Di Papua, 7 Desember 2014, warga sipil bisa mati secara serentak tanpa ada wabah penyakit dan tak ada bencana alam. Empat orang tewas, 14 orang lainnya dalam kondisi kritis.
Kabar miris itu datang dari Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Warga tewas dan kritis setelah polisi memberondong mereka dengan senapan. Sulit membayangkan peristiwa penembakan rakyat sipil oleh polisi bisa terjadi di negeri yang adem-ayem ini. Lebih sulit lagi membayangkan alasan penembakan itu ternyata prosedur tetap (protap) yang harus dijalankan saat polisi terdesak dan berada dalam ancaman.
Tapi kenapa polisi sampai merasa terancam oleh rakyat?
Tak ada yang tahu persis, kecuali pengakuan warga Enaratoli, yang menyaksikan peristiwa itu. Tim penyidik Markas Besar Polri sudah ada di lokasi, tapi kinerja tim seperti ini sukar diharapkan akan berpihak pada mereka yang ditembaki. Pengalaman selama ini menyebut, tim Polri diturunkan untuk mengamankan institusi Polri dari segala bentuk perusakan citra dan pencemaran nama baik institusi. Tim ini tidak akan bekerja dari perspektif hukum (perundang-undangan).
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badroni Haiti, kepada media, mengatakan belum tentu senjata yang meletus itu milik anggota Korps Bhayangkara. Pernyataan yang disampaikan hanya didasari laporan anggota itu, tampak bagai membangun "garis api" agar institusi Polri tidak disalahkan.
Publik hanya tahu penembakan itu bermula dari teguran warga terhadap ulah polisi yang kurang menghormati tradisi beragama masyarakat di Papua. Ada polisi yang kabarnya "mengejek" tradisi beragama itu. Warga menegur namun ditanggapi dengan kasar dan penganiayaan. Tak terima perlakuan polisi, warga mendatangi markas polisi untuk menanyakan soal penganiayaan itu. Polisi tak menanggapi. Warga kemudian marah dan membakar mobil. Polisi merasa terancam. Secara psikologis, perasaan terancam cenderung mendorong seseorang untuk membela diri. Tindakan membela diri acap membabi-buta. Pola penembakan warga oleh polisi kentara sebagai tindakan membabi-buta.
Apa pun latar belakang peristiwa ini, penembakan rakyat merupakan sebuah pelecehan hak asasi manusia (HAM) yang layak dikecam. Karena itu, tim penyidik Mabes Polri harus diimbangi dengan hadirnya tim penyidik dari institusi lain, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pelakunya harus diganjar sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak sekadar sanksi disiplin yang mengabaikan rasa keadilan rakyat itu.
Jika kasus ini diselesaikan secara transparan, harapannya bisa mendorong polisi agar mulai membangun tradisi melihat persoalan rakyat dari sisi kemanusiaan, dan menampilkan diri sebagai polisi yang protagonis di hadapan rakyat. Polisi harus piawai berkomunikasi dan mulai membuang sosok antagonis saat berhadapan dengan rakyat. Rakyat menyukai polisi yang egoisme institusinya dibuang.
Sebagai aparatur yang berada di garis terdepan ketika berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar perundang-undangan, apalagi protap. Pahamilah hukum secara utuh dan benar sehingga pendekatan penyelesaiannya terhadap persoalan bersifat holistik. ●
|
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai bertaji. Setelah menggelandangkan seorang jenderal polisi yang masih aktif, Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, ke rumah tahanan, giliran seorang menteri, Andi Alfian Mallarangeng, jadi tersangka kasus fasilitas olahraga Hambalang.
Sudah lama publik mendambakan taji yang tajam dari KPK mengenai sasaran yang tepat. Tapi, baru kali ini taji itu mengenai sasaran dan langsung menggemparkan dua lembaga negara, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia serta Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, cukupkah hanya dua lembaga negara itu yang dibuat gempar?
Bukankah KPK punya peluang untuk lebih menggemparkan seandainya berani bersikap dalam kasus Bank Century. Karena Wakil Presiden Budiono terkait megaskandal yang menjadi perhatian publik itu, yang oleh Ketua KPK Abraham Samad malah digiring menjadi persoalan politik pemakzulan seorang Wakil Presiden?
Tentu saja tidak cukup. Meski begitu, untuk sementara upaya KPK layak kita apresiasi, terutama karena penahanan Irjend (Pol) Djoko Susilo dan Andi Alfian Mallaranggeng dilakukan jelang satu tahun Abraham Samad memimpin KPK. Itu berarti, Ketua KPK Abraham Samad yang dilantik Presiden Soesilo Bambang Yudoyono 16 Desember 2011 lalu, butuh waktu tak sampai setahun untuk menggulung elite yang korup.
Karena itu, penahanan Sang Jenderal dan penetapan Sang Menteri jadi tersangka menjadi semacam teriakan bahwa Abraham Samad memang sosok yang cocok untuk memimpin KPK. Tapi, tunggu dulu, simpul semacam ini terlalu cepat. Sebab, kinerja KPK selama setahun ini hanya bagus dalam soal menetapkan tersangka dan menahan tersangka. Tapi, kurang memuaskan publik dalam menyelesaikan perkara korupsi.
Cerita tentang Muhammad Nazaruddin, yang jadi tersangka dan dipenjara, masih belum jelas akhirnya. Drama penangkapan bekas bendahara Partai Demokrat itu mampu menjerat tersangka-tersangka lain, membuat megaskandal Wisma Atlet itu menjadi buah bibir publik. Bahkan, sejumlah pengamat meragukan kemampuan Abraham Samad mengungkap perkara yang terkait dengan pusaran kekuasaan ini, setidaknya mencari kebenaran atas keterlibatan sejumlah elite yang namanya disebut-sebut Nazaruddin.
Sebab itu, tidak berlebihan bila soal Sang Jenderal dan Sang Menteri ini tidak perlu dibesar-besarkan karena bukan kasus keduanya yang layak jadi indikator ketajaman taji KPK. Lain halnya jika KPK mampu mengungkapkan bahwa korupsi di lingkungan Mabes Polri berkaitan dengan realitas bahwa institusi Polri selaku penegak hukum sesungguhnya tak bersih dari korupsi. Apakah penyidikan dan penyelidikan KPK atas korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri mampu mengungkap motif yang sesungguhnya?
Pertanyaan ini berangkat dari asumsi umum bahwa Direktorat Lalu Lintas adalah stakeholderMabes Polri yang paling banyak menyumbang untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri. Terutama yang berasal dari pelayanan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010, Polri berhak mengelola 90 persen dari total dana PNPB yang diperolehnya, dan tinggal melaporkan penggunaannya untuk masuk dalam APBN.
Tapi, transparansi penggunaan dana PNBP tak terlalu jelas. Publik tidak pernah tahu soal dana PNBP ini, karena publik hanya paham bahwa Polri mendapat bagian dari APBN untuk kegiatan-kegiatan operasional dan gaji personelnya. Polri sendiri acap mengeluhkan, jatah APBN hanya bisa dibagi tak lebih 10 persen untuk kegiatan operasional. Artinya, Polri selalu kekurangan dana operasional.
Jika demikian, lantas dana PNBP itu dialokasikan ke mana? Publik tidak pernah paham soal itu. Pemerintah sendiri, melalui lembaga-lembaga audit negara, hampir tak pernah terdengar melakukan audit terkait penggunaan dana PNPB sebesar 90 persen setiap tahun. Padahal, total dana PNPB Polri sangat besar, mencapai triliunan rupiah tiap tahun. Untuk tahun 2012, Polri mengelola dana PNBP sebesar Rp3,4 triliun.
Lantaran transparansi itu tidak jelas, bukan mustahil Polri menggunakan dana itu untuk hal-hal yang tak terukur. Bisa jadi beberapa persen di antara dana PNBP itu dialokasikan untuk feepara pejabat di lingkungan Polri. Sebab itulah, Polri akan selau menempatkan SDM di lingkungan Direktorat Lalu Lintas sebagai sosok "pengumpul dana".
SDM yang mampu membuat target sumbangan PNBP meningkat setiap tahun, sekaligus juga memiliki kemampuan mengelola proyek-proyek di lingkungan Polri yang akan dibiayai dengan dana PNBP itu. Irjend (Pol) Djoko Susilo adalah perwira tinggi berprestasi, salah seorang "bintang" Akademi Polisi, sehingga menjadi sosok yang pantas untuk posisi Kepala Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri.
Tapi, kita tak tahu persis soal dana-dana yang dikumpulkan itu, KPK harus mampu mengungkapkannya dalam penyidikan dan penyelidikan dengan kasus korupsi mobil simulator SIM sebagai batu loncatannya. Jika KPK mampu mengungkap hal itu, mau tak mau kita harus memberi aplaus. Apalagi penahanan Sang Jenderal sudah kadung menjadi preseden buruk bahwa Polri telah gagal menjalankan agenda reformasi birokrasi Polri (RBP), yang kini sudah memasuki gelombang II. Gagal karena urusan internalnya: membersihkan institusi Polri dari keberadaan aparat yang korup, tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga KPK harus turun tangan.
Barangkali, KPK memang menilai Polri "masuk angin" dalam menyelesaikan kasus korupsi di lingkungan internalnya. Bila penilaian itu benar, sudah seharusnya KPK lebih intensif dalam menyelesaikan perkara korupsi di lingkungan Polri. Selama ini banyak kasus korupsi melibatkan petinggi Polri, karena transparansi penggunaan dana di lingkungan Polri nyaris tak pernah diperiksa.
BPK dan berbagai lembaga audit keuangan negara seakan-akan punya keengganan untuk mengaudit dana-dana Polri, terutama berkaitan dengan dana-dana pihak ketiga yang masuk ke dalam kas Polri untuk program-program tertentu seperti: pembangunan ragam fasilitas di lingkungan Polri.
Setahun Abraham Samad menjadi pemimpin KPK, mesti diakui bahwa prestasinya yang paling menonjol adalah "menelanjangi" institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang "masuk angin". Publik mendukung upaya KPK, karena baru KPK yang bisa diandalkan untuk memuaskan rasa benci publik terhadap ragam kemunafikan yang menjadi budaya dalam sistem manajemen pelayan di lingkungan Polri. n
Namun, cukupkah hanya dua lembaga negara itu yang dibuat gempar?
Bukankah KPK punya peluang untuk lebih menggemparkan seandainya berani bersikap dalam kasus Bank Century. Karena Wakil Presiden Budiono terkait megaskandal yang menjadi perhatian publik itu, yang oleh Ketua KPK Abraham Samad malah digiring menjadi persoalan politik pemakzulan seorang Wakil Presiden?
Tentu saja tidak cukup. Meski begitu, untuk sementara upaya KPK layak kita apresiasi, terutama karena penahanan Irjend (Pol) Djoko Susilo dan Andi Alfian Mallaranggeng dilakukan jelang satu tahun Abraham Samad memimpin KPK. Itu berarti, Ketua KPK Abraham Samad yang dilantik Presiden Soesilo Bambang Yudoyono 16 Desember 2011 lalu, butuh waktu tak sampai setahun untuk menggulung elite yang korup.
Karena itu, penahanan Sang Jenderal dan penetapan Sang Menteri jadi tersangka menjadi semacam teriakan bahwa Abraham Samad memang sosok yang cocok untuk memimpin KPK. Tapi, tunggu dulu, simpul semacam ini terlalu cepat. Sebab, kinerja KPK selama setahun ini hanya bagus dalam soal menetapkan tersangka dan menahan tersangka. Tapi, kurang memuaskan publik dalam menyelesaikan perkara korupsi.
Cerita tentang Muhammad Nazaruddin, yang jadi tersangka dan dipenjara, masih belum jelas akhirnya. Drama penangkapan bekas bendahara Partai Demokrat itu mampu menjerat tersangka-tersangka lain, membuat megaskandal Wisma Atlet itu menjadi buah bibir publik. Bahkan, sejumlah pengamat meragukan kemampuan Abraham Samad mengungkap perkara yang terkait dengan pusaran kekuasaan ini, setidaknya mencari kebenaran atas keterlibatan sejumlah elite yang namanya disebut-sebut Nazaruddin.
Sebab itu, tidak berlebihan bila soal Sang Jenderal dan Sang Menteri ini tidak perlu dibesar-besarkan karena bukan kasus keduanya yang layak jadi indikator ketajaman taji KPK. Lain halnya jika KPK mampu mengungkapkan bahwa korupsi di lingkungan Mabes Polri berkaitan dengan realitas bahwa institusi Polri selaku penegak hukum sesungguhnya tak bersih dari korupsi. Apakah penyidikan dan penyelidikan KPK atas korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri mampu mengungkap motif yang sesungguhnya?
Pertanyaan ini berangkat dari asumsi umum bahwa Direktorat Lalu Lintas adalah stakeholderMabes Polri yang paling banyak menyumbang untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri. Terutama yang berasal dari pelayanan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010, Polri berhak mengelola 90 persen dari total dana PNPB yang diperolehnya, dan tinggal melaporkan penggunaannya untuk masuk dalam APBN.
Tapi, transparansi penggunaan dana PNBP tak terlalu jelas. Publik tidak pernah tahu soal dana PNBP ini, karena publik hanya paham bahwa Polri mendapat bagian dari APBN untuk kegiatan-kegiatan operasional dan gaji personelnya. Polri sendiri acap mengeluhkan, jatah APBN hanya bisa dibagi tak lebih 10 persen untuk kegiatan operasional. Artinya, Polri selalu kekurangan dana operasional.
Jika demikian, lantas dana PNBP itu dialokasikan ke mana? Publik tidak pernah paham soal itu. Pemerintah sendiri, melalui lembaga-lembaga audit negara, hampir tak pernah terdengar melakukan audit terkait penggunaan dana PNPB sebesar 90 persen setiap tahun. Padahal, total dana PNPB Polri sangat besar, mencapai triliunan rupiah tiap tahun. Untuk tahun 2012, Polri mengelola dana PNBP sebesar Rp3,4 triliun.
Lantaran transparansi itu tidak jelas, bukan mustahil Polri menggunakan dana itu untuk hal-hal yang tak terukur. Bisa jadi beberapa persen di antara dana PNBP itu dialokasikan untuk feepara pejabat di lingkungan Polri. Sebab itulah, Polri akan selau menempatkan SDM di lingkungan Direktorat Lalu Lintas sebagai sosok "pengumpul dana".
SDM yang mampu membuat target sumbangan PNBP meningkat setiap tahun, sekaligus juga memiliki kemampuan mengelola proyek-proyek di lingkungan Polri yang akan dibiayai dengan dana PNBP itu. Irjend (Pol) Djoko Susilo adalah perwira tinggi berprestasi, salah seorang "bintang" Akademi Polisi, sehingga menjadi sosok yang pantas untuk posisi Kepala Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri.
Tapi, kita tak tahu persis soal dana-dana yang dikumpulkan itu, KPK harus mampu mengungkapkannya dalam penyidikan dan penyelidikan dengan kasus korupsi mobil simulator SIM sebagai batu loncatannya. Jika KPK mampu mengungkap hal itu, mau tak mau kita harus memberi aplaus. Apalagi penahanan Sang Jenderal sudah kadung menjadi preseden buruk bahwa Polri telah gagal menjalankan agenda reformasi birokrasi Polri (RBP), yang kini sudah memasuki gelombang II. Gagal karena urusan internalnya: membersihkan institusi Polri dari keberadaan aparat yang korup, tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga KPK harus turun tangan.
Barangkali, KPK memang menilai Polri "masuk angin" dalam menyelesaikan kasus korupsi di lingkungan internalnya. Bila penilaian itu benar, sudah seharusnya KPK lebih intensif dalam menyelesaikan perkara korupsi di lingkungan Polri. Selama ini banyak kasus korupsi melibatkan petinggi Polri, karena transparansi penggunaan dana di lingkungan Polri nyaris tak pernah diperiksa.
BPK dan berbagai lembaga audit keuangan negara seakan-akan punya keengganan untuk mengaudit dana-dana Polri, terutama berkaitan dengan dana-dana pihak ketiga yang masuk ke dalam kas Polri untuk program-program tertentu seperti: pembangunan ragam fasilitas di lingkungan Polri.
Setahun Abraham Samad menjadi pemimpin KPK, mesti diakui bahwa prestasinya yang paling menonjol adalah "menelanjangi" institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang "masuk angin". Publik mendukung upaya KPK, karena baru KPK yang bisa diandalkan untuk memuaskan rasa benci publik terhadap ragam kemunafikan yang menjadi budaya dalam sistem manajemen pelayan di lingkungan Polri. n
Jurnal Nasional | Senin, 10 Dec 2012
December 10, 2012
No #type=(blogger)
Salut kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno. Ia meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. "Dana itu," kata Putut seperti dikutip media massa, "untuk operasional lapangan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang sifatnya sosial."
Sungguh, hampir tak pernah terdengar ada pimpinan Polri di daerah yang meminta dana secara terus terang kepada pemerintah daerah. Meskipun tak sedikit dana APBD yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan Polri, biasanya hal itu disampaikan secara diam-diam, sehingga transparansinya kurang diketahui.
Publik baru tahu setelah kepala daerah menguraikan dalam laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan APBD, bahwa ada dana APBD yang dialokasikan buat kegiatan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang memposisikan Polri sebagai pengguna dana tersebut. Laporan kepala daerah yang seperti ini biasaanya melahirkan pertanyaan: bukankah dalam APBN sudah dianggarkan dana untuk Polri?
Memang, anggaran Polri dalam APBN sesuai dengan surat edaran Menteri Keuangan tentang alokasi anggaran untuk kementerian negara/lembaga. Penggunaan anggaran itu pun sudah jelas alokasinya, termasuk untuk ragam kegiatan di lingkungan Polda, Polres, sampai Polsek.
Setiap Polda, tergantung pada tipe Polda masing-masing, memiliki besaran anggaran yang sudah ditetapkan. Namun pada dasarnya anggaran itu dialokasikan untuk gaji personel Polri, pegawai negeri, dan ragam kegiatan yang berkaitan dengan visi, misi, tugas, dan tanggung jawab Polri sebagai lembaga negara. Termasuk juga untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti program yang disebutkan Kapolda Metro Jaya tersebut.
Meski begitu, apa yang disampaikan Kapolda Metro Jaya ini mesti disikapi secara logis. Inilah realitas yang dihadapi Polri saat ini, senantiasa kekurangan duit untuk operasional kegiatan-kegiatannya. Sekalipun ada alokasi dana dari APBN berupa DIPA Polri, tetap saja kurang untuk kebutuhan dana operasional personel Polri di lapangan. Penyebabnya, kegiatan-kegiatan Polri di lapangan acap tak terduga, jauh dari gambaran yang dibuat saat pagu DIPA Polri ditetapkan.
Banyaknya peristiwa tak terduga yang dihadapi Polri menuntut pemakaian dana cukup besar, sehingga alokasi dana yang sudah ditetapkan membengkak. Misalnya, operasional yang harus dilakoni Direktorat Reserse Kriminal, yang acap berhadapan dengan kasus-kasus baru dan penyelesaiannya tak bisa ditunda. Begitu juga dengan Direktorat Brigadir Mobil (Brimob) yang kerap harus mempersiapkan Pasukan Anti-Huru-hara (PHH) secepatnya guna mengantisipasi terjadinya huru-hara.
Hal ini menunjukkan bahwa Polri membutuhkan cadangan dana untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa insidental. Apalagi bila peristiwa itu menuntut tindakan cepat dari Polri untuk melakukan olah tempat kejadian perkara. Maka, yang dibutuhkan bukan hanya tambahan dana operasional, tapi juga tambahan personel di lapangan. Tak jarang Polri bagai berhadapan dengan masalah yang bak makan buah simalakama, harus membuat skala prioritas dalam menyelesaikan sebuah perkara hukum, sehingga memberi kesan seakan-akan lembaga penegak hukum ini melakukan "tebang pilih".
Kembali pada soal Kapolda Metro Jaya meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta. Harus diakui, tanpa permintaan ini sudah seharusnya kepala daerah mengalokasikan dana APBD untuk Polri sebagai stake holder pemerintah daerah dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Meski begitu, penggunaan dana APBD tersebut harus mengutamakan kaidah transparansi, sehingga nilai guna dan hasil guna dari penggunaan dana APBD itu bisa diukur dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat.
Namun, bila dikaitkan dengan rencana Kapolda Metro Jaya dengan meluncurkan program Babinkamtibmas di lingkungan masyarakat Kota Metropolitan Jakarta, ada baiknya dipikirkan kembali. Pasalnya, Polda Metro Jaya akan dihadapkan pada realitas institusi Polri yang sedang menghadapi persoalan minimnya personel Polri.
Saat Rapat Pimpinan Polri digelar pada 17 Januari 2012, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan anggota Polri saat ini baru mencapai 387.470 personel. Jumlah itu jauh dari ideal berdasarkan standar perbandingan internasional yang seharusnya 610.533 orang. Dengan jumlah personel seperti itu, rasionya satu orang polisi bertugas melindungi lebih dari 600 warga. Dengan catatan, rasio 1:600 berlangsung dalam situasi normal.
Rasio 1:600 itu berlaku juga di lingkungan Polda Metro Jaya. Bisa dibayangkan betapa repotnya seorang anggota Polri mengawasi 600 warga Kota Metropolitan Jakarta dalam satu hari. Belum lagi bila kita mengkalkulasi luas wilayah kerja dari 600 warga yang harus dilindungi seorang polisi, dan dikonversi menjadi dana operasional. Bukan mustahil, sebagian besar dana APBD DKI Jakarta akan tersedot untuk kelancaran program Babinkamtibmas Polda Metro Jaya ini.
Di samping itu, seluruh personel Polda Metro Jaya, terutama para brigadir, akan fokus untuk kelancaran program Babinkamtibmas ini, sehingga berbagai peristiwa yang sifatnya insidental bisa terabaikan. Alhasil, di satu sisi Polda Metro Jaya akan sukses dengan program pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi di sisi lain akan keteteran untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa insidental yang sering terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.
Karena itu, solusi yang paling tepat bagi Polda Metro Jaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat adalah mengupayakan agar masyarakat berperan aktif dan berpartisipasi. Ada baiknya Polda Metro Jaya lebih mengefektifkan peran Direktorat Bimbingan Masyarakat untuk membangun kembali kapital-kapital sosial masyarakat Kota Metropolitan Jakarta yang tercerabut dari ranah budayanya.
Sudah umum diketahui bahwa masyarakat Kota Metropolitan Jakarta didominasi masyarakat modern yang berasal dari sejumlah daerah di Nusantara. Di daerah asalnya, mereka memiliki kapital-kapital sosial yang acap dibangun dan ditumbuhkan dalam pergaulan sosial di Kota Metropolitan Jakarta. Kapital-kapital sosial itu memiliki daya rekat yang kuat, sehingga kohesivitas warga yang berasal dari lingkungan budaya yang sama akan sangat kuat.
Masyarakat seperti inilah yang memberikan dukungan penuh atas kemenangan pasangan Joko Widodo-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Masyarakat konstituen ini sangat mencintai Jokowi-Ahok, dan pasti Pemda DKI Jakarta akan sangat memperhatikan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan masyarakatnya dengan menggelontorkan program-program kerja untuk merawat komunitas-komunitas tersebut.
Polda Metro Jaya bisa juga mensinergikan program Babinkamtibmas tersebut dengan program-program yang dirancang Pemda DKI Jakarta terkait dengan visi dan misi yang sama, sehingga kemitraan Polri dan Pemda DKI Jakarta bisa lebih diperkuat. Kemitraan antara Pemda DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya adalah kunci utama terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. ●
KORAN TEMPO, 04 Desember 2012
December 08, 2012
No #type=(blogger)