Resistensi Para Koruptor
Budi P. Hatees*
Siapa saja yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditetapkan sebagai tersangka, bisa dipastikan orang tersebut resisten mengatakan dirinya tidak pernah korupsi.
Sikap itu dipertahankan sekalipun ia tertangkap tangan bersama barang bukti, dan ia akan terus-menerus mengupayakan membela dirinya meskipun dengan cara menyalahkan orang lain.
Jika usaha-usaha membela diri bakal menemukan jalan buntu, masih juga dicari usaha lain berupa melakukan kejahatan baru seperti menyuap aparat penegak hukum, atau yang lebih sering terjadi di negeri ini menuduh orang lain telah menjebak dirinya.
Acap pula kita dengar tersangka kemudian melarikan diri dengan alasan yang dilogis-logiskan, terutama mendeskriditkan lembaga antirasuwah sebagai lembaga plat merah yang syarat kepentingan politik dari orang-orang yang ingin mengalahkan lawan-lawan politiknya.
Di era ketika pesan bisa digelembungkan melalui media sosial, dan ketika para pekerja media bisa dipengaruhi untuk menurunkan berita bohong (fucknews), tidak sedikit publik yang percaya dengan hoaks, lalu melakukan pembelaan terhadap si tersangka dan ikut-ikutan membesarbesarkan hal-hal yang berbau spekulasi sebagai fakta hukum.
Pembelaan mereka sering dilakukan secara terang-terangan, menggelar aksi di hadapan publik demi mendapatkan uang recehan, dan menyebarkan ragam fakta baru yang bertujuan mendeskriditkan para penegak hukum di negeri ini.
Reaksi-reaksi yang luar biasa dari publik mempengaruhi pendapat umum, menyita konsentrasi banyak kalangan yang justru menyebabkan persoalan hukum terkait korupsi luput dari pengawasan. Dan, tiba-tiba saja Joko S. Tjandra, tersangka kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang buron sejak 2009, sudah divonis dua tahun atas kejahatan yang dilakukannya.
Dua tahun itu waktu yang singkat, jauh lebih lama waktu yang dihabiskannya untuk melarikan diri, padahal kasus hukum yang dilakukannya bertumpuk. Ia telah menyuap para elite di kejaksaan dan kepolisian agar bisa melarikan diri, dan tindakannya menjadi preseden buruk yang merusak citra dua lembaga penegakan hukum itu.
Ia layak mendapat ganjaran hukum yang lebih, karena laki-laki pengusaha yang “dikabarkan telah ganti kewarganegaraan” hanya agar bebas dari segala tuntutan hukum di negeri ini, piawai meruntuhkan pencapaian reformasi Polri yang dibangga-banggakan selama ini.
Meskipun begitu, ternyata vonis Djoko S Tjandra lebih rendah dibandingkan vonis yang diganjarkan terhadap elite di Korps Bhayangkara. Salah seeorang jenderal polisi yang menerima suap Djoko S. Tjandra divonis tiga tahun penjara dan diberhentikan dari kesatuannya.
Kita tak tahu bagaimana logika hukum ditegakkan di negeri ini. Mereka yang terlibat kasus merugikan negara (bukan saja soal uang, tetapi rasa nasionalisme sebagai warga bangsa dan merusak citra lembaga-lembaga negara), hanya divonis dua tahun penjara.
Kita pun tak bisa memahamkan kenapa masih saja ada aparat penegak hukum, baik di kepolisian maupun di kejaksaan, yang mau menyalahgunakan jabatannya.
Kasus Djoko S. Tjandra atau kasus korupsi secara keseluruhan di negeri ini, bukanlah soal penegakan hukum belaka, tetapi merupakan perkara martabat manusia. Siapa pun yang menjadi tersangka korupsi selalu akan resisten menolak tuduhan itu karena merasa korupsi telah menjadi kebiasaan yang dianggap tidak melanggar apapun.
Dengan kata lain, pelaku korupsi beranggapan semua orang (berpotensi) melakukan korupsi, dan ia juga menyaksikan bahwa korupsi telah menjadi “jalan termudah” untuk mendapatkan kesuksesan dalam kehidupan.
Jalan yang ditempuh semua orang yang punya akses terhadap sumber-sumber kekuasaan, sehingga siapa saja yang tertangkap korupsi dinilai sebagai “orang bodoh”. Disebut bodoh karena ia tertangkap korupsi sementara orang lain tetap korupsi tetapi tidak tertangkap.
Pandangan seperti ini menyesatkan, menegaskan bahwa korupsi di negeri ini adalah persoalan martabat manusia. Kita tahu, martabat manusia merupakan nilai utama dari seorang manusia, yakni sesuatu yang sudah selalu tertanam di dalam dirinya.
Dalam pemikiran Plato, martabat setiap manusia terletak pada jiwanya, yakni unsur yang mengatur tubuh setiap orang, dan mencoba membimbing orang itu untuk mencapai keutamaan jiwa yang sejati.
Dalam kitab suci disebut manusia merupakan cerminan langsung dari citra Allah. Manusia sebagai ciptaaan Yangmaha Sempurna, sesungguhnya mahluk sempurna. Allah membuat manusia sesuai dengan citra-Nya sendiri.
Maka dari itu, manusia itu luhur dan lebih tinggi statusnya sebagai mahluk hidup dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya. Setiap orang memiliki martabat yang luhur, karena setiap orang merupakan cerminan langsung dari Tuhan itu sendiri.
Sebagai mahluk sempurna yang diciptakaan oleh Yang Mahasempurna, kesempurnaan manusia terletak pada akal budi. Dengan akan budinya, manusia mampu memahamkan sekaligus menguasai alam dengan kekuatan dirinya.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk nyata dari kemampuan akal budi, manusia membuat alam tunduk untuk melayani kepentingan-kepentingan manusia itu sendiri.
Di dalam pandangan filsafat Timur (Indonesia), misalnya dalam pandangan filsafat adat Dalihan Na Tolu milik masyarakat Batak, manusia dilihat sebagai elemen kecil dari alam yang besar dan agung, sehingga manusia harus membangun sebuah sistem yang menegaskan keberadaannya di alam semesta ini.
Di dalam sistem yang disebut Dalihan Na Tolu, manusia terdiri dari tiga unsur (mora, kahanggi, dan anak boru), yang masing-masing berdiri sejajar dengan ratusan juta mahluk hidup lainnya di jagad semesta, dan ketiganya mesti menjadi satu kesatuan yang tak tergoyahkan.
Martabat manusia Batak dilihat dari peran setiap orang yang ia ambil untuk merawat dan mengembangkan alam yang ada, baik alam natural maupun alam sosial (masyarakat dan organisasi).
Setiap manusia Batak mempunyai peran yang sama-sama penting, dan peran tersebut akan berubah pada situasi-situasi tertentu, namun hakikatnya tetap untuk menjaga kebersamaan dan merawat alam semesta.
Citra diri (self-image) manusia Batak begitu sederhana, tetapi memiliki dampak yang amat luas. Manusia Batak selalu memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan melihat dirinya sebagai orang yang penting bagi orang lain, dan ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak oleh orang lain karena ia yakin masyarakatnya akan mendukungnya. Ia tidak akan diam saja dan menerima keadaaan ketika ia mengalami ketidakadilan.
Manusia Batak memiliki citra diri yang tidak menuntut untuk dihargai oleh orang sekitarnya karena hukum dan aturan adat telah menetapkan posisinya yang sesungguhnya. Manusia Batak memiliki posisi yang jelas dan tegas dalam lingkungan masyarakatnya, dan posisi itu berubah-ubah dalam situasi dan kondisi tertentu, dan perubahan serupa diterima dalam lingkungannya sebagai bagian dari adat istiadat.
Namun, martabat manusia Indonesia yang khas berdasarkan nilai-nilai tradisi yang menghidupinya seperti manusia Batak, tak sanggup melawan penjajahan budaya dan penjajahan cara berpikir yang sedang berlangsung saat ini. Kedua jenis penjajahan ini melanggengkan ketidakadilan yang tengah terjadi sekarang. Orang-orang kaya semakin kaya di atas penderitaan dan ketidakadilan yang dialami orang lainnya.
Ketika pikiran telah dijajah, maka tubuh dan segala bagian lahiriah manusia juga akan ikut terjajah, sekaligus kehilangan martabatnya sebagai mahluk yang berharga. Situasi yang buruk inilah yang sedang terjadi di negeri kita, dan banyak orang ikut menikmatinya.
Mereka yang menikmati situasi inilah yang selalu resisten bila dirinya tertangkap sebagai koruptor. Kita jarang bertemu tersangka korupsi yang berani mengakui khilaf dan telah melakukan korupsi, dan memutuskan mengembalikan kerugian negara sebesar yang dikorupsi, dan dengan sadar mengundurkan diri dari jabatannya tanpa harus dipaksa agar mengundurkan diri.(*)
Disiarkan di Piramida.id (https://www.piramida.id/resistensi-para-koruptor/)
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda