KETIKA membaca buku Kumpulan Puisi Ruang Lengang yang ditulis Epri Tsaqib, ingatan kita segera tertumbuk pada sastra islami yang diusung para penggiat Forum Lingkar Pena (FLP) dalam karya-karya mereka. Epri Tsaqib bergiat dalam wadah ini, tetapi ia memilih jalan puisi sebagai alat ekspresi seni, berbeda dengan pilihan sebagian besar penggiat FLP yang condong mengutamakan prosa.
Apa pun pilihan ekspresi seni para penggiat FLP, semuanya memiliki kelemahan juga kekuatan. Tentang kelemahan dan kekuatan setiap pilihan ekspresi seni itu akan saya singgung dalam tulisan ini, sehingga dapat menjadi pembanding bagi para penggiat FLP dalam menekuni dunia kepenulisan sastra di negeri ini.
Pilihan Epri Tsaqib untuk menulis puisi sebagai alat ekspresi seni merupakan pilihan yang sunyi. Sama sunyinya dengan pilihan para penggiat FLP yang memilih esai sebagai alat ekspresi seni; menjadi esais bagi penggiat FLP tampaknya bukan pilihan, hanya satu dua penggiat FLP yang menulis suka esai.
Ketika para penggiat FLP yang memilih prosa sudah menghasilkan banyak cerpen dan novel, dan ekspresi seni itu mengangkat nama mereka ke dalam daftar pengarang nasional yang karyanya ditunggu pembaca, tak heran jika Epri Tsaqib baru menghasilkan satu buku ini. Bukan lantaran Epri tak produksi sebagai penulis puisi, tapi minat pembaca terhadap puisi sangat medioker.
Puisi telanjur dipersepsikan secara salah oleh publik pembaca. Selalu dinilai sebagai karya sastra yang memaksa kening seseorang berkirut, menyebabkan volume otak menjadi kisut. Diksi, metafora, majas, rima, dan segala unsur pembentuk puisi telanjur dimusuhi.
Penyair pun punya andil besar untuk merusak persepsi publik pembaca. Puisi yang ditulis sering disejajarkan dengan teks kitab suci agama. Tidak boleh dikritik. Harus disanjung. Tidak ada cela pada para penyair. Mereka paripurna. Saya teringat pada teks Quran tentang para penyair. Mungkin, inilah zaman ketika penyair-penyair dalam teks Quran itu meresapi jiwa penyair kita di negeri ini.
Penyair semacam ini pernah saya tulis dalam sajak Munafik Penyair terbit di Khazanah Pikiran Rakyat. Saya berbicara tentang penyair-penyair di Lampung, yang merasa sudah paripurna sebagai penyair setelah karya-karyanya muncul di Kompas. Padahal menulis sajak bagi mereka tidak didorong oleh hal-hal berbau kesenian, tetapi lebih tepat karena desakan ekonomi.
PENGAMATAN saya yang penuh kelemahan, tak pernah membawa saya bertemu puisi Epri Tsaqib di ruang-ruang sastra koran. Saya berkeyakinan, Epri Tsaqib pernah mencoba mengirimkan puisinya ke ruang-ruang sastra koran. Kalau kemudian saya yang hampir tak pernah absen membaca sastra koran tak pernah menemukan puisinya, bukan lantaran puisi-puisi itu buruk.
Puisi sebagai karya seni tak bisa dinilai secara hitam putih: “baik” atau “buruk”. Penilaian “baik” atau “buruk” lebih dikenal dalam dunia yang memiliki formulasi jelas. Ada rumus yang bisa diaplikasikan. Sedangkan dunia puisi adalah dunia yang sensitif, yang mengandalkan rasa (feeling). Sebab itu, dunia puisi adalah dunia subjektivitas manusia.
Penilaian terhadap puisi sangat tergantung pada posisi yang ditempati si penilai. Tempat yang dipilih si penilai, sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi yang dianut si penilai tersebut.
Posisi yang ditempati Djamal D. Rahman yang saya kenal, sama dengan posisi yang ditempati oleh Epri Tsaqib. Dalam khazanah puisi di negeri ini, Djamal D. Rahman identik sebagai penyair profetik, itu istilah untuk menyebut kecenderungan pilihan tema dan cara pengucapan penyair di negeri ini yang mengekplorasi kesadaran-kesadaran profetik terkait hubungan imani manusia dengan Sang Khalik.
Puisi-puisi Djamal D. Rahman dalam Air Mata Diam, misalnya, mengangkat tema-tema profetik seperti yang kita temukan dalam puisi-puisi Epri Tsaqib. Cuma, eksplorasi bahasa Djamal D. Rahman berbeda dengan Epri Tsaqib. Puisi-puisi Epri Tsaqib sangat terbuka dan jelas, sedang Djamal D. Rahman dikenal sangat gelap.
Puisi-puisi Epri Tsaqib adalah puisi terang benderang. Dan, saya yakin Epri Tsaqib bukan tak bisa menulis puisi gelap, tetapi ia tetap memilih menulis puisi seperti dalam buku ini. Setiap diksi dalam puisinya menerangi diksi-diksi lainnya, sehingga pembaca tidak perlu mengerutkan kening untuk memahami maknanya.
Pilihan semacam ini lebih sebagai upaya menghargai keragaman pengetahuan pembaca tentang puisi. Epri Tsaqib tampak sangat memahami bahwa persepsi pembaca terhadap puisi sangat buruk, karena itu ia menulis puisi yang dapat mengubah persepsi tersebut. Dan, benar, publik pembaca hampir tak punya kesulitan apa pun untuk memahami puisi-puisinya.
Kita baca puisi berjudul Kematian 5:
2 pintu tanpa tanda lelah
dengan 2 jendela
sayangnya
aku hanya boleh melongok jendela itu
hanya bila aku sudah selesai dengan oral test
dari 2 penjaganya yang sangat berlainan wajah
entah ini berita gembira atau sebaliknya
mereka sempat memberi petunjuk singkat kepadaku/sebelum soal dimulai
:kali ini kau boleh mencontek dari semua indra.
Saya memahami puisi ini bercerita tentang prosesi setelah umat manusia meninggal dunia. Dua wajah mewakili amal baik dan amal buruk manusia selama hidup di dunia, dan keduanya menjadi penguji yang bertujuan agar ummat manusia mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Setiap perbuatan, amal baik dan amal buruk, memiliki konsekuensi berupa dua pintu yang menuju dua tempat bertolak belakang. Amal baik menuju sorga, sebaliknya aml buruk menuju neraka. Ketika penguji melakukan ujian, seluruh indra yang menjawab setiap pertanyaan.
Tentu, inilah teks dalam Quran yang sudah menjadi pengetahuan umum. Epri Tsaqib mengandaikan prosesi pertanggungjawaban manusia atas amal baik dan amal buruk selama hidup di dunia itu sebagai puisi. Kita pun dapat dengan mudah memahaminya, semudah kita menemukan ayat Quran tentang kisah pertanggungjawaban umat manusia atas perbuatannya setelah meninggal.
Tapi, kehidupan dunia acap membuat manusia melupakan hal yang sangat mendasar tersebut, sehingga Epri Tsaqib merasa perlu menyampaikannya kembali dengan cara yang lebih bisa diterima manusia. Pembaca tak akan merasa digurui, tetapi digiring pada sebuah proses mengingat kembali (re-remembering).
Kalau lebih dipahami, dengan puisi ini Epri Tsaqib menegaskan bahwa agama ditujukan untuk orang yang berakal, tapi agama bukan ciptaan otak, melainkan ketentuan (syariat) dan aturan (syari) ciptaan Allah swt. Analogi pertanggungjawaban dosa sebagai ujian, sebuah kritik sosial atas kecenderungan manusia modern untuk selalu mengandalkan otak, sementara Allah swt. sudah menegaskan dalam Surat Al-Qiyamah: 14–15 yang artinya: Bahkan manusia itu jadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Rasulullah menfatwakan: Mintalah fatwa pada dirimu sendiri sekalipun orang-orang telah menetapkan sesuatu keputusan tentang baik buruknya dirimu.
Intinya, Epri Tsaqib sampai pada upaya agar manusia lebih mengenal dirinya sendiri yang dikukuhkan dengan teks kali ini kau boleh mencontek dari semua indera. Dalam bahasa psikologi, Epri Tsaqib menekankan agar manusia melakukan penilaian diri (self evaluation).
PUISI-PUISI dalam buku ini adalah ricik-ricik dakwah agama Islam. Inilah kumpulan puisi yang sangat khas karya sastra versi FLP. Ia ditulis dari ruang paling sunyi dalam diri penyair, ruang yang memungkinkan Epri Tsaqib untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dalam dialog, Epri Tsaqib berangkat dari pemahaman dan penguasaan yang intens atas hakikat manusia di hadapan Sang Khalik, yakni sebagai mahluk yang hanya punya satu tujuan dalam hidup: bersyukur atas segala anugerah yang dilimpahkan-Nya.
Dalam khazanah sastra profetik di negeri ini, puisi-puisi Epri Tsaqib mengingatkan saya pada puisi Kuntowijoyo dalam buku Isyarat dan Suluk Awang-Uwung. Saya juga menemukan kesamaan pengucapan pada puisi Motinggo Busye dalam buku Aura Para Aulia, terutama karena puisi-puisi itu ditulis dalam semangat melakukan dakwah agama. Sebagai dakwah, pilihan katanya pun mesti terbuka dan transparan, sehingga dapat dengan mudah dipahami publik pembaca.
Saya kutif puisi berjudul Maqom karya Motinggo Busye sebagai pembanding.
Katakan pada air aku tak haus lagi
Katakan pada angin aku tak gerah lagi
Katakan pada matahari aku tak kedinginan lagi
Katakan pada laut, kapalku telah berlabuh.
Puisi Motinggo Busye berbicara tentang manusia yang sudah siap menerima kematian dan ia tidak lagi membutuhkan hal-hal dunia yang acap diperebutkan manusia. Sementara puisi Epri Tsaqib memandang kematian sebagai masa di mana manusia mesti mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama di dunia.
Pilihan tema puisi dengan teknik eksplorasi bahasa yang sederhana, menandakan bahwa Epri Tsaqib menulis dengan kesadaran penuh tentang siapa yang akan menjadi pembaca puisi.
Dipublikasi di Lampung Post edisi April 18, 2009
Pilihan Epri Tsaqib untuk menulis puisi sebagai alat ekspresi seni merupakan pilihan yang sunyi. Sama sunyinya dengan pilihan para penggiat FLP yang memilih esai sebagai alat ekspresi seni; menjadi esais bagi penggiat FLP tampaknya bukan pilihan, hanya satu dua penggiat FLP yang menulis suka esai.
Ketika para penggiat FLP yang memilih prosa sudah menghasilkan banyak cerpen dan novel, dan ekspresi seni itu mengangkat nama mereka ke dalam daftar pengarang nasional yang karyanya ditunggu pembaca, tak heran jika Epri Tsaqib baru menghasilkan satu buku ini. Bukan lantaran Epri tak produksi sebagai penulis puisi, tapi minat pembaca terhadap puisi sangat medioker.
Puisi telanjur dipersepsikan secara salah oleh publik pembaca. Selalu dinilai sebagai karya sastra yang memaksa kening seseorang berkirut, menyebabkan volume otak menjadi kisut. Diksi, metafora, majas, rima, dan segala unsur pembentuk puisi telanjur dimusuhi.
Penyair pun punya andil besar untuk merusak persepsi publik pembaca. Puisi yang ditulis sering disejajarkan dengan teks kitab suci agama. Tidak boleh dikritik. Harus disanjung. Tidak ada cela pada para penyair. Mereka paripurna. Saya teringat pada teks Quran tentang para penyair. Mungkin, inilah zaman ketika penyair-penyair dalam teks Quran itu meresapi jiwa penyair kita di negeri ini.
Penyair semacam ini pernah saya tulis dalam sajak Munafik Penyair terbit di Khazanah Pikiran Rakyat. Saya berbicara tentang penyair-penyair di Lampung, yang merasa sudah paripurna sebagai penyair setelah karya-karyanya muncul di Kompas. Padahal menulis sajak bagi mereka tidak didorong oleh hal-hal berbau kesenian, tetapi lebih tepat karena desakan ekonomi.
PENGAMATAN saya yang penuh kelemahan, tak pernah membawa saya bertemu puisi Epri Tsaqib di ruang-ruang sastra koran. Saya berkeyakinan, Epri Tsaqib pernah mencoba mengirimkan puisinya ke ruang-ruang sastra koran. Kalau kemudian saya yang hampir tak pernah absen membaca sastra koran tak pernah menemukan puisinya, bukan lantaran puisi-puisi itu buruk.
Puisi sebagai karya seni tak bisa dinilai secara hitam putih: “baik” atau “buruk”. Penilaian “baik” atau “buruk” lebih dikenal dalam dunia yang memiliki formulasi jelas. Ada rumus yang bisa diaplikasikan. Sedangkan dunia puisi adalah dunia yang sensitif, yang mengandalkan rasa (feeling). Sebab itu, dunia puisi adalah dunia subjektivitas manusia.
Penilaian terhadap puisi sangat tergantung pada posisi yang ditempati si penilai. Tempat yang dipilih si penilai, sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi yang dianut si penilai tersebut.
Posisi yang ditempati Djamal D. Rahman yang saya kenal, sama dengan posisi yang ditempati oleh Epri Tsaqib. Dalam khazanah puisi di negeri ini, Djamal D. Rahman identik sebagai penyair profetik, itu istilah untuk menyebut kecenderungan pilihan tema dan cara pengucapan penyair di negeri ini yang mengekplorasi kesadaran-kesadaran profetik terkait hubungan imani manusia dengan Sang Khalik.
Puisi-puisi Djamal D. Rahman dalam Air Mata Diam, misalnya, mengangkat tema-tema profetik seperti yang kita temukan dalam puisi-puisi Epri Tsaqib. Cuma, eksplorasi bahasa Djamal D. Rahman berbeda dengan Epri Tsaqib. Puisi-puisi Epri Tsaqib sangat terbuka dan jelas, sedang Djamal D. Rahman dikenal sangat gelap.
Puisi-puisi Epri Tsaqib adalah puisi terang benderang. Dan, saya yakin Epri Tsaqib bukan tak bisa menulis puisi gelap, tetapi ia tetap memilih menulis puisi seperti dalam buku ini. Setiap diksi dalam puisinya menerangi diksi-diksi lainnya, sehingga pembaca tidak perlu mengerutkan kening untuk memahami maknanya.
Pilihan semacam ini lebih sebagai upaya menghargai keragaman pengetahuan pembaca tentang puisi. Epri Tsaqib tampak sangat memahami bahwa persepsi pembaca terhadap puisi sangat buruk, karena itu ia menulis puisi yang dapat mengubah persepsi tersebut. Dan, benar, publik pembaca hampir tak punya kesulitan apa pun untuk memahami puisi-puisinya.
Kita baca puisi berjudul Kematian 5:
2 pintu tanpa tanda lelah
dengan 2 jendela
sayangnya
aku hanya boleh melongok jendela itu
hanya bila aku sudah selesai dengan oral test
dari 2 penjaganya yang sangat berlainan wajah
entah ini berita gembira atau sebaliknya
mereka sempat memberi petunjuk singkat kepadaku/sebelum soal dimulai
:kali ini kau boleh mencontek dari semua indra.
Saya memahami puisi ini bercerita tentang prosesi setelah umat manusia meninggal dunia. Dua wajah mewakili amal baik dan amal buruk manusia selama hidup di dunia, dan keduanya menjadi penguji yang bertujuan agar ummat manusia mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Setiap perbuatan, amal baik dan amal buruk, memiliki konsekuensi berupa dua pintu yang menuju dua tempat bertolak belakang. Amal baik menuju sorga, sebaliknya aml buruk menuju neraka. Ketika penguji melakukan ujian, seluruh indra yang menjawab setiap pertanyaan.
Tentu, inilah teks dalam Quran yang sudah menjadi pengetahuan umum. Epri Tsaqib mengandaikan prosesi pertanggungjawaban manusia atas amal baik dan amal buruk selama hidup di dunia itu sebagai puisi. Kita pun dapat dengan mudah memahaminya, semudah kita menemukan ayat Quran tentang kisah pertanggungjawaban umat manusia atas perbuatannya setelah meninggal.
Tapi, kehidupan dunia acap membuat manusia melupakan hal yang sangat mendasar tersebut, sehingga Epri Tsaqib merasa perlu menyampaikannya kembali dengan cara yang lebih bisa diterima manusia. Pembaca tak akan merasa digurui, tetapi digiring pada sebuah proses mengingat kembali (re-remembering).
Kalau lebih dipahami, dengan puisi ini Epri Tsaqib menegaskan bahwa agama ditujukan untuk orang yang berakal, tapi agama bukan ciptaan otak, melainkan ketentuan (syariat) dan aturan (syari) ciptaan Allah swt. Analogi pertanggungjawaban dosa sebagai ujian, sebuah kritik sosial atas kecenderungan manusia modern untuk selalu mengandalkan otak, sementara Allah swt. sudah menegaskan dalam Surat Al-Qiyamah: 14–15 yang artinya: Bahkan manusia itu jadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Rasulullah menfatwakan: Mintalah fatwa pada dirimu sendiri sekalipun orang-orang telah menetapkan sesuatu keputusan tentang baik buruknya dirimu.
Intinya, Epri Tsaqib sampai pada upaya agar manusia lebih mengenal dirinya sendiri yang dikukuhkan dengan teks kali ini kau boleh mencontek dari semua indera. Dalam bahasa psikologi, Epri Tsaqib menekankan agar manusia melakukan penilaian diri (self evaluation).
PUISI-PUISI dalam buku ini adalah ricik-ricik dakwah agama Islam. Inilah kumpulan puisi yang sangat khas karya sastra versi FLP. Ia ditulis dari ruang paling sunyi dalam diri penyair, ruang yang memungkinkan Epri Tsaqib untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Dalam dialog, Epri Tsaqib berangkat dari pemahaman dan penguasaan yang intens atas hakikat manusia di hadapan Sang Khalik, yakni sebagai mahluk yang hanya punya satu tujuan dalam hidup: bersyukur atas segala anugerah yang dilimpahkan-Nya.
Dalam khazanah sastra profetik di negeri ini, puisi-puisi Epri Tsaqib mengingatkan saya pada puisi Kuntowijoyo dalam buku Isyarat dan Suluk Awang-Uwung. Saya juga menemukan kesamaan pengucapan pada puisi Motinggo Busye dalam buku Aura Para Aulia, terutama karena puisi-puisi itu ditulis dalam semangat melakukan dakwah agama. Sebagai dakwah, pilihan katanya pun mesti terbuka dan transparan, sehingga dapat dengan mudah dipahami publik pembaca.
Saya kutif puisi berjudul Maqom karya Motinggo Busye sebagai pembanding.
Katakan pada air aku tak haus lagi
Katakan pada angin aku tak gerah lagi
Katakan pada matahari aku tak kedinginan lagi
Katakan pada laut, kapalku telah berlabuh.
Puisi Motinggo Busye berbicara tentang manusia yang sudah siap menerima kematian dan ia tidak lagi membutuhkan hal-hal dunia yang acap diperebutkan manusia. Sementara puisi Epri Tsaqib memandang kematian sebagai masa di mana manusia mesti mempertanggungjawabkan semua perbuatannya selama di dunia.
Pilihan tema puisi dengan teknik eksplorasi bahasa yang sederhana, menandakan bahwa Epri Tsaqib menulis dengan kesadaran penuh tentang siapa yang akan menjadi pembaca puisi.
Dipublikasi di Lampung Post edisi April 18, 2009