Rehat
Kau akan rehat di akhir pekan. Seluruh ototmu tak jadi soal kalau capai. Kemiskinan sudah membuatmu terbiasa mengandalkan otot. Tapi otakmu, sel-sel kecil yang dipacu berlari, sudah mulai letih. Ibarat chip pada komputer, otakmu selalu bekerja. Saat jaga, juga saat tidur. Saat jaga, tanpa otak, kau hanya jadi bahan tertawaan. Si bodoh yang keterlaluan. Saat tidur, tanpa otak, kau bagai seoonggok daging yang sunyi.
Kalau harus rehat. Kalau tidak, otakmu akan tumpul. Kalau tumpul. Ah!? Dengan otak yang sekarang, yang pernah di masa SMP sampai SMA membuatmu memperoleh beasiswa, kau masih saja miskin. Otak yang tajam, yang kadang membuat orang mengagumimu. Orang-orang tak menyangka kenapa mahluk miskin dan papa seperti dirimu punya otak yang brilian. Kau, tentu, tak akan pernah memberitahu kalau dulu otakmu selalu membuatmu rangking satu sejak SMP sampai SMA. Kau hanya tersenyum, juga miris, sambil mengenang betapa sulitnya hidup setamat SMA.
Kalau saja otak bisa dijual, pasti akan kau jual sekerat agar bisa masuk perguruan tinggi. Tapi otak tak laku, kecuali otak sapi, itu pun dalam bentuk rendang. Untuk masuk perguruan tinggi, hanya perlu duit. Tidak sedikit. Puluhan juta rupiah. Begitu jumlah yang tertulis dalam brosur perguruan tinggi swasta (PTS). Sedang di perguruan tinggi negeri (PTN), dananya jauh lebih besar. Untuk pendaftaran, memang kecil. Tapi, untuk memperlancar admistrasi pendidikan dalam rangka program industrialisasi perguruan tinggi (kata lain dari BHPT), kau tak punya. Maka, dulu, mau tak mau, kau urungkan niat untuk kuliah.
Orang tuamu yang miskin dan papa, hanya mewariskan kemiskinannya. Juga otak cerdasnya. Ya, garis keturunanmu menunjukkan, seluruh generasi dari nenek moyangmu memang memiliki otak cerdas. Kakek buyutmu, dulu, dipanggil orang si Doktor. Itu karena otaknya cerdas, dan dia tahu banyak hal. Ayahmu juga dapat panggilan yang hampir mirip, Si Datu, karena pengetahuannya melampaui pengetahuan orang lain sehingga terlihat seperti dukun.
Tapi warisan itu tidak cukup untuk hidup zaman sekarang. Zaman sekarang hanya butuh uang. Tanpa itu, kau tak akan jadi apa-apa.
Jadilah, kau tak kuliah. Kau putuskan bekerja. Tentu, orang miskin sepertimu, hanya cocok bekerja kasar. Hanya cocok mengandalkan ototmu. Menjadi buruh bangunan, tukang angkat barang, dan pekerjaan kasar lain kau lakoni. Dari satu tempat kerja ke lain tempat kerja, kau andalkan ototmu sehingga otot-otot itu terbiasa bergerak. Kau pun lupa, bahwa kau punya otak, dan kau tak pernah mempergunakannya secara benar. Sampai suatu hari, kau pakai otakmu yang cerdas untuk memikirkan pekerjaan apa yang lebih pantas membuatmu menjadi orang kaya. Tentu, otakmu menjadi cepat letih, bahkan mulai menumpul. Kau memakai otakmu untuk memikirkan hal yang sulit kau raih.
Sekarang rehatlah di akhir pekan. Istirahatkan otakmu. Besok, pakai lagi ia berpikir. Berpikir yang biasa saja. Berpikir yang cerdas. Tidak usah muluk ingin meruntuhkan langit. Tak usah genit ingin menyaingi orang lain. Biasa aja lagi!
Kalau saja otak bisa dijual, pasti akan kau jual sekerat agar bisa masuk perguruan tinggi. Tapi otak tak laku, kecuali otak sapi, itu pun dalam bentuk rendang. Untuk masuk perguruan tinggi, hanya perlu duit. Tidak sedikit. Puluhan juta rupiah. Begitu jumlah yang tertulis dalam brosur perguruan tinggi swasta (PTS). Sedang di perguruan tinggi negeri (PTN), dananya jauh lebih besar. Untuk pendaftaran, memang kecil. Tapi, untuk memperlancar admistrasi pendidikan dalam rangka program industrialisasi perguruan tinggi (kata lain dari BHPT), kau tak punya. Maka, dulu, mau tak mau, kau urungkan niat untuk kuliah.
Orang tuamu yang miskin dan papa, hanya mewariskan kemiskinannya. Juga otak cerdasnya. Ya, garis keturunanmu menunjukkan, seluruh generasi dari nenek moyangmu memang memiliki otak cerdas. Kakek buyutmu, dulu, dipanggil orang si Doktor. Itu karena otaknya cerdas, dan dia tahu banyak hal. Ayahmu juga dapat panggilan yang hampir mirip, Si Datu, karena pengetahuannya melampaui pengetahuan orang lain sehingga terlihat seperti dukun.
Tapi warisan itu tidak cukup untuk hidup zaman sekarang. Zaman sekarang hanya butuh uang. Tanpa itu, kau tak akan jadi apa-apa.
Jadilah, kau tak kuliah. Kau putuskan bekerja. Tentu, orang miskin sepertimu, hanya cocok bekerja kasar. Hanya cocok mengandalkan ototmu. Menjadi buruh bangunan, tukang angkat barang, dan pekerjaan kasar lain kau lakoni. Dari satu tempat kerja ke lain tempat kerja, kau andalkan ototmu sehingga otot-otot itu terbiasa bergerak. Kau pun lupa, bahwa kau punya otak, dan kau tak pernah mempergunakannya secara benar. Sampai suatu hari, kau pakai otakmu yang cerdas untuk memikirkan pekerjaan apa yang lebih pantas membuatmu menjadi orang kaya. Tentu, otakmu menjadi cepat letih, bahkan mulai menumpul. Kau memakai otakmu untuk memikirkan hal yang sulit kau raih.
Sekarang rehatlah di akhir pekan. Istirahatkan otakmu. Besok, pakai lagi ia berpikir. Berpikir yang biasa saja. Berpikir yang cerdas. Tidak usah muluk ingin meruntuhkan langit. Tak usah genit ingin menyaingi orang lain. Biasa aja lagi!
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda