Kau dan Cerita di Dalam Kepalamu
Ketika kau duduk di salah satu bangku di dalam kafe itu, pelayan belum mendatangimu, kau tebar tatapan ke luar dari dinding kaca dan pandanganmu berhenti pada sebuah halte di depan sebuah bangunan tua di seberang jalan. Kau lihat seorang perempuan duduk di halte itu sambil memegang telepon genggam, dan seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan menuju halte itu.
Kau membayangkan, beberapa menit sebelumnya,
perempuan itu menelepon laki-laki paruh baya itu, dan mengatakan bahwa dia
sedang berada di halte. Saat telepon itu masuk, laki-laki paruh baya itu sedang
berada di dalam ruangan kerjanya di salah satu gedung bertingkat yang ada di
sekitar daerah itu, dan kertas menumpuk di atas mejanya. Begitu dia tahu
perempuan itu menghubunginya, dia mengaku sangat sibuk dan tidak bisa keluar
sebelum pekerjaannya selesai. Perempuan itu sudah tahu kalau laki-laki paruh
baya itu akan membuat alasan apa saja supaya mereka tidak bertemu, dan dia
sudah menyusun kalimat-kalimat yang akan efektif untuk memaksa laki-laki paruh
baya itu meninggalkan pekerjaannya.
“Aku hamil,” kata perempuan itu, lalu dia
diam untuk mengetahui bagaimana reaksi laki-laki paruh baya itu. “Kau dengar?!
Aku hamil.” Perempuan itu menegaskan kembali karena tidak ada reaksi yang
diharapkannya.
“Sekarang kau buat alasan kalau kau hamil.”
Datar sekali suara laki-laki paruh baya itu, “Kau lupa kalau aku tidak subur.
Kau lupa kenapa aku belum punya anak sampai sekarang?”
Perempuan itu terdiam dan baru menyadari
alasan yang dibuatnya mengada-ada. Sejak pertama kali mengenal laki-laki paruh
baya itu, dia tahu laki-laki paruh baya itu belum punya anak meskipun sudah dua
kali menikah. Tak seorang pun dari dua perempuan yang dinikahinya itu pernah
hamil, dan perempuan lain yang berhubungan badan dengan dia pun tidak pernah
hamil. Dan, justru, lantaran itulah dia mau menjalin hubungan dengan laki-laki
paruh baya itu. Waktu itu dia membayangkan, jika kelak dia tidak bisa
mengontrol nafsunya, lalu dia dan laki-laki paruh baya itu bersetubuh seperti
sering dilakukan laki-laki dan perempuan yang menjalin hubungan, maka dia tidak
perlu khawatir benih laki-laki paruh baya itu akan tertanam di rahimnya. Dia
akan bisa menikmati persetubuhan itu tanpa ketakutan.
Tapi, perempuan itu tak mau kalah dan
berkata: “Kau yang keliru selama ini. Kau menikahi perempuan mandul, berbeda
dengan aku. Aku subur dan benihmu tertanam di rahimku.” Dia diam, menunggu
reaksi laki-laki paruh baya itu, dan dia mendengar suara napas dihela. “Aku
baru dari klinik dan aku bawa hasil laboratorium.”
Perempuan itu tersenyum karena membayangkan
laki-laki paruh baya itu menjadi ragu. Dia sudah menduga akan seperti apa
tanggapan laki-laki paruh baya itu begitu dia ceritakan tentang hasil
pemeriksaan laboratorium. Itulah skenario yang dibuatnya. Dia menghubungi dr.
Yulining, kawan satu SMA yang membuka klinik bersalin di pusat kota, dan
meminta kawan itu membuat laporan uji laboratorium yang menjelaskan bahwa dia
sedang hamil. “Berapa tarifnya aku bayar, Jeng,” katanya, “kalau rencanaku
berhasil, aku tambahi lagi.”
Dokter Yulining menyebutkan tarif, dan
membayangkan nilai rupiah yang akan diterimanya jika rencana pasiennya itu
berhasil. “Apa pekerjaan laki-laki itu?” tanya dr. Yulianing.
“Tenang, Jeng, dia pengusaha yang sukses.”
Laki-laki paruh baya itu masih diam, berpikir
keras apakah dia sedang dipermainkan oleh perempuan itu seperti biasanya, atau
ucapan perempuan itu adalah sebenarnya. Dia khawatir jika ucapan perempuan itu
benar dan dia tidak meladeninya, maka harapannya untuk bisa memiliki keturunan
tidak akan pernah terwujud. Dia harus punya keturunan, dan anak itu—perempuan
ataupun laki-laki, tapi kalau bisa laki-laki—akan menjadi tiket untuk
mendapatkan jatah warisan dari almarhum ayahnya.
“Baiklah!” kata laki-laki paroh baya itu. “Tunggu aku di halte!”
Kau melihat laki-laki paruh baya itu telah
sampai di halte. Perempuan yang sudah ada di halte itu tidak sekali pun menoleh
ke arahnya. Dia masih memegang telepon genggamnya. Laki-laki paruh baya itu
melirik perempuan itu, lalu mengalihkan pandangan ke ujung jalan, berharap ada
bus yang tiba.
“Pesan apa, Pak?” Seseorang, yang ternyata
pelayan kafe, berdiri di hadapanmu. Dia seorang perempuan muda, bertubuh
tinggi, berkulit putih, dan rambut ikal bergelombang hingga punggungnya. Dia
tersenyum kepadamu. “Bapak pesan apa?”
“Kamu!?” Tiba-tiba kau ucapkan kata itu, tapi
kemudian meralatnya. “Eh, maaf, maaf…. Aku melamun.”
Pelayan berambut ikal itu tersenyum. “Gak apa-apa, Pak. Pesan aku juga boleh, tapi tidak sekarang. Nanti, sepulang aku kerja.”
Pelayan berambut ikal itu tersenyum. “Gak apa-apa, Pak. Pesan aku juga boleh, tapi tidak sekarang. Nanti, sepulang aku kerja.”
Kau merasa ditantang. Darah laki-laki dalam
tubuhmu mendadak berombak, meninggalkan debur di jantungmu. Kau tatap pelayan
itu. Matanya membuat tubuhmu berdesir.
“Jam berapa pulang kerja?” tanyamu.
Perempuan itu menuliskan sesuatu di kertas
yang dibawanya. “Bapak pesan apa?” tanyanya.
“Kopi.” Kau sangat bergairah. “Tanpa gula.”
Pelayan itu menuliskan sesuatu di kertas.
“Ada yang lain?” tanyanya.
Kau menggeleng, matamu tetap menatapnya.
Perempuan itu menyodorkan secarik kertas
padamu, lalu pergi. Kau menatap pinggulnya yang berisi, melenggok menjauhimu.
Kau baca kertas yang diberikannya. “Pukul 18.00 Wib, aku tunggu di halte
depan.”
2
KAU putuskan keluar dari hotel. Tiga hari kau
berada di dalam gedung bertingkat itu, hanya berkisar antara kamar tidur dan
ruang pertemuan. Padahal kau datang bukan untuk itu, tapi untuk menikmati kota
yang gemerlap.
Pagi kau bangun, lalu sarapan. Pukul 08.00
Wib kau sudah ada di ruang pertemuan bersama peserta seminar lainnya yang datang
dari berbagai kota. Siang istirahat, kau ke kamarmu. Farida Hanum, kawan satu
kamar, tetap di ruang pertemuan. Ada saja yang dilakukannya. Kalau tidak
mengobrol dengan sesama peserta seminar lainnya, dia akan mengejar salah
seorang pembicara dan bertanya ini dan itu.
Kau tak mungkin mengikuti Farida Hanum, dia
masih hijau dalam perkara seminar yang sebetulnya tidak terlalu penting karena
cuma untuk menghabiskan anggaran yang ada. Kau sudah bosan ikut seminar, dan
hasilnya tetap saja sulit untuk diaplikasikan. “Ini hanya formalitas,” katamu
kepada Farida Hanum, “tak usah terlalu bersemangat.”
Farida Hanum hanya tersenyum. Dia tahu kalau
kau tidak terlalu suka mengikuti seminar karena kau sudah bosan ikut seminar di
mana-mana. Sebagai pegawai negeri bergolongan rendah yang butuh pengalaman dan
ilmu pengetahuan, Farida Hanum memilih tak mau mengikuti caramu. Dan, ketika
kau ajak dia keluar dari hotel untuk menikmati suasana kota, Farida Hanum
mengingatkanmu agar jangan pernah keluar. “Lepas Isya masih ada pertemuan lagi.
Kali ini Prof. Dr. Bambang Suyadi yang bicara,” katanya.
“Yang aku butuhkan saat ini hanya makanan
enak,” katamu.
“Tinggal sehari lagi. Kalau kau sabar, besok
kita sudah selesai. Kita bisa menikmatinya dengan menu apa saja.”
“Aku hidup dan bekerja untuk makan.”
Farida Hanum menggeleng tanda tak setuju,
tapi dia tidak bisa melarangmu.
Keluar dari hotel, kau mencegat taksi dan
meminta sopir mengantarkanmu ke restoran yang menyajikan masakan paling enak.
Sopir taksi itu menurunkanmu di depan sebuah restoran dan berkata: “Pantas Ibu
gendut. Ibu suka makan rupanya.”
“Bukan urusanmu.” Kau ketus, lalu
meninggalkan taksi itu, menaiki tangga menuju restoran. Di depan restoran,
seorang penerima tamu menyambutmu. Dia membawamu ke sebuah meja, tapi kau meminta
agar memilihkan meja di dekat jendela. “Aku akan lebih nyaman makan sambil
menikmati pemandangan di luar,” katamu.
“Baik,” kata pelayan. “Ibu pesan apa?”
“Menu favorit.”
Pelayan pergi. Kau menatap ke luar lewat
jendela kaca dan pandanganmu berhenti pada sebuah halte di depan sebuah
bangunan tua di seberang jalan. Kau lihat seorang perempuan duduk di halte itu
sambil memegang telepon genggam, dan seorang laki-laki paruh baya sedang
berjalan menuju halte itu.
Langit senja hari dan lampu-lampu di pinggir
jalan mulai menyala. Kau membayangkan, laki-laki paruh baya itu sebetulnya
masih muda, tetapi dia sengaja mengubah penampilannya untuk suatu tujuan
tertentu. Mungkin, dia hanya ingin membangun kesan bahwa dirinya tua dan lemah,
sehingga orang-orang akan merasa iba kepadanya.
Dari caranya berpakaian, tampak kusut dan tak
terurus, kau menduga laki-laki tua itu sebetulnya orang yang ingin berniat
jahat. Mungkin saja dia sengaja berdiri di salah satu tempat di sekitar halte
untuk mengawasi siapa yang datang ke halte itu, lalu dia melihat seorang
perempuan duduk seorang diri di halte itu. Dia perhatikan perempuan itu lebih
lekat, dan dia menduga kalau perempuan itu sedang menghadapi masalah. Dia
pikir, perempuan yang sedang punya masalah adalah orang yang tepat untuk
menjadi korbannya, lalu dia mendekat dengan berpura-pura menjadi laki-laki
paruh baya.
Perempuan itu sendiri sepintas tampak sedang
dirundung masalah, karena perhatiannya tidak pernah lepas dari telepon genggam
yang dipegangnya. Barangkali perempuan itu sedang menunggu seseorang yang akan
menjemputnya, atau perempuan itu ditinggalkan oleh seseorang di suatu tempat
dan dia tidak tahu harus pergi ke mana. Dia melihat halte dan mengira di tempat
ini akan ada kendaraan umum yang bisa membawanya ke rumahnya.
“Sendirian, Neng?” sapa laki-laki paruh baya
itu.
Perempuan itu hanya menoleh, sekilas, lalu
kembali menatap telepon genggamnya. Laki-laki paruh baya itu duduk d samping
perempuan itu, melirik tas kecil yang ditaruh di samping perempuan itu. Tas itu
dari kulit dan terlihat berkelas. Laki-laki paruh baya itu menebak isi tas
kecil itu pasti banyak. Dia pun berpikir keras cara mengalihkan perhatian
perempuan itu, lalu mulai merapal beberapa mantra yang efektif membuat
korbannya terlena. Dia sudah sering mempraktikkannya, dan hasilnya sangat
lumayan.
Tiba-tiba telepon genggam perempuan itu
mendering. Perempuan itu menatap layar, lalu tersenyum. Dia bangkit dan
menjawab telepon itu. Tas kecil yang disandangnya bergoyang-goyang dan nyaris
mengenai wajah laki-laki paruh baya itu. Laki-laki paruh baya itu melihat ada
peluang bagus untuk merengut tas tersebut, lalu menariknya.
“Selamat menikmati, Bu!” Pelayan bicara, dan
kau tersentak. Kau menatap pelayan itu sambil mengernyitkan kening. “Silakan,
Bu!”
Kau baru sadar, ternyata, pelayan sudah
menghidangkan makanan yang kau pesan. Menu favorit di restoran: sop iga sapi
yang bakar. Air liurmu mengalir dan nyaris menetes menatap sop yang mengepulkan
uang itu.
“Ibu mau tambahan menu lain?” tanya pelayan.
“Apa maksudmu bertanya begitu!?” Kau meradang. “Kau pikir
aku ini rakus karena tubuhku gendut. Kau pikir aku….”
“Maaf, Bu, maaf….”
3
KAU lihat jam di layar telepon genggammu. Tak lama lagi
Magrib. Langit mulai gelap, dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Hampir sejam kau
menunggu di halte, tak ada tanda-tanda bus akan melintasi. Kau berharap bus itu
segera datang. Tapi, yang datang justru seorang laki-laki paruh baya, berjalan
ke arahmu.
Kau tak memedulikan orang itu. Kau tak
mengenalinya seperti kebanyakan orang yang kau temui. Kau tidak mengenal siapa
pun di kota ini. Sudah dua bulan kau tiba di kota ini, dan selama itu belum ada
tanda bahwa kau akan mendapat pekerjaan. Beberapa perusahaan yang kau datangi
mengaku tidak sedang mencari karyawan. Ada dua perusahaan yang menolak dengan
tegas, terutama karena kau tak punya kecakapan apa pun selain ijazah sarjana
yang kau miliki.
“Ijazah itu tidak penting,” kata laki-laki
tua yang bekerja di bagian personalia perusahaan itu, “yang penting itu
keterampilan yang khas dan tak bisa dilakukan orang lain.”
Kau tak tersinggung atas ucapannya. Kalimat
serupa pernah disampaikan Harun Al Rasyid kepadamu. Dia pamanmu, adik ibumu.
Dia seorang pengusaha yang kreatif, memproduksi kakus duduk yang dijual ke
toko-toko bangunan di kotamu. Dia mengaku akan mempekerjakanmu di tempat
usahanya asalkan kau punya kemampuan khusus seperti mengecat, mengaduk
bahan-bahan porselen, atau apa saja yang bisa membuat produksi kakus duduk
menjadi lebih baik.
“Aku tak punya kemampuan seperti itu,”
katamu.
“Kau bisa menjual?” tanya Harun Al Rasyid.
Kau menggeleng.
“Ya, salam,” kata Harus Al Rasyid. “Kau tidak
akan dapat pekerjaan apa pun jika tak punya kecakapan khusus.”
“Aku akan merantau ke Jakarta.”
“Percuma.”
“Aku akan buktikan.”
“Sia-sia saja.” Harun Al Rasyid pun
menawarkan agar kau mau belajar. “Kalau kau sudah bisa, aku akan
mempekerjakanmu. Bagaimana?”
“Apakah aku digaji selama belajar?”
“Tidak.” Harun Al Rasyid tersenyum. “Apa kau
digaji selama kuliah?”
Kau menggeleng.
“Kau harusnya bersyukur,” kata Harun Al
Rasyid.
Sayang, kau tak bersyukur. Kau putuskan pergi
merantau. Dan, ternyata, Harun Al Rasyid benar.
“Maaf, Mbak, bicara apa tadi?” tanya
laki-laki paruh baya yang duduk di sampingmu. “Mbak tadi berkata, ‘Benar’.”
Kau menoleh ke laki-laki paruh baya itu. “Aku
bicara begitu?” tanyamu.
“Ya.” Laki-laki paroh baya itu tersenyum.
“Aku kira Mbak bicara dengan aku?”
“Oh, maaf, aku tadi melamun.”
Laki-laki itu mengangguk. “Hidup memang susah
saat ini. Wajar kalau Mbak jadi melamun seperti itu.”
“Maksud Bapak?”
“Tadi aku membayangkan kalau Mbak sedang ada
masalah, dan ternyata Mbak memang ada masalah.”
“Maksud Bapak?” Kau bangkit dan mendadak
khawatir. “Bapak Mbak membaca pikiran saya?”
“Maaf, Mbak. Kau tadi bicara seorang diri.
Aku jadi tahu apa yang Mbak pikirkan.”
“Benarkah!”
Laki-laki paruh baya itu mengangguk.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda