MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Allen Ginsberg dan Kegilaannya, Penyair Indonesia dan Puja-Puji Kepada Mereka

Allan Ginsberd dan pasangan gay-nya, Peter Orlocsky

Esai Budi Hatees

"Apakah yang membuat Allen Ginsberg berhasil mendapatkan kursi di dalam gerbong kepenyairan Amerika Serikat yang penuh sesak?" tanya seseorang dalam kelas sastra online. "Dia mendapatkan kursi bukan di gerbong terakhir, melainkan gerbong di mana W.H. Auden, William Carlos Williams, Robert Frost, Walt Whitman, dan beberapa penyair lainnya sudah duduk lebih dahulu."

Yang bertanya ini bukan penyair dan dia tak akan pernah jadi penyair. Tahun ini dia mencalonkan diri jadi anggota legislatif di kotanya. "Banyak penyair yang jadi politisi," katanya, lalu menyebut nama penyair dan politisi dari Chili. "Puisi-puisinya menggairahkan."

Aku pun bercerita tentang Ginsberg, penulis Beat yang paling dihormati, penyair Amerika Serikat yang terkenal di generasinya. Dia lahir pada hari yang sama dengan kelahiranku, 3 Juni, tapi Ginsberg lahir pada tahun 1926 di Newark, New Jersey. Ayahnya seorang guru bahasa Inggris, ekspatriat Rusia, dan ibunya seorang penderita masalah psikologis dan gangguan saraf.

Aku cerita biografi Ginsberg tanpa prestensi untuk memahamkan puisi-puisi Beat yang diciptakannya. Orang Indonesia memang terbiasa membicarakan puisi dan mengait-kaitkannya dengan kebiasaan penulis dalam kehidupan sehari-hari. Kau bisa bayangkan betapa menyedihkannya ketika puisi Chairil Anwar dibicarakan hanya karena dia memaka kalimat "aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang". Kalimat itu jadi clue bagi siapa saja dalam memahamkan puisi Chairil Anwar, dan memastikan bahwa Chairil Anwar tidak akan pernah menulis puisi yang menjauh dari tema tentang "binatang jalang dari kumpulannya terbuang".

Orang Amerika Serikat tak menyebut Ginsberg sebagai "binatang jalang" meskipun pandangan hidupnya tak lazim, emosinya tak stabil, perilaku kesehariannya sering mengajak berantem, pemakai narkoba yang aktif, menadah barang curian, dan memilih masuk rumah sakit jiwa.

Chairil Anwar lahir 1922, lebih tua empat tahun dibandingkan Ginsberg. Artinya, mereka sezaman. Zaman ketika Chairil hidup, sama seperti zaman ketika Ginsberg hidup. Zaman ketika dunia global dilanda perang dunia kedua. Di mana-mana di dunia ini, dampak perang itu membawa masalah serupa bagi umat manusia. Hidup manusia tertekan secara ekonomi, perkembangannyua stagnan, dan cara berpikir jadi kacau. Tapi tak separah kondisi manusia di Jepang, negara yang kalah perang dan dihukum dengan bom nuklir.

Indonesia, tanah air Chairil, negara baru merdeka dan bekas jajahan. Amerika Serikat, tanah air Ginsberg, negara yang sudah lama merdeka dan sering didera persoalan rasisme, adalah negara yang bisa dibilang ikut mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dua bom nuklir di Hirosima dan Nagasaki yang dijatuhkan Amerika Serikat membuat Jepang menyerah di mana-mana, dan kejatuhan Jepangf memberi peluang bagi Indonesia untuk merdeka.

Zaman Chairil dan Ginsberg tidak banyak berbeda. Cuma, usia Chairil tak panjang. Dia tak menikmati budaya baru dalam peradaban manusia pasca perang dunia kedua, dia hanya membayangkan peradaban moderen itu dalam puisi-puisinya. Ginsberg sebaliknya, harus menyiasati dinami peradaban moderen yang membawa kerusakan pada ummat manusia, yang lebih kejam dan parah dibandingkan akibat perang.

Tahun 1956, Ginsberg mulai menjadi perhatian publik dengan diterbitkannya kumpulan puisinya, Howl and Other Poems. Puisi Howl--sebaiknya tidak kuterjemahkan saja artinya ke dalam bahasa Indonesia, karena kata howl ini lebih mewakili puisi itu sendiri. Puisi Howl semacam jeritan tertahan, lolongan panjang dari emosi yang terpendam, kemarahan yang tidak bisa diungkapkan, atau pikiran yang entah kenapa terasa mampet dalam menghadapi kehidupan masyarakat di sekitar.

Kevin O'Sullivan menulis di Newsmakers, menyebut "Howl" sebagai "puisi yang penuh kemarahan dan eksplisit secara seksual" dan menambahkan bahwa "dianggap oleh banyak orang sebagai peristiwa revolusioner dalam puisi Amerika". Bahasa puisinya mentah dan jujur. James Dickey menyebut “Howl” sebagai “kegembiraan yang meluap-luap” dan menyimpulkan bahwa “dibutuhkan lebih dari ini untuk membuat puisi.” Richard Eberhart menyebut “Howl” sebagai “sebuah karya yang kuat, menembus makna yang dinamis… Ini adalah sebuah lolongan melawan segala sesuatu dalam peradaban mekanistik kita yang membunuh semangat… Kekuatan dan energi positifnya datang dari kualitas cinta yang menebus.” Paul Carroll menilainya sebagai “salah satu tonggak sejarah generasi ini.” Saat menilai dampak dari “Howl”, Paul Zweig mencatat bahwa “Howl” “hampir sendirian mengubah posisi puisi tradisionalis pada tahun 1950an.”

Dari sekian banyak komentar, nyaris tak ada yang menyebut Ginsberg sebagai "si kurang hajar yang tak tahu tata krama", "binatang jalang", atau hal-hal yang acap dikait-kaitkan dengan konvensi terkait watak sosial. Ginsberg jelas menulis dengan bahasa yang, menurut etika orang Indonesia tidak sopan, tapi puisinya tidak pernah dibicarakan sebagai representasi watak pribadinya.

Memang, sempat Departemen Kepolisian San Francisco menilai bahasa puisi Ginsberg sangat seksual alias porno, karena memakai diksi yang vulgar. Polisi menyatakan buku itu cabul dan menangkap penerbitnya, Lawrence Ferlinghetti--seorang penyair. Persidangan pun digelar, melibatkan tokoh sastra terkemuka seperti Mark Schorer, Kenneth Rexroth, dan Walter Van Tilberg Clark. Semua membela Howl. Ingat, membela puisi, membela kreativitas, dan bukan membela Giunsberg.

Di Indonesia, orang-orang lebih banyak menghukum penyair, ataupun membela-bela penyair. Tentu tidak relevan, tapi itulah tradisi bersastra di negeri ini. Orang Indonesia juga hanya membela Wiji Thukul bukan membela pikirannya atau caranya berpikir. Orang Indonesia kehilangan Wiji Thukul bukan kehilangan cara berpikirnya dalam menghasilkan puisi.

Kenapa orang Indonesia seperti itu dalam melihat karya sastra. Perspektif itu menyelamatkan. Mereka yang bukan penulis puisi tetapi mengaku penyair akan terselamatkan jika yang dibicarakan bukan puisinya. Itu sebabnya, kita nyaris tidak menemukan puisi di Indonesia ini. Dan ini proses panjang yang terus-menerus dilakukan atas nama lembaga beatifikasi. Majalah Horison punya tradisi menerbitkan tulisan (yang disebut kritik sastra meskipun isinya apresiasi karya sastra) tentang puisi-puisi yang terbit di majalah itu. Semua tulisan itu sejak awal sudah menegaskan, bahwa puisi yang terbit doi majalah Horison pastilah puisi yang luar biasa.

Tradisi ini kemudian dicontoh pengelola ruang-ruang sastra di surat kabar. Para redaktur memuji-puji hasil kerjanya dengan menyebut para penyair yang puisinya terbit di surat kabar tempat dia menjadi redakjtur merupakan penyair hebat. Nirwan Dewanto ketika menjadi redaktur sastra majalah sastra, pernah memuji Provinsi Lampung sebagai lumbung penyair nasional meskipun penyair Lampung yang mau mengirimkan karya ke majalah itu tidak banyak.

Sastra di Indonesia, termasuk puisi, hidup bukan karena kreativitas. Hidup dan kehidupannya karena banyak faktor yang tak ada kaitannya dengan kreativitas penciptaan.

Ginsberg diposisikan sebagai penyair, dan dia membawa gerakan Beat. Orang Amerika Serikat membicarakan puisi-puisinya karena membacanya. Orang Indonesia nyareis tidak tahu cara membaca puisi. Mereka menyembunyikan ketidaktahuannya dengan cara memuji penyairnya.

Tak heran jika Ginsberg makin produktif. Setelah buku Howl and Other Poems, dia kembali menerbitkan buku tahun 1961, Kaddish and Other Poems. “Kaddish,” sebuah puisi mirip dengan “Howl,” didasarkan pada doa tradisional Ibrani untuk orang mati dan menceritakan kisah hidup ibu Ginsberg, Naomi. Perasaan kompleks sang penyair terhadap ibunya, yang diwarnai perjuangannya melawan penyakit mental, merupakan inti dari puisi berjajar panjang ini.

Seperti Howl, Kaddish mampu menjaga marwah kepenyairan Ginsberg. Kulitasnya tetap terjaga. Tidak seperti penyair di Indonesia. Kumpulan puisi pertamanya, yang selalu menadapat puja-puji bukan karena kualitas puisinya, akan sama saja dengan kumpulan puisi berikutnya. Kualitasnya sering menjadi lebih rendah. Tapi, penyair sudah terlanjur mendapat puja-puji, dan dia akan sangat marah kalau tidak dipuja-puji. Penyair Indonesia itu pemarah, emosional, dan sering merasa dirinya telah dizolimi.

Ginsberg berbeda, sastra di luar Indonesia berbeda. Amerika Serikat menghargai isi kepala. Indonesia menghargai penampilan fisik.

Kenapa puisi Ginsberg begitu dihargai. Tidak lain dan tidak bukan karena dia memawa suara masyarakat. Puisinya sangat dipengaruhi realitas masyarakat. Puisinya sangat politis. Dia pernah diwawancarai orang tentang bagaimana dia menulis. “Saya memeriksa tulisan-tulisan prosa saya,” katanya kepada pewawancara, “dan saya mengambil empat atau lima potongan baris kecil yang benar-benar akurat untuk pemikiran bicara-bicara seseorang dan menyusunnya kembali dalam baris-baris, sesuai dengan nafas, menurut tentang bagaimana Anda akan memecahnya jika Anda benar-benar ingin membicarakannya." 

Di lain waktu, dia berkata: "dia menulis puisi bukan, dengan mengerjakannya dalam potongan-potongan kecil dari waktu yang berbeda, tetapi mengingat sebuah ide di kepala dan langsung menuliskannya dan menyelesaikannya di sana.

Tema utama dalam kehidupan dan puisi Ginsberg adalah politik. Dalam sejumlah puisi, Ginsberg bicara tentang perjuangan serikat pekerja pada tahun 1930-an, tokoh radikal populer, perburuan merah McCarthy, dan batu ujian sayap kiri lainnya. Dia juga bicara tentang Perang Vietnam, anti-nuklir. Dia memang acap personal, bicara tentang ibunya dalam Kaddish, tetapi dia memposisikan ibunya sebagai warga yang mengalami masalah kejiwaan. Masalah serupa dialami banyak orang di Amerika Serikat.

Aktivitas politik Ginsberg sangat libertarian, menggemakan preferensi puitisnya terhadap ekspresi individu dibandingkan struktur tradisional. Dia menciptakan dan menganjurkan “kekuatan bunga,” sebuah strategi di mana para demonstran anti-perang akan mempromosikan nilai-nilai positif seperti perdamaian dan cinta untuk mendramatisasi perlawanan mereka terhadap kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh Perang Vietnam. Penggunaan bunga, lonceng, senyuman, dan mantra (nyanyian suci) menjadi hal yang umum di kalangan demonstran selama beberapa waktu.

Ginsberg adalah penyair yang berpolitik. Aktivitas politiknya menimbulkan masalah baginya di negara lain. Pada tahun 1965 dia mengunjungi Kuba sebagai koresponden Evergreen Review. Setelah dia mengeluhkan perlakuan terhadap kaum gay di Universitas Havana, pemerintah meminta Ginsberg meninggalkan negara itu. Pada tahun yang sama, penyair tersebut melakukan perjalanan ke Cekoslowakia, di mana ia terpilih sebagai “Raja Mei” oleh ribuan warga Ceko. Keesokan harinya pemerintah Ceko meminta agar ia pergi, dengan alasan ia “ceroboh dan merosot”.

Studi Ginsberg tentang agama-agama Timur didorong oleh penemuannya tentang mantra, nyanyian berirama yang digunakan untuk efek spiritual. Baginya, penggunaan ritme, napas, dan suara unsur tampak seperti puisi. Dalam sejumlah puisi ia memasukkan mantra ke dalam tubuh teks, mengubah karya tersebut menjadi semacam doa puitis. Saat pembacaan puisi ia sering memulai dengan melantunkan mantra untuk mengatur suasana hati.

Ketertarikannya pada agama-agama Timur akhirnya membawanya menemui Yang Mulia Chogyam Trungpa, Rinpoche, seorang kepala biara Buddha dari Tibet yang memiliki pengaruh kuat terhadap tulisan Ginsberg. Awal tahun 1970-an, penyair tersebut mengambil kelas di Institut Naropa Trungpa di Colorado serta mengajar kelas puisi di sana. Pada tahun 1972 Ginsberg mengambil sumpah Perlindungan dan Bodhisattva, secara resmi mengabdikan dirinya pada keyakinan Buddha.

Aspek utama dari ajaran Trungpa adalah suatu bentuk meditasi yang disebut shamatha di mana seseorang berkonsentrasi pada pernapasannya sendiri. Meditasi ini, kata Ginsberg, “pertama-tama mengarah pada ketenangan pikiran, pada ketenangan produksi mekanis fantasi dan bentuk-pikir; hal ini mengarah pada peningkatan kesadaran akan hal-hal tersebut dan melakukan inventarisasi hal-hal tersebut.” Buku Ginsberg, Mind Breaths, yang didedikasikan untuk Trungpa, berisi beberapa puisi yang ditulis dengan bantuan meditasi shamatha.

Nah, itulah Ginsberg. Ini hanya sebgaian dari hal-hal yang membuat puisinya pantas dibaca. Tidak seperti penyair Indonesia, keperduliannya hanya pada bagaimana caranya agar puisinya terbit di surat kabar atau masuk antologi puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada hal-hal yang tak ada kaitannya dengan kualitas puisi. Penyair Indonesia hanya perduli pada yang artifisian, bukan yang subtansiual.

Jangan heran bila kau mengikuti pembicaraan para penyair Indonesia, maka yang dibicarakan hanya perkara: "kau ikut gak di festival sastra anu", "kenapa puisiku tidak lolos kurasi dalam antologi anu", "kau hebat, puisimu bisa muncul di kompas", "luar biasa, puisimu sudah diterkjemahkan ke dalam banyak bahasa asing"......

Sekarang kau sudah tahu Ginsberg

No comments

Terima kasih atas pesan Anda