Pementasan Politik

by - March 02, 2010

Marzuki Alie yang sudah lama menjadi Ketua DPRRI dan saya sudah tahu tetapi saya merasa tidak terlalu penting untuk mengenalimu karena politisi bagi saya hanya untuk orang yang punya kapasitas sebagai penipu ulung. Saya tulis sepotong surat untuk Anda, yang saya tulis beberapa menit lalu setelah kau tiba-tiba mengetuk palu tanda

berhentinya Rapat Paripurna DPR RI, justru ketika para wakil rakyat  sedang hibuk meminta izin untuk mengajukan pertanyaan. Saya sangat kaget karena belum pernah ada di negeri ini seorang Ketua DPR RI yang tidak menghargai hak konstitusi anggota DPR RI, apalagi kemudian seorang anggota DPR RI yang emosinya melibatkan saya dalam huru-hara yang memalukan itu.

Saya adalah air mineral di dalam botol yang dibantingkan anggota DPR RI itu ke meja tepat di hadapanmu. Perbuatannya itu sangat mengagetkanku, karena itu berarti menyuruh saya meloncat kemana-mana dan sebagian menempel pada celana dan jasmu. Saya melihat kau mendadak pucat, apalagi anggota DPR RI dari Fraksi Golkar itu tampak seakan ingin menelanmu. Tapi, sebagai seorang politisi yang punya kapasitas sebagai penipu ulung, kau bisa mengubah rasa takutmu menjadi keberanian dan kau lansung menunjuk-nunjuk anggota DPR RI itu. "Keterlaluan...keterlaluan....." kata hatimu.

Kulit wajahmu pun memerah. Emosi mulai mengalir sampai ke telingamu. Tapi, salah seorang anggota DPR RI yang berasal dari Fraksi Demokrat--orang itu berasal dari Lampung--membawamu memasuki sebuah ruangan yang segera ditutup dan dijaga ketat oleh para petugas keamanan gedung DPR/MPR RI. Setelah berada di dalam ruangan itu, kulit wajahmu segera berubah. Kau pun senyum-senyum. "Bagaimana penampilanku tadi?" katamu.

"Luar biasa," kataku. "Perubahan karakter yang begitu mendadak dan drastis. Wah, Bung bisa juga berakting."

"Kau tidak tahu. Saya piawai dalam banyak hal. Yang sudah teruji, saya mampu mengumpulkan sekian banyak suara rakyat sehingga saya bisa menjadi seperti sekarang."

"Ketua DPR RI maksudmu?"

"Itu juga. Bukankah itu sejarah baru. Dulu, kursi ini dikhususkan bagi politisi Partai Golkar. Tapi saya mengubah sejarah itu." Kau tertawa kecil.

"Ya, salut. Tapi, apakah itu pantas dibanggakan?"

"Ya, iyalah. Ini menandakan demokrasi sudah berputar di negeri ini. Saya yang mengawalinya. Saya manusia bersejarah."

"Hanya itu ukuran bersejarah. Lantas apa nilai pentingnya bagi rakyat."

"Sudahlah. Tidak usah bicara soal rakyat. Semakin kita membicarakan mereka, membuat segala urusan kita hanya berorientasi untuk kepentingan mereka, akan membuat rakyat menjadi tirani baru."

"Maksudmu."

"Rakyat di negeri ini hanya bisa hidup jika kita tekan, kita jajah. Mereka terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang penjajah. Kalau dibiarkan sendiri, mereka tidak punya inisiatif."

"Aku tak suka cara berpikir ini?"

"Untung kau hanya air. Untung pula kau sudah melekat di jasku. Kalau saja kau dalam botol, sudah kutegak."

"Kau mulai seperti tiran."

"Aku memang tiran. Kau lihat tadi. Semua orang yang memegang palu, pastilah tiran."

"Itu tidak demokratis."

"Bagaimana bisa bicara begitu. Partai saya saja namanya sudah demokratis. Alasan apalagi yang bisa dipakai untuk mengatakan saya tidak demokratis."

"Bukan sekedar nama, Bung."

"Mana ada yang berarti tanpa nama."

"Nama tidak mesti mengartikan subtansi."

"Subtansi itu ada di sini." Kau menepuk dadamu. "Tak perlu orang tahu. Tak perlu juga orang harus melihat ke dada orang lain untuk bisa memahami subtansi."

"Memang tidak seperti itu. Subtansi itu....ah, repot berbicara denganmu, Bung."

"Kenapa kita harus bicara. Sudahlah. Masih banyak yang harus saya kerjakan. Saya masih harus mengumpulkan semua anggota Fraksi Demokrat." Kau mengambil tissu dan mulai mengelap jas dan celanamu yang basah olehku. Tissue itu menyebotku, menyerapku, lalu kau membuang tissue itu ke kotak sampah. Dari dalam kotak itu aku dengan seseorang masuk, lalu aku dengar tawa Kalian.

"Pas seperti skenario yang kita buat," kata orang itu. "Ketua pasti membaca naskah itu semalaman. Improvisasinya luar biasa."

"Saya harus mengakui akting kawan yang lain. Meski dari fraksi berbeda, ternyata mereka juga jado berakting."

"Saya tidak menyangka. Awalnya saya sempat khawatir pementasan ini akan gagal. Ternyata..." Suara tertawa.

"Saya jadi punya ide?"

"Apa?"

"Kalau pementasan ini sukses, jangan lupa untuk mengingatkan saya agar mengusulkan kepada eksekutif untuk memperbaiki ruang sidang."

"Kenapa?"

"Pencahayaannya dan soundnya agar kurang mendukung akting. Saya sempat gugup, tapi saya kan jago improvisasi."

Tawa Kalaian pecah. Aku sudah tidak menyimak lagi.

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda