Sejak dekade 1980-an, Kelurahan Hutasuhut di Kecamatan Sipirok,
Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara—sekitar 12 jam perjalanan dari Kota
Medan ke arah Selatan-- dikenal luas sebagai sentra industri kerajinan. Dari kelurahan yang berpenduduk sekitar 600
keluarga ini, muncul ragam komoditas berbahan baku manik-manik dan olahan kain
(ulos) Batak serta kain tenun Sipirok.
Bekerja dan berpenghasilan sebagai pengrajin
menjadi kegiatan yang dilakukan kaum perempuan, anak-anak gadis dan ibu-ibu rumah tangga. Sebagian
besar kaum laki-laki bekerja sebagai petani penggarap sawah dan berkebun
tanaman keras. Jadi, dalam satu rumah
tangga, suami, istri, dan anak-anak berpenghasilan. Ragam produk kerajinan yang
merupakan industri rumah tangga (home industry) diproduksi, tapi usaha yang dilakoni selama bertahun-tahun
ini tak kunjung mampu melepaskan mereka dari jerat kemiskinan. Mereka belum bisa menjadi pengusaha yang
mandiri.
Sebagaimana kendala industry kerajinan yang
sifatnya kegiatan rumah tangga,
persoalan yang dihadapi para pelaku industry kerajinan di Kelurahan
Hutasuhut sangat konpleks. Selain factor minimnya modal kerja dan kesulitan
mengakses modal di sektor perbankan, tingkat
pengetahuan mereka tentang industry kerajinan masih tradisional. Pengetahuan dan
keterampilan yang mereka miliki berdasarkan apa yang diterima karena diwariskan
secara turun-temurun oleh para orang tua sejak 1980-an.
Selain itu, keberadaan pemerintah daerah acap
tak memberi dukungan memadai akibat kualitas sumber daya manusia (SDM) dari
petugas-petugas dinas/instansi terkait tak punya kompetensi guna melakukan
perberdayaan industry kerajinan skala rumah tangga tersebut. Sebagian besar petugas dinas/instansi terkait
yang datang ke Kelurahan Hutasuhut lebih banyak didorong oleh kepentingan
pencitraan dinas/instansi terkait tersebut.
“Pemerintah daerah baru mengunjungi para
perajin kalau ada event pameran hasil
kerajinan. Kedatangan mereka cuma untuk meminjam pakai barang-barang guna
mengisi stand-stand pameran milik dinas/instansi,” kata Nurhayati (60),
pengrajin di Kelurahan Hutasuhut yang juga Ketua Koperasi Industri Kerajinan
Rakyat (Kopinkra) Bersama Kecamatan Sipirok, akhir Januari 2013 lalu.
Barang-barang hasil karya para perajin itu kemudian diklaim
pihak dinas/instansi terkait sebagai hasil karya pengrajin binaan mereka. “Boro-boro
membina pengrajin. Dinas dan instansi terkait malah menyengsarakan pengrajin.
Mereka membawa hasil karya kami dan dipamerkan di stand pameran, tapi kemudian
dikembalikan dengan alasan tidak ada yang laku. Bagaimana bisa laku, harga
barang kerajinan yang seharusnya Rp5000 per picis, mereka bandrol dengan harga
Rp15.000 per picis supaya punya keuntungan besar,” katanya.
Lantaran alasan itu, banyak pengrajin yang
menolak meminjamkan hasil produksi mereka bila ada event pameran kerajinan di berbagai daerah. Di luar kegiatan-kegiatan event pameran, tak pernah ada petugas dari dinas/instansi
yang mendatangi pengrajin. “Inilah kendala yang kami hadapi, makanya kami
bangun koperasi pengrajin agar seluruh pengrajin bisa saling memberdayakan dan
tidak perlu tergantung terhadap pemerintah,” kata Nurhayati.
Sapi Perah Pemerintah Daerah
Nurhayati hanya pengrajin tradisional yang melakoni
pekerjaannya sebagai kegiatan sehari-hari. Pengrajin yang telah mengupayakan ragam jenis
produk sebagai pengembangan hasil-hasil kerajinan manik-manik, ulos Batak, dan
kain tenun Sipirok itu, hanya satu contoh dari sekian banyak pengrajin di
negeri ini yang belum bisa memanfaatkan momentum pengembangan industry kreatif
yang sedang digalakkan pemerintah.
Untuk itu, para pengrajin membutuhkan kehadiran
semacam fasilitator yang bisa mensinkronisasikan antara kegiatan usaha industry
kreatif yang mereka lakonoi dengan kebijakan pemerintah dalam memberdayakan ekonomi
kreatif untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional. Keluarnya Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang
Pengembangan Ekonomi Kreatif, sebetulnya sebuah perintah dari Kepala Negara
terhadap jajarannya.
Di dalam teks Impres No.6 Tahun 2009 itu
dirinci, Presiden mengintruksikan kepada 23 kementerian, 4 badan dan lembaga pemerintah,
dan seluruh gubernur, bupati/walikota agar mendukung kebijakan pengembangan
ekonomi kreatif tahun 2009-2015 yang mencakup 14 subsektor industri kreatif.
Bentuk dukungan itu berupa “pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas,
keterimpilan, dan b a h t
individu untuk menciptakan daya kreasi
dan daya cipta individu yang
bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.”
Pengembangan ekonomi kreatif itu diarahkan pada pemberdayaan yang berbasis
local dengan perspektif mempertahankan identitas kreasi lokal dalam konteks
kemajuan tehnologi dan globalisasi. Idustri yang didata pemerintah meliputi : periklanan,
arsitektur, pasar seni dan barang izntik, keraj
inan, desain, fashion (mode), film, video, dan fotogra.fi, pernainan interaktif,
music, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan
piranti lunak, radio dan televise, dan riset dan pengembangan.
Namun, para pengrajin yang ada di Kelurahan
Hutasuhut hingga kini belum tentang Inpres No.6 Tahun 2009 tersebut, konon lagi
mengerti program dari Pemda Tapanuli
Selatan untuk melaksanakan Inpres tersebut. Artinya, tidak ada rencana aksi pengembangan
ekonomi kreatif sebagai tindak lanjut instruksi Presiden selaku Kepala Negara,
sehingga pada tingkat defenisi ekonomi kreatif saja para pengrajin tidak bisa
memahami.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Tapanuli
Selatan, Soafiyah Syahrul M Pasaribu, seusai acara Pelatihan Penenun ATBM Kain Sipirok yang digelar Kopinkra Bersama Kecamatan Sipirok bekerjasama dengan
yayasan Sahata Hita dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Tapanuli
Selatan, di Balai Kecamatan Sipirok, Kelurahan Pasar Sipirok, Tapsel, pada 1 Oktober 2012, tak secara langsung menjawab perihal rencana
aksi Pemda tapsel terkait Impres No.6 tahun 2009.
Dia menjelaskan, Pemda Tapsel bersama Dekranasda Tapsel mengupayakan
produk industri kerajinan rakyat Kecamatan Sipirok memiliki pasar yang jelas. “Salah satu upayanya, menjadikan kain tenun (Alat
Tenun Bukan Mesin) ATBM Sipirok jadi ikon (ciri khas) kain tradisional Tapsel,” katanya.
Ditambahkannya, Bupati Tapsel
telah menetapkan “sehari wajib berpakaian kain tenun Sipirok” bagi PNS di
jajaran Pemda Tapsel. Ini juga upaya memperluas pasar kain tenun Sipirok. Pemda
Tapsel juga sedang menjajaki agar kain tenun Sipirok menjadi seragam di
instansi BUMD di Sumatra Utara.
Namun, Nurhayati dan sejumlah pengrajin di Kelurahan Hutasuhut
mengatakan, apa yang diungkapkan oleh Ketua Dekranasda Tapsel itu tidak sesuai
kenyataan. Keberadaan Dekranasda Tapsel justru membuat citra industry kerajinan
menjadi buruk. “Dekranasda meminta barang dari pengrajin dan dijual di show
room milik Dekranasda tapsel. Tapi, Dekranasda Tapsel baru membayar setelah
barang laku, itu pun bisa sampai enam bulan. Padahal pengrajin butuh modal
kerja,” kata Nurhayati.
Menurut Nurhayati, Dekranada Tapsel itu menjadi lembaga pemerintah yang
dikelola oleh pemerintah untuk menekan pengrajin. “Kehadiran Dekranasda
memperburuk iklim usaha yang ada,” katanya.
Hal senada diucapkan Masniari, juga pengarajin pemilik show room di
Pasar Sipirok. “Saya tidak mau mengirim
barang hasil kerajinan ke Dekranasda Tapsel. Harga yang dibuat Deskranasda
Tapsel untuk satu produk sangat mahal. Misalnya, harga yang dijual ke pembeli sebesar
Rp500.000 per picis kain tenun, padahal dari pengrajin Rp250.000 per picis. Dalam
kwitansi ditulis Rp250.000 yang diterima pengrajin, kenyataan yang sampai tidak
lebih Rp200.000 dengan alasan dipotong keuntungan untuk Dekranasda Tapsel,”
katanya.
Pengrajin sukar sejahtera karena selalu menjadi
sapi perah pemerintah daerah. Sebab itu,
tindak lanjut dari Inpres No.6 Tahun 2009 tak aka nada realisasinya disebabkan
banyak factor, terutama terkait kesiapan dinas/instansi pemerintah daerah.
Ekonomi kreatif
Ragam persoalan yang dihadapi pengrajin di Kelurahan
Hutasuhut itu memperparah kondisi kesejahteraan para pengrajin. Padahal, industry
kerajinan tangan yang dikerjakan sejak 1980-an itu potensi untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Untuk itu, pertama-tama pengrajin harus tahu dan
meyakini bahwa indutri kerajinan yang mereka tekuni merupakan keunggulan bagi daerahnya
sehingga mereka menjadi focus untuk memikirkan bagaimana mengatasi persoalan
yang dihadapi. Persoalan yang dihadapi pengarajin terkait pada pengembangan
teknologi, standar produk, prosedur yang
jelas, perlindungan karya cipta, pembiayaan, informasi, pengelolaan.
Karena berkaitan dengan produk kreatif, aspek-aspek tadi mempunyai karakteristiknya
sendiri. Produk kreatif adalah produk yang nilainya terletak gagasan baru.
Sebagai contoh, pencatatan hak cipta harus lebih sederhana, cepat dan murah,
khususunya jika para pelaku berada pada katagori industri kecil dan menengah.
Bagian yang tersulit adalah mengatasi hambatan
dari logika birokrasi. Birokrasi mensyaratkan kepastian, sedangkan industri
kreatif masuk wilayah gagasan baru. Hal ini sering menimbulkan perbenturan
dengan birokrasi dimana birokrat tidak berani
ikut menanggung risiko jika harus memfasilitasi atau memberikan izin.
Perbenturan antara birokrasi dengan pelaku industri kreatif semakin kerap
terjadi jika jenis industri kreatif semakin memerlukan campur tangan negara.
“Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang
mempermudah para pengrajin mengembangkan ekonomi kreatif. Salah satunya pada
aspek akses pengrajin terhadap inovasi dan diffuse selain terhadap modal,” kata
Nurhayati.
Dengan ditetapkannya industri kreatif telah
ditetapkan sebagai salah satu tiang pembangunan ekonomi, maka Pemda Tapsel wajib
membuat rencana aksi membantu pengembangan industri kreatif. Panduan bagi
pemerintah daerah sudah banyak seperti seri studi dan rancangan strategis yang
dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan telah memuat cetak biru yang cukup
lengkap. Bahkan telah dihasilkan berbagai aspek terkait yang harus dikembangkan
menurut per bidang.
Sebagai contoh, industri kreatif di Kelurahan
Hutasuhut membutuhkan ruang publik yang banyak dan dinamis. Kreatifitas
ditunjang oleh apa yang terjadi di ruang publik. Pemda Tapsel sudah memiliki asset berupa
bangunan yang dipersiapkan sebagai show room untuk hasil kerajinan seperti yang
ada di Desa Baringin. Tapi, pemrintah daerah tak kunjung memanfaatkan gedung
yang dibangun dengan dana APBD Tapsel itu. “Gedung untuk show room hasil kerajinan itu
malah dialihfungsikan,” kata Nurhayati.
Sebagai aset pemerintah
daerah, alat-alat produksi itu mesti diberdayaka, difungsikan, dan diefektifkan
sehingga investasi yang terlanjur dikeluarkan bisa bermanfaat untuk
kemaslahatan public. Setidaknya, hasil investasi itu bisa memberi kontribusi
yang bagus terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), satu sumber
terpenting dari pembiayaah program-program pembangunan daerah. Pada akhirnya, dinamika pembangunan daerah
akan sukses mewujudkan cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya Kreatif
Berbagai kendala yang dihadapi para pengrajin di Kelurahan Hutasuhut mendorong sejumlah generasi muda asal Kecamatan Sipirok tergerak membantu mencarikan solusi. Para perajin yang mengandalkan kreativitasnya dalam menciptakan karya-karya kreasi sebagai mata pencaharian, bukan saja membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. Tapi, juga membutuhkan pengetahuan berupa inovasi atas karya-karyanya menjadi produk yang lebih diminati pasar.
Sekelompok pemuda pelajar asal Kecamatan Sipirok, yang kemudian membentuk sebuah wadah bernama Yayasan Sahata Hita, yang bergerak di bidang pemberdayaan publik di bidang sosial ekonomi, kemudian memberikan ragam pelatihan kepada para pengrajin di bidang peningkatan kualitas produksi, inovasi produksi, pemasaran, manajemen, dan permodalan.
Ketua Yayasan Sahata Hita, Muhammad Yunus, pemuda asal Kelurahan Hutasuhut yang juga alumni Institute Teknologi Bandung (ITB), mengatakan masyarakat pengrajin pertama-tama membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang apa yang dimaksudkan pemerintah dengan program ekonomi kreatif. "Untuk menambah pengetahuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas publik, sejumlah pengrajin diberi pelatihan dan pemahaman tentang ekonomi kreatif," kata Muhammad Yunus.
Selain pemahaman tentang ekonomi kreatif, kata dia, para pengrajin juga dipersiapkan menjadi pelaku usaha ekonomi kreatif yang kelas bakal mandiri. Untuk itu, mereka diperkenalkan terhadap berbagai persoalan menyangkut pengembangan sektor ekonomi termasuk membuka akses mereka dengan pihak perbankan.
"Akses para pengrajin terhadap modal berupa pinjaman dari sektor perbankan memang lemah selama ini. Tapi, hal itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, tidak pihak yang mau menjembatani terbinanya komunikasi antara pengrajin dengan perbankan," kata Muhammad Yunus.
Untuk itu, Yayasan Sahata Hita mencoba menjembatani pengrajin dengan Bank Syariah Mandiri, bank yang baru buka kantor cabang pembantu di Kecamatan Sipirok. Dalam pertemuan dengan manajemen Bank Syariah Mandiri KCP Sipirok, Yayasan Sahata Hita atas nama Koperasi Industri Kerajianan Rakyat (Kopinkra) Bersama Kecamatan Sipirok menjajaki kemungkinan bagi Bank Syariah Mandiri untuk menggelontorkan modal kerja buat pengrajin di Kelurahan Hutasuhut dengan model kolektif dimana Yayasan Sahata Hita bertindak sebagai avalis.
"Segala tanggung jawab atas pencicilan kredit bank menjadi beban yayasan. Pihak bank tinggal berhubungan dengan yayasan," kata Muhammad Yunus.
Kontrak kerja sama yayasan itu diharapkan dapat mengatasi masalah modal yang dihadapi para pengrajin, sehingga berbagai upaya untuk mengembangkan industry kerajinan skala rumah tangga itu bisa lebih diberdayakan. Salah satu point kontrak perjanjian mengharuskan agar seluruh anggota Kopinkra Bersama Kecamatan Sipirok menjadi nasabah Bank Syariah Mandiri dengan membuka rekening tabungan perorangan dan rekening tabungan untuk institusi koperasi. "Kami berharap para pengrajin jangan terlalu tergantung kepada pemerintah daerah, tapi sejak awal berusaha untuk bekerja mandiri," kata Muhammad Yunus.
"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.iddalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. “