ginsberg tentang agama-agama Timur didorong oleh penemuannya tentang mantra, nyanyian berirama yang digunakan untuk efek spiritual. Baginya, penggunaan ritme, napas, dan suara unsur tampak seperti puisi. Dalam sejumlah puisi ia memasukkan mantra ke dalam tubuh teks, mengubah karya tersebut menjadi semacam doa puitis. Saat pembacaan puisi ia sering memulai dengan melantunkan mantra untuk mengatur suasana hati.
Ketertarikannya pada agama-agama Timur akhirnya membawanya menemui Yang Mulia Chogyam Trungpa, Rinpoche, seorang kepala biara Buddha dari Tibet yang memiliki pengaruh kuat terhadap tulisan Ginsberg.
Tema utama dalam kehidupan dan puisi Ginsberg adalah politik. Dalam sejumlah puisi, Ginsberg bicara tentang perjuangan serikat pekerja pada tahun 1930-an, tokoh radikal populer, perburuan merah McCarthy, dan batu ujian sayap kiri lainnya. Dia juga bicara tentang Perang Vietnam, anti-nuklir. Dia memang acap personal, bicara tentang ibunya dalam Kaddish, tetapi dia memposisikan ibunya sebagai warga yang mengalami masalah kejiwaan. Masalah serupa dialami banyak orang di Amerika Serikat.
Aktivitas politik Ginsberg sangat libertarian, menggemakan preferensi puitisnya terhadap ekspresi individu dibandingkan struktur tradisional. Dia menciptakan dan menganjurkan “kekuatan bunga,” sebuah strategi di mana para demonstran anti-perang akan mempromosikan nilai-nilai positif seperti perdamaian dan cinta untuk mendramatisasi perlawanan mereka terhadap kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh Perang Vietnam. Penggunaan bunga, lonceng, senyuman, dan mantra (nyanyian suci) menjadi hal yang umum di kalangan demonstran selama beberapa waktu.
Ginsberg adalah penyair yang berpolitik. Aktivitas politiknya menimbulkan masalah baginya di negara lain. Pada tahun 1965 dia mengunjungi Kuba sebagai koresponden Evergreen Review. Setelah dia mengeluhkan perlakuan terhadap kaum gay di Universitas Havana, pemerintah meminta Ginsberg meninggalkan negara itu. Pada tahun yang sama, penyair tersebut melakukan perjalanan ke Cekoslowakia, di mana ia terpilih sebagai “Raja Mei” oleh ribuan warga Ceko. Keesokan harinya pemerintah Ceko meminta agar ia pergi, dengan alasan ia “ceroboh dan merosot”.
Studi Ginsberg tentang agama-agama Timur didorong oleh penemuannya tentang mantra, nyanyian berirama yang digunakan untuk efek spiritual. Baginya, penggunaan ritme, napas, dan suara unsur tampak seperti puisi. Dalam sejumlah puisi ia memasukkan mantra ke dalam tubuh teks, mengubah karya tersebut menjadi semacam doa puitis. Saat pembacaan puisi ia sering memulai dengan melantunkan mantra untuk mengatur suasana hati.
Ketertarikannya pada agama-agama Timur akhirnya membawanya menemui Yang Mulia Chogyam Trungpa, Rinpoche, seorang kepala biara Buddha dari Tibet yang memiliki pengaruh kuat terhadap tulisan Ginsberg.
Awal tahun 1970-an, penyair tersebut mengambil kelas di Institut Naropa Trungpa di Colorado serta mengajar kelas puisi di sana. Pada tahun 1972 Ginsberg mengambil sumpah Perlindungan dan Bodhisattva, secara resmi mengabdikan dirinya pada keyakinan Buddha.
Aspek utama dari ajaran Trungpa adalah suatu bentuk meditasi yang disebut shamatha di mana seseorang berkonsentrasi pada pernapasannya sendiri. Meditasi ini, kata Ginsberg, “pertama-tama mengarah pada ketenangan pikiran, pada ketenangan produksi mekanis fantasi dan bentuk-pikir; hal ini mengarah pada peningkatan kesadaran akan hal-hal tersebut dan melakukan inventarisasi hal-hal tersebut.” Buku Ginsberg, Mind Breaths, yang didedikasikan untuk Trungpa, berisi beberapa puisi yang ditulis dengan bantuan meditasi shamatha.
Nah, itulah Ginsberg. Ini hanya sebgaian dari hal-hal yang membuat puisinya pantas dibaca. Tidak seperti penyair Indonesia, keperduliannya hanya pada bagaimana caranya agar puisinya terbit di surat kabar atau masuk antologi puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kualitas puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada yang artifisian, bukan yang subtansiual.
Jangan heran bila kau mengikuti pembicaraan para penyair Indonesia, maka yang dibicarakan hanya perkara: "kau ikut gak di festival sastra anu", "kenapa puisiku tidak lolos kurasi dalam antologi anu", "kau hebat, puisimu bisa muncul di kompas", "luar biasa, puisimu sudah diterkjemahkan ke dalam banyak bahasa asing"......
Sekarang kau sudah tahu Ginsberg.
Aspek utama dari ajaran Trungpa adalah suatu bentuk meditasi yang disebut shamatha di mana seseorang berkonsentrasi pada pernapasannya sendiri. Meditasi ini, kata Ginsberg, “pertama-tama mengarah pada ketenangan pikiran, pada ketenangan produksi mekanis fantasi dan bentuk-pikir; hal ini mengarah pada peningkatan kesadaran akan hal-hal tersebut dan melakukan inventarisasi hal-hal tersebut.” Buku Ginsberg, Mind Breaths, yang didedikasikan untuk Trungpa, berisi beberapa puisi yang ditulis dengan bantuan meditasi shamatha.
Nah, itulah Ginsberg. Ini hanya sebgaian dari hal-hal yang membuat puisinya pantas dibaca. Tidak seperti penyair Indonesia, keperduliannya hanya pada bagaimana caranya agar puisinya terbit di surat kabar atau masuk antologi puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kualitas puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada yang artifisian, bukan yang subtansiual.
Jangan heran bila kau mengikuti pembicaraan para penyair Indonesia, maka yang dibicarakan hanya perkara: "kau ikut gak di festival sastra anu", "kenapa puisiku tidak lolos kurasi dalam antologi anu", "kau hebat, puisimu bisa muncul di kompas", "luar biasa, puisimu sudah diterkjemahkan ke dalam banyak bahasa asing"......
Sekarang kau sudah tahu Ginsberg.
Holw
Oleh Allen Ginsberg
Untuk Carl Solomon
I
Aku melihat pikiran-pikiran terbaik generasiku hancur karena kegilaan, kelaparan, histeris, telanjang,
menyeret diri mereka melalui jalan-jalan negro di pagi hari mencari solusi kemarahan,
hipster berkepala malaikat yang berhasrat untuk koneksi surgawi kuno dengan dinamo berbintang di mesin malam,
yang miskin, compang-camping, bermata cekung, dan sombong, duduk sambil merokok di kegelapan supranatural flat air dingin yang mengapung di atas puncak kota, merenungkan jazz,
yang mencurahkan isi hati mereka ke Surga di bawah naungan El dan melihat malaikat-malaikat Muhammad berjalan terhuyung-huyung di atas atap-atap rumah petak yang diterangi,
yang melewati universitas dengan mata dingin berseri-seri berhalusinasi Arkansas dan tragedi Blake-light di antara para sarjana perang,
yang dikeluarkan dari akademi karena gila dan menerbitkan syair cabul di jendela tengkorak,
yang bersembunyi di kamar tanpa cukur dengan pakaian dalam, membakar uang mereka di tempat sampah dan mendengarkan Teror melalui dinding,
yang tertangkap basah berjenggot kemaluan saat kembali melalui Laredo dengan membawa ikat pinggang ganja menuju New York,
yang memakan api di hotel cat atau meminum terpentin di Paradise Alley, kematian, atau menjebloskan tubuh mereka ke dalam api penyucian malam demi malam
dengan mimpi, dengan obat-obatan, dengan mimpi buruk saat terjaga, alkohol dan penis dan buah zakar yang tak berujung,
jalan-jalan buta yang tak tertandingi dari awan yang bergetar dan kilat dalam pikiran melompat ke arah kutub Kanada & Paterson, menerangi seluruh dunia Waktu yang tak bergerak di antara,
Kekokohan aula-aula yang terbuat dari peyote, fajar di halaman belakang rumah yang dipenuhi pepohonan hijau, mabuknya anggur di atas atap-atap rumah, kawasan pertokoan yang dipenuhi dengan kegembiraan minum teh, lampu lalu lintas yang berkedip-kedip, matahari, bulan, dan getaran pepohonan di senja musim dingin Brooklyn yang menderu, omelan tempat pembuangan sampah dan cahaya pikiran raja yang baik,
yang merantai diri mereka ke kereta bawah tanah untuk perjalanan tak berujung dari Battery ke Bronx yang suci dengan benzedrine sampai suara roda dan anak-anak menjatuhkan mereka dengan mulut gemetar, otak yang babak belur dan terkuras kecemerlangan dalam cahaya suram Kebun Binatang,
yang tenggelam sepanjang malam di bawah cahaya kapal selam Bickford melayang keluar dan duduk sepanjang sore yang basi dengan bir di Fugazzi yang sunyi, mendengarkan retakan malapetaka di jukebox hidrogen,
yang berbicara terus menerus selama tujuh puluh jam dari taman ke tempat tinggal ke bar ke Bellevue ke museum ke Jembatan Brooklyn,
sebuah batalion yang hilang dari para pembicara platonis melompat menuruni tangga darurat dari ambang jendela dari Empire State keluar dari bulan,
yacketayakking menjerit muntah berbisik fakta dan kenangan dan anekdot dan tendangan bola mata dan guncangan rumah sakit dan penjara dan perang,
seluruh kecerdasan dimuntahkan dalam ingatan total selama tujuh hari tujuh malam dengan mata yang cemerlang, daging untuk Sinagoge dilemparkan ke trotoar,
yang menghilang entah ke mana Zen New Jersey meninggalkan jejak kartu pos bergambar ambigu dari Balai Kota Atlantic City,
menderita keringat Timur dan tulang-tulang Tangerian yang berderak serta migrain Cina di bawah penarikan sampah di kamar berperabotan suram Newark,
yang berkeliaran di tengah malam di stasiun kereta api sambil bertanya-tanya ke mana harus pergi, dan pergi, tanpa meninggalkan hati yang terluka,
yang menyalakan rokok di gerbong kereta gerbong kereta berderak di tengah salju menuju pertanian yang sepi di malam kakek,
yang mempelajari Plotinus Poe St. John of the Cross telepati dan bop kabbalah karena kosmos secara naluriah bergetar di kaki mereka di Kansas,
yang menyendiri di jalanan Idaho mencari malaikat-malaikat India yang visioner, yang merupakan malaikat-malaikat India yang visioner,
yang mengira mereka hanya gila ketika Baltimore bersinar dalam ekstase supranatural,
yang melompat dalam limusin bersama orang Tionghoa dari Oklahoma karena dorongan hujan lampu jalan tengah malam musim dingin di kota kecil,
yang bermalas-malasan lapar dan kesepian di Houston mencari jazz atau seks atau sup, dan mengikuti orang Spanyol yang brilian untuk berbincang tentang Amerika dan Keabadian, sebuah tugas yang sia-sia, dan kemudian berlayar ke Afrika,
yang menghilang ke dalam gunung berapi Meksiko tanpa meninggalkan apa pun kecuali bayangan celana dungaree dan lava serta abu puisi yang berserakan di perapian Chicago,
yang muncul kembali di Pantai Barat untuk menyelidiki FBI dengan jenggot dan celana pendek dengan mata pasifis besar yang seksi dengan kulit gelap mereka yang membagikan selebaran yang tidak dapat dipahami,
yang membakar lubang rokok di lengan mereka sebagai bentuk protes terhadap kabut asap narkotika Kapitalisme,
yang menyebarkan pamflet Superkomunis di Union Square sambil menangis dan menanggalkan pakaian sementara sirene Los Alamos meratap mereka, dan meratap di Wall, dan feri Staten Island juga meratap,
yang menangis tersedu-sedu di gedung olahraga putih, telanjang dan gemetar di hadapan mesin kerangka lainnya,
yang menggigit leher detektif dan berteriak kegirangan di mobil polisi karena tidak melakukan kejahatan apa pun kecuali pesta pora dan mabuk-mabukan mereka sendiri,
yang menangis sambil berlutut di kereta bawah tanah dan diseret dari atap sambil melambaikan alat kelamin dan manuskrip,
yang membiarkan diri mereka ditiduri oleh pengendara sepeda motor suci, dan berteriak kegirangan,
yang bertiup dan ditiup oleh para serafim manusia, para pelaut, belaian cinta Atlantik dan Karibia,
yang berkerumun di pagi hari dan di malam hari di taman mawar dan rumput taman umum dan kuburan, menyebarkan air mani mereka dengan bebas kepada siapa pun yang datang,
yang cegukan tanpa henti mencoba untuk tertawa namun berakhir dengan isak tangis di balik sekat di Pemandian Turki ketika malaikat pirang & telanjang datang untuk menusuk mereka dengan pedang,
yang kehilangan pujaan hatinya karena tiga wanita tua yang suka menipu takdir wanita tua bermata satu yang suka menipu dolar heteroseksual wanita tua bermata satu yang keluar dari rahim dan wanita tua bermata satu yang tidak melakukan apa pun selain duduk dan memotong benang emas intelektual dari alat tenun pengrajin,
yang berhubungan seks dengan penuh kenikmatan dan nafsu dengan sebotol bir, kekasih, sebungkus rokok, lilin, dan jatuh dari tempat tidur, dan terus berjalan di lantai dan lorong dan berakhir pingsan di dinding dengan gambaran vagina yang sangat menjijikkan dan keluar tanpa menyadari gyzym terakhir dari kesadaran,
yang mempermanis potongan-potongan tubuh sejuta gadis yang gemetar di kala matahari terbenam, dan bermata merah di kala pagi namun siap mempermanis potongan tubuh saat matahari terbit, bokong-bokong yang bersinar di bawah lumbung dan telanjang di danau,
yang pergi melacur di Colorado dengan mobil-mobil curian di malam hari, NC, pahlawan rahasia puisi-puisi ini, tukang jagoan dan Adonis dari Denver—kegembiraan bagi kenangan akan gadis-gadis yang tak terhitung jumlahnya di tanah-tanah kosong & halaman belakang restoran, deretan gedung bioskop yang reyot, di puncak gunung di gua-gua atau dengan pelayan-pelayan kurus kering dalam suasana yang akrab di pinggir jalan dan kesepian serta terutama solipsisme rahasia di pom bensin dari para pelanggan, & gang-gang kampung halaman juga,
yang menghilang dalam film-film besar yang menyedihkan, bergeser dalam mimpi, terbangun di Manhattan yang tiba-tiba, dan bangkit dari ruang bawah tanah dengan mabuk karena Tokay yang tak berperasaan dan kengerian mimpi-mimpi besi Third Avenue & tersandung ke kantor-kantor pengangguran,
yang berjalan sepanjang malam dengan sepatu penuh darah di dermaga tumpukan salju menunggu pintu di East River terbuka menuju ruangan penuh uap panas dan opium,
yang menciptakan drama bunuh diri yang hebat di tepi tebing apartemen Hudson di bawah sorotan cahaya bulan biru masa perang & kepala mereka akan dimahkotai dengan daun salam dalam kelupaan,
yang memakan semur domba dalam imajinasi atau mencerna kepiting di dasar sungai berlumpur di Bowery,
yang menangis karena romantisnya jalanan dengan gerobak dorong penuh bawang dan musik yang buruk,
yang duduk di dalam kotak menghirup kegelapan di bawah jembatan, dan bangkit untuk membangun harpsichord di loteng mereka,
yang batuk di lantai enam Harlem yang dimahkotai api di bawah langit tuberkular yang dikelilingi peti-peti oranye teologi,
yang menulis sepanjang malam sambil bergoyang dan berguling-guling di atas mantra-mantra agung yang di pagi yang kuning adalah bait-bait omong kosong,
yang memasak hewan busuk, paru-paru, jantung, kaki, ekor, borscht, dan tortilla, memimpikan kerajaan sayur murni,
yang menceburkan diri di bawah truk daging untuk mencari telur,
yang melempar jam tangan mereka dari atap untuk memberikan suara mereka untuk Keabadian di luar Waktu, & jam alarm jatuh di kepala mereka setiap hari selama dekade berikutnya,
yang memotong pergelangan tangannya tiga kali berturut-turut namun tidak berhasil, menyerah dan terpaksa membuka toko barang antik di mana mereka pikir mereka akan menjadi tua dan menangis,
yang terbakar hidup-hidup dalam balutan pakaian flanel polos mereka di Madison Avenue di tengah-tengah ledakan syair berat & kegaduhan tentara besi mode & jeritan nitrogliserin peri periklanan & gas mustard editor cerdas yang jahat, atau ditabrak taksi mabuk Realitas Absolut,
siapa yang melompat dari Jembatan Brooklyn, kejadian ini benar-benar terjadi dan pergi begitu saja tanpa diketahui dan dilupakan ke dalam kegelapan gang-gang sup Chinatown & mobil pemadam kebakaran, bahkan tidak ada satu bir pun yang gratis,
yang bernyanyi dari jendela mereka dengan putus asa, jatuh dari jendela kereta bawah tanah, melompat ke Passaic yang kotor, melompat ke orang-orang negro, menangis di seluruh jalan, menari di atas gelas anggur yang pecah, memecahkan piringan hitam bertelanjang kaki dari musik jazz Jerman Eropa tahun 1930-an yang penuh kenangan, menghabiskan wiski dan muntah sambil mengerang ke dalam toilet berdarah, erangan di telinga mereka dan ledakan peluit uap yang sangat besar,
yang melaju kencang di jalan raya masa lalu, melakukan perjalanan menuju tempat menonton film hotrod-Golgotha-penjara-kesendirian atau inkarnasi jazz Birmingham,
yang menyetir lintas negara selama tujuh puluh dua jam untuk mencari tahu apakah saya memiliki penglihatan atau Anda memiliki penglihatan atau dia memiliki penglihatan untuk menemukan Keabadian,
yang melakukan perjalanan ke Denver, yang meninggal di Denver, yang kembali ke Denver & menunggu dengan sia-sia, yang mengawasi Denver & merenung & menyendiri di Denver dan akhirnya pergi untuk mencari tahu Waktu, & sekarang Denver kesepian untuk para pahlawannya,
yang berlutut di katedral tanpa harapan berdoa untuk keselamatan dan cahaya dan dada masing-masing, sampai jiwa menerangi rambutnya sejenak,
yang menabrak pikiran mereka di penjara menunggu penjahat mustahil dengan kepala emas dan pesona realitas di hati mereka yang menyanyikan blues manis untuk Alcatraz,
yang pensiun ke Meksiko untuk menumbuhkan kebiasaan, atau Rocky Mount untuk mempersembahkan Buddha atau Tangiers untuk anak laki-laki atau Southern Pacific untuk lokomotif hitam atau Harvard untuk Narcissus ke Woodlawn untuk rangkaian bunga aster atau kuburan,
yang menuntut pengadilan kewarasan dengan menuduh radio melakukan hipnotisme & akhirnya hanya bisa pasrah dengan kegilaan mereka & tangan mereka & juri yang tidak bisa mengambil keputusan,
yang melemparkan salad kentang ke dosen CCNY tentang Dadaisme dan kemudian muncul di tangga granit rumah sakit jiwa dengan kepala gundul dan pidato badut bunuh diri, menuntut lobotomi instan,
dan yang diberikan kekosongan konkret insulin Metrazol listrik hidroterapi psikoterapi terapi okupasi pingpong & amnesia,
yang dalam protes tanpa humor hanya membalikkan satu meja pingpong simbolis, beristirahat sebentar dalam keadaan katatonia,
kembali beberapa tahun kemudian benar-benar botak kecuali wig darah, dan air mata dan jari-jari, ke malapetaka orang gila yang terlihat di lingkungan kota-kota gila di Timur,
Aula-aula busuk Pilgrim State's Rockland dan Greystone, bertengkar dengan gema jiwa, bergoyang dan berguling-guling di bangku-bangku dolmen tengah malam yang sunyi-alam cinta, mimpi kehidupan adalah mimpi buruk, tubuh berubah menjadi batu seberat bulan,
dengan ibu akhirnya ******, dan buku fantastis terakhir terlempar keluar dari jendela rumah petak, dan pintu terakhir ditutup pada pukul 4 pagi dan telepon terakhir dibanting ke dinding sebagai balasan dan kamar terakhir yang dilengkapi perabotan dikosongkan hingga ke perabot mental terakhir, mawar kertas kuning dililitkan pada gantungan kawat di lemari, dan bahkan khayalan itu, tidak ada apa-apa selain sedikit halusinasi yang penuh harapan—
ah, Carl, sementara kamu tidak aman, aku tidak aman, dan sekarang kamu benar-benar berada dalam sup waktu yang sangat mengerikan—
dan yang kemudian berlari melalui jalan-jalan yang dingin terobsesi dengan kilatan tiba-tiba dari alkimia penggunaan katalog elipsis ukuran variabel dan bidang bergetar,
yang bermimpi dan menciptakan celah-celah inkarnasi dalam Waktu & Ruang melalui gambar-gambar yang disandingkan, dan menjebak malaikat agung jiwa di antara 2 gambar visual dan menggabungkan kata kerja unsur dan menyatukan kata benda dan sejumput kesadaran melompat dengan sensasi Pater Omnipotens Aeterna Deus
untuk menciptakan kembali sintaksis dan ukuran prosa manusia yang buruk dan berdiri di hadapanmu tanpa kata-kata dan kecerdasan dan gemetar karena malu, ditolak namun mengakui jiwa untuk menyesuaikan diri dengan ritme pikiran di kepalanya yang telanjang dan tak berujung,
gelandangan gila dan malaikat berdetak dalam Waktu, tak diketahui, namun menuliskan di sini apa yang mungkin tersisa untuk dikatakan pada waktu setelah kematian,
dan bangkit bereinkarnasi dalam pakaian hantu jazz di bawah bayang-bayang band goldhorn dan meniup penderitaan pikiran telanjang Amerika demi cinta menjadi teriakan saksofon eli eli lamma lamma sabacthani yang menggetarkan kota-kota hingga radio terakhir
dengan inti puisi kehidupan yang mutlak dibantai dari tubuh mereka sendiri, enak untuk dimakan selama seribu tahun.
II
Sphinx dari semen dan aluminium manakah yang menghancurkan tengkorak mereka dan memakan otak serta imajinasi mereka?
Moloch! Kesendirian! Kotoran! Keburukan! Tempat sampah dan dolar yang tak terjangkau! Anak-anak menjerit di bawah tangga! Anak laki-laki menangis sejadi-jadinya! Orang tua menangis di taman!
Moloch! Moloch! Mimpi buruk Moloch! Moloch yang tidak punya cinta! Moloch yang gila! Moloch si penghakiman berat bagi manusia!
Moloch penjara yang tidak dapat dipahami! Moloch penjara tanpa jiwa dan Kongres kesedihan! Moloch yang bangunannya adalah penghakiman! Moloch batu perang yang besar! Moloch pemerintah yang tercengang!
Moloch yang pikirannya adalah mesin murni! Moloch yang darahnya adalah uang yang mengalir! Moloch yang jarinya adalah sepuluh pasukan! Moloch yang dadanya adalah dinamo kanibal! Moloch yang telinganya adalah makam yang berasap!
Moloch yang matanya adalah seribu jendela buta! Moloch yang gedung pencakar langitnya berdiri di jalan-jalan panjang seperti Yehuwa yang tak terhitung banyaknya! Moloch yang pabrik-pabriknya bermimpi dan berkokok dalam kabut! Moloch yang cerobong asap dan antenanya memahkotai kota-kota!
Moloch yang cintanya adalah minyak dan batu yang tak berujung! Moloch yang jiwanya adalah listrik dan bank! Moloch yang kemiskinannya adalah momok kejeniusan! Moloch yang nasibnya adalah awan hidrogen tanpa jenis kelamin! Moloch yang namanya adalah Pikiran!
Moloch yang membuatku duduk sendirian! Moloch yang membuatku bermimpi Malaikat! Gila di Moloch! Bajingan di Moloch! Lemah dan tak punya laki-laki di Moloch!
Moloch yang memasuki jiwaku lebih awal! Moloch yang di dalamnya aku adalah kesadaran tanpa tubuh! Moloch yang membuatku takut hingga keluar dari ekstase alamiku! Moloch yang kutinggalkan! Bangunlah di Moloch! Cahaya mengalir dari langit!
Moloch! Moloch! Apartemen robot! Pinggiran kota tak terlihat! Perbendaharaan kerangka! Ibu kota buta! Industri setan! Negara hantu! Rumah sakit jiwa tak terkalahkan! Ayam granit! Bom mengerikan!
Mereka mematahkan tulang punggung mereka saat mengangkat Moloch ke Surga! Trotoar, pohon, radio, berton-ton! mengangkat kota ke Surga yang ada dan ada di mana-mana di sekitar kita!
Penglihatan! Pertanda! Halusinasi! Keajaiban! Ekstasi! Telah mengalir ke sungai Amerika!
Mimpi! Pemujaan! Pencerahan! Agama! Seluruh perahu penuh omong kosong yang sensitif!
Terobosan! menyeberangi sungai! jungkir balik dan penyaliban! tenggelam dalam banjir! Kegembiraan! Pencerahan! Keputusasaan! Jeritan binatang dan bunuh diri selama sepuluh tahun! Pikiran! Cinta baru! Generasi gila! di atas bebatuan Waktu!
Tawa suci yang sesungguhnya di sungai! Mereka melihat semuanya! mata liar! teriakan suci! Mereka mengucapkan selamat tinggal! Mereka melompat dari atap! menuju kesunyian! melambaikan tangan! membawa bunga! Turun ke sungai! ke jalan!
IIII
Carl Solomon! Aku bersamamu di Rockland
dimana kamu lebih marah dariku
Aku bersamamu di Rockland
di mana kamu pasti merasa sangat aneh
Aku bersamamu di Rockland
di mana kamu meniru bayangan ibuku
Aku bersamamu di Rockland
di mana kamu membunuh dua belas sekretarismu
Aku bersamamu di Rockland
di mana Anda menertawakan humor yang tak terlihat ini
Aku bersamamu di Rockland
di mana kita adalah penulis hebat pada mesin ketik mengerikan yang sama
Aku bersamamu di Rockland
ketika kondisi Anda menjadi serius dan dilaporkan di radio
Aku bersamamu di Rockland
di mana kemampuan tengkorak tidak lagi menerima cacing indra
Aku bersamamu di Rockland
di mana kau minum teh dari payudara para perawan tua Utica
Aku bersamamu di Rockland
di mana Anda bermain kata-kata di tubuh perawat Anda, para harpy dari Bronx
Aku bersamamu di Rockland
di mana kamu berteriak dengan jaket ketat bahwa kamu kalah dalam permainan pingpong jurang yang sebenarnya
Aku bersamamu di Rockland
di mana Anda memukul piano katatonik, jiwa itu tidak bersalah dan abadi, ia tidak akan pernah mati dengan tidak saleh di rumah sakit jiwa yang bersenjata
Aku bersamamu di Rockland
di mana lima puluh guncangan lagi tidak akan pernah mengembalikan jiwamu ke tubuhnya lagi dari ziarahnya ke salib di kehampaan
Aku bersamamu di Rockland
di mana Anda menuduh dokter Anda gila dan merencanakan revolusi sosialis Ibrani melawan Golgota nasional fasis
Aku bersamamu di Rockland
di mana Anda akan membelah surga Long Island dan membangkitkan Yesus manusia Anda yang hidup dari makam manusia super
Aku bersamamu di Rockland
di mana ada dua puluh lima ribu kawan gila yang bersama-sama menyanyikan bait terakhir dari Internationale
Aku bersamamu di Rockland
di mana kita berpelukan dan mencium Amerika Serikat di bawah seprai kita Amerika Serikat yang batuk sepanjang malam dan tidak membiarkan kita tidur
Aku bersamamu di Rockland
di mana kita terbangun dari koma dengan dialiri listrik oleh pesawat jiwa kita sendiri yang menderu di atas atap mereka datang untuk menjatuhkan bom malaikat rumah sakit menerangi dirinya sendiri dinding imajiner runtuh O pasukan kurus berlarian di luar O kejutan belas kasihan yang bertabur bintang perang abadi telah tiba O kemenangan lupakan celana dalammu kita bebas
Aku bersamamu di Rockland
dalam mimpiku kau berjalan sambil meneteskan air mata dari perjalanan laut di jalan raya melintasi Amerika menuju pintu pondokku di malam Barat
San Fransisco, 1955—1956