Puan Kecubung:
Buku yang Tak Menghargai Pembaca
BARU-BARU ini Jimmy Maruli Alfian meluncurkan buku pertamanya, Puan Kecubung (2009). Diterbitkan Penerbit KataKita, buku setebal 100 halaman ini berisi 49 judul puisi. Semua puisi pernah dipublikasikan di Lampung Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan lain sebagainya. Banyak juga yang sudah muncul dalam sejumlah buku puisi antologi bersama para penyair lain.
Karena itu, penerbitan buku ini bisa diartikan sebagai ”upaya sengaja untuk tak menghargai hak pembaca”.
***
KITA tahu, pembaca puisi sebagian besar kalangan sastrawan. ”Rumah tangga sastra kita,” tulis Goenawan Mohamad, ”dunia sebagian kecil masyarakat Indonesia.” Paling minim, mereka yang membaca puisi adalah kalangan yang memiliki ketertarikan atas dunia puisi. Pembaca semacam ini, pastilah mengikuti dinamika kesusastraan di negeri ini, yang geliatnya banyak ditopang sastra koran. Artinya, mereka tak asing dengan karya sastra yang muncul pertama sekali dalam koran, pasti pula tidak asing dengan puisi-puisi yang ditulis Jimmy Maruli Alfian.
Sebagai penyair, nama Jimmy Maruli Alfian identik dengan Lampung. Menyebut konstalasi kepenyairan Lampung tanpa mengungkit namanya, merupakan upaya sengaja untuk mengaburkan sejarah sastra di provinsi ini. Sebab, Jimmy bagian dari sejarah sastra Lampung yang belakangan menampakkan kilapannya di seluruh wilayah Nusantara. Puisi Jimmy Maruli Alfian memiliki tempat sendiri di hati masyarakat puisi di negeri ini. ”Aku penyelaman yang bahagia di kedalaman puisi-puisi Jimmy,” kata Dorothea Rosa Herliany, ”aku pulang, dan selalu ingin kembali menyelam.”
Sebab itu, sebagai karya puisi, buku Puan Kecubung adalah kumpulan puisi berkualitas. Tapi, ketika puisi berkualitas itu menjadi buku, standar kulitas yang menyertainya pun bertambah. Indikator kulitas bukan lagi semata pada teks puisi, tetapi buku sebagai produk industri perbukuan.
***
SEHARUSNYA buku Jimmy Maruli Alfian ini muncul lima tahun lalu. Sayangnya, kualitas puisi-puisi Jimmy Maruli Alfian tidak mampu membongkar paradigma bisnis yang menyukupi dunia industri perbukuan di negeri ini. Puisi Jimmy Maruli Alfian, sebagaimana juga puisi yang ditulis penyair sebelumnya, bukanlah teks yang dapat membawa keuntungan bisnis bagi pelaku industri penerbitan buku.
Tak ada buku puisi yang membuat penerbit buku menjadi untung. Buku puisi diterbitkan para pelaku penerbitan buku semata sebagai proyek ideal; agar terjadi sosialiasi puisi di lingkungan masyarakat pembaca. Kalau tidak, pastilah karena ada bisnis di sana, dimana penyair bersedia mengeluarkan dana untuk mendukung penerbitan buku puisinya.
Kondisi semacam ini telah berlangsung lama di negeri ini. Penerbitan buku puisi banyak didorong oleh keinginan para penyair untuk memiliki buku sendiri. Bukan lantaran para pengelola bisnis penerbitan buku melihat peluang bisnis dari buku-buku puisi, sehingga mereka punya inisiatif untuk meminta para penyair menulis sekumpulan puisi guna diterbitkan menjadi buku.
Tapi, hal itu bukan soal. Siapa yang punya inisiatif pertama sekali untuk menerbitkan buku puisi, bukanlah ahwal yang penting dipermasalahkan. Namun, menjadi sangat penting ketika buku puisi itu ternyata berisi puisi-puisi lama yang sebelumnya sudah pernah dibaca masyarakat.
Kecuali Pengakuan Pariyem, bisa dikatakan hampir tidak ada buku kumpulan puisi yang berisi karya baru. Baru dalam pengertian, masyarakat pembaca belum pernah menikmati puisi-puisi itu sebelumnya. Ketika seseoranmg membeli buku puisi, maka keputusan itu berarti keputusan pertama untuk membaca karya tersebut.
Puan Kecubung seperti buku puisi lainnya. Seluruh isinya sudah pernah dipublikasikan. Karena itu, penyair yang menerbitkan buku lebih tampak sebagai sosok yang tidak yakin dengan kepenyairannya. Ia masih membutuhkan mempublikasikan ulang puisi-puisinya kepada publik pembaca.
***
PILIHAN Jimmy Maruli Alfian menerbitkan ulang puisi-puisinya bukan tanpa resiko. Tapi, inilah tradisi dalam penerbitan buku puisi di negeri ini. Puisi lama yang muncul dalam khazanah sastra koran selalu diterbitkan menjadi buku puisi. Sastra koran seolah-olah merupakan medium awal bagi penyair untuk mengasah kepenyairan, lalu menjadi benar-benar penyair kalau sudah memiliki sebuah buku.
Resiko dari tradisi semacam ini, publik menjadi kurang menyukai buku puisi. Publik paham betul, buku puisi yang muncul di negeri ini merupakan ”penerbitan ulang puisi-puisi lama”. Tidak ada yang baru. Lantas, untuk apa membelinya karena sudah pernah dibaca sebelumnya. Dampaknya, buku puisi tak pernah membawa keuntungan bisnis.
Bandingkan dengan buku puisi terjemahan, yang ditulis para penyairnya untuk khazanah sastra buku. Karya-karya Khalil Gibran bisa kita kedepankan. Sebelum menjadi buku, masyarakat pembaca tidak pernah menemukan puisi-puisi Gibran. Ketika menjadi buku, barulah masyarakat bisa membacanya.
Sebab itu, para sastrawan mestinya bisa menjawab sendiri kenapa minat para pelaku penerbitan buku sangat rendah untuk menerbitkan buku kumpulan puisi. Sebab, para penyair tidak pernah berusaha menulis puisi yang dipersiapkan khusus untuk khazanah sastra buku. Para penyair kita adalah individu yang menganggap publik akan menunggu bentuk buku dari karya-karyanya.
Anggapan yang keliru ini semestinya ditinggalkan. Di era komputerisasi saat ini, dimana zaman telah menuncul dalam bentuk jejaring, puisi bisa ditemukan dengan mudah lewat teknologi internet. Seluruh puisi dalam Puan Kecubung, bisa diunduh di internet. Para penggemar puisi, bisa mengoleksinya sesuka hati tanpa harus membeli buku puisi ini.
***
TIDAK jelas kenapa tradisi penerbitan buku sastra di negeri ini selalu merupakan penerbitan kembali karya-karya lama?
Bukan cuma puisi, penerbitan buku cerpen pun sering merupakan penerbitan kembali cerpen-cerpen lama. Hampir tidak ada buku cerpen yang isinya ditulis khusus untuk diterbitkan menjadi buku seperti Orang-Orang Bloomington, misalnya. Begitu juga dengan buku esai sastra, rata-rata penerbitan ulang karya-karya yang pernah dipublikasikan dalam khazanah sastra koran.
Mungkin, para sastrawan menganggap karya-karya mereka terlalu bagus dan sayang jika tidak dijadikan buku. Tapi, anggapan ini berlebihan dan lebih banyak membawa mudarat terhadap dunia kreativitas berkarya. Para sastrawan akan pusing mencari penerbit buku sastra, lalu mengabaikan kreativitas penciptaan. Kenapa tidak berpikir sejak awal untuk menulis buku sastra, sehingga tidak terlalu pusing memikirkan masalah sosialisasi karya dalam khazanah sastra koran.
***
JIKA seorang sastrawan merencanakan membuat karya yang dipersiapkan untuk menjadi buku, upaya itu sekaligus sebagai sebuah penghargaan atas posisi pembaca. Bagaimana pun pembaca dalam dunia buku memiliki posisi yang sama dengan pembaca dalam dunia koran. Mereka sama-sama menginginkan informasi terbaru dari bahan bacaannya.
Keputusan pembaca untuk membeli buku, pertama-tama didasari oleh keinginan mendapatkan informasi terbaru dari buku yang dibelinya.
Artinya, dunia penerbitan buku di negeri ini telah mengalami pergeseran krusial. Jika beberapa tahun lalu sebuah buku diterbitkan lebih karena faktor ”mengandung hal-hal baru yang perlu diketahui pembaca”, tetapi kadar kebaruannya sangat rendah. Sebuah buku dianggap baru jika tidak pernah sebelumnya dibaca masyarakat, meskipun tema dari buku ini membahas persoalan-persoalan lama yang lebih menunjukkan sebagai karya refleksi. Kebaruan dalam buku lebih karena faktor masyarakat belum tahu.
Dalam perkembangan belakangan, didukung oleh kemajuan teknologi informatika yang begitu pesat, masyarakat pembaca bisa mengetahui buku terbaru dari serial Harry Potter dalam waktu hampir bersamaan dengan apa yang diketahui oleh masyarakat di Inggris. Penyebabnya, masyarakat pembaca di Indonesia tidak ingin ketinggalan informasi tentang tokoh dalam serial Harry Potter tersebut, lalu berupaya untuk mencari informasi terbaru dari serial itu.
Sebab itu, kadar kebaruan dalam dunia perbukuan bergeser dan sejajar dengan kebaruan dalam dunia perbitan media (pers). Buku-buku Harry Potter edisi lama, tidak akan diminati lagi oleh pembaca. Minat mereka akan lebih ditujukan terhadap buku terbaru, dan tidak mau kalah dengan penggemar Harry Potter lainnya di negeri lain.
Artinya, para pelaku dunia penerbitan buku berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pembaca tersebut. Harapan pembaca untuk bisa mendapatkan informasi paling baru tentang sebuah peristiwa, secara perlahan-lahan dipenuhi oleh para pelaku penerbitan buku dengan menyajikan buku-buku yang memiliki kadar kebaruan tinggi. Itu sebabnya, ketika Barack Obamma sibuk berkampanye menjadi Presiden Amerika, di Indonesia bermunculan buku-buku yang mengupas riwayat hidup tokoh sentral tersebut.
Kebaruan atau aktualitas dalam dunia penerbitan buku telah mengalahkan aktualitas dalam dunia penerbitan media (pers). Bahkan, buku mampu menyajikan informasi yang berkedalaman dan detail yang bahkan tidak pernah muncul dalam dunia penerbitan media (pers). Untuk itu, para pelaku dunia penerbitan buku acap mencari penulis-penulis buku yang memiliki energi lebih untuk menyajikan informasi terbaru yang belum pernah disajikan dunia media (pers).
***
DALAM dunia penerbitan buku yang syarat akan aktualitas itu, kita bisa menertawakan buku-buku yang berisi penerbitan ulang karya lama seperti Puan Kecubung, juga buku-buku sastra yang muncul di negeri ini. Sebab itu, sudah seharusnya para sastrawan mulai memikirkan menulis untuk kapasitas buku sastra. Jika tradisi ini yang dilakoni, maka rumah tangga sastra kita akan menjadi rumah tangga seluruh warga Indonesia. Posisi buku di negeri ini akan sama seperti posisi serial Harry Potter, sudah terjual sebelum diterbitkan.
Intinya, penulis buku harus menghargai pembaca. Semoga!
4 #type=(blogger)
Pemikiran yang menarik. Tetapi sebagai masyarakat awam, kecenderungan masyarakat tidak tertarik adalah karena kerancuan makna puisi yang dibuat rumit sehingga membuat enggan untuk menikmatinya.
ReplyDeleteKalau untuk menikmatinya harus mengalami beban pikiran, maka sudah pantaslah buku puisi cenderung dihindari. Kalau mau buat buku puisi buatlah yang menggelitik otak, bukan membebaninya. dan mulailah meramunya dalam bentuk yang berbeda, seperti Recto Verso Dewi Lestari yang saya anggap cukup memikat.
Wah, menarik sekali. Mari kita Mengembalikan Jati Diri Bangsa dengan sastra, tentu dengan Kerja Keras Adalah Energi Kita yang mampu mengembalikan kejayaan Indonesia kembali. Saling menghargai adalah modal dasar yang harus kita lakukan setiap saat.
ReplyDeleteSalam kenal.
mantab..
ReplyDeleteterima kasih atas informasinya..
ReplyDeletesemoga dapat bermanfaat bagi kita semua :) Double cabin
Terima kasih atas pesan Anda