Korupsi Anggaran Publik di Daerah
Korupsi sudah menggurita dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kondisi ini berlangsung sejak lama, bahkan mengalami peningkatan kualitas ketika reformasi bergulir di negara ini.
Selama reformasi, negara menjadi sangat lemah di hadapan tuntutan masyarakat. Desakan yang begitu kencang dan kontinyu atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, membuat negara tidak mampu merumuskan batas-batas kebebasan dan kedaulatan tersebut.
Negara seolah-olah baru merdeka dan tidak memiliki fondasi konstitusi yang kuat. Segala sesuatu yang pernah dirumuskan dan ditetapkan sebagai dasar-dasar negara dirombak atas nama demokrasi. Akibatnya, negara tidak mampu mengelola dengan efektif kebebasan yang dimiliki rakyat, sehingga terjadi pembalikan relasi kedaulatan yang sangat signifikan.
Rakyat bukan saja menjadi pemilik kedaulatan, tetapi memosisikan negara jauh di bawah bayang-bayang kekuasaan rakyat.
Segala regulasi yang dibuat negara, tidak bisa berjalan efektif, karena kekuasaan rakyat mampu mendorong dilakukannya revisi atas regulasi-regulasi yang ada. Sebagai contoh, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lalu direvisi menjadi aturan baru dalam UU Nomor 12 Tahun 2008. Revisi itu hanya untuk mengakomodasi politik identitas yang memunculkan politik kekerabatan dalam birokasi pemerintah daerah otonom, juga mendorong bangkitnya “orang-orang kuat” yang merupakan putra daerah untuk mengendalikan peta politik lokal.
Sebab itu, dalam proses demokratisasi di negeri ini tak bisa dibangun batas dan norma yang jelas, sehingga segala sesuatunya bertumbuh ke titik ekstrim: kebebasan yang berlebihan, tuntutan hak (right) yang melampaui kapasitas, tindakan yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses.
Reformasi dan demokrasi, muncul bersamaan di daerah, begitu juga di Provinsi Lampung. Ditandai pemberian kekuasaan terhadap pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya demi terwujudnya daerah yang otonom dalam semangat desentralisasi, justru memunculkan fenomena krusial. Bagi elite-elite daerah, kekuasaan yang dimiliki diasumsikan sebagai hak yang tak bisa dicampurtangani pemerintah pusat. Hak otonom untuk mengurus diri sendiri menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.
Dengan hak-hak dan kewenangan itu, pemerintah daerah memprakarsai berbagai kegiatan seperti pembuatan peraturan-peraturan daerah (Perda). Perda merupakan regulasi yang disepakati semua stake holder pembangunan di daerah, mulai dari eksekutif, legislatif, sampai publik. Perda-perda itu pula yang kemudian menjadi azas legalisasi segala tindak tanduk pemerintah daerah dalam menggerakkan roda pembangunan daerah. Salah satunya adalah mengelola anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) berdasarkan potensi-potensi keuangan yang ada.
Karena kewenangan membuat kebijakan berupa peraturan daerah sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, elite-elite daerah justru menyalahgunakannya. Kewenangan dan prakarsa sendiri dalam pembangunan daerah justru melahirkan oligarki lokal dan elitisme. Otonomi daerah gagal membangun akuntabilitas keterwakilan dan mandatnya, baik dalam hubungan pusat daerah maupun pengelolaan daerah. Memang terjadi perubahan konteks, tetapi ada kesinambungan perilaku. Ada perubahan prosedural, tetapi terjadi kesinambungan substansi.
Korupsi Anggaran
Dapat dilihat secara kasat mata, adanya kekosongan kreativitas untuk menghadirkan para pemodal ke daerah-daerah. Yang pada akhirnya, daerah sangat tergantung dengan kucuran dana dari pusat baik berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), maupun dana-dana bagi hasil pajak migas dan nonmigas. Semua dana itu menjadi sumber paling dominan dalam pembiayaan pembangunan daerah, sehingga daerah menjadi sangat ketergantungan. Alhasil, inisiatif untuk mencari dan menambah pendapatan asli daerah (PAD), sangat lemah dan kurang.
Di Provinsi Lampung kondisinya juga serupa. Pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kucuran dana dari pusat. Ketika kucuran dana dari pusat sangat minim seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir akibat turunnya harga minyak dan gas, APBD provinsi maupun kabupaten/kota di Provinsi Lampung mengalami defisit yang sangat besar. Meskipun demikian, kondisi krisis keuangan tidak membuat elite-elite pemerintah daerah berpikir ulang untuk merevisi anggaran belanja dalam APBD. Sebaliknya, tetap mempertahankan anggaran belanja, bahkan meningkatkannya dalam mekanisme APBD Pertambahan.
Dengan anggaran belanja yang tidak direvisi, akibatnya pemerintah daerah mesti melakukan pinjaman untuk menutupi kekurangan dana yang ada. Malangnya, untuk mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga seperti dilakukan Pemda Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Selatan, Kota Bandarlampung, dan Kabupaten Lampung Utara, eksekutif mesti memenuhi keinginan legislatif yang meminta persentase dari total pinjaman sebagai persayaratan untuk dilegalisasikan.
Artinya, masih pada tingkat pembahasan dalam sidang DPRD setempat, total dana yang akan dipinjam kepada pihak ketiga untuk menutupi defisit APBD, sudah berkurang beberapa persen karena diminta legislatif. Meskipun dari dari aspek undang-undang apa yang diminta legislatif itu tidak bisa dibenarkan, kenyataan justru menunjukkan hal itulah yang terjadi.
Banyak persoalan tindak pidana korupsi di daerah yang muncul di era otonomi daerah saat ini berkaitan erat dengan keuangan daerah. Di lingkungan masyarakat Lampung, korupsi yang muncul banyak terkait dengan kondisi keuangan daerah. Sebut saja korupsi APBD Kabupaten Lampung Tengah, korupsi APBD Kabupaten Lampung Timur, korupsi dana bantuan social APBD Pemda Provinsi Lampung, korupsi dana stimulan terhadap peningkatan kinerja BUMD dari sumber APBD Kabupaten Tulangbawang, korupsi dana stimulant peningkatan kinerja PDAM Way Rilau dari sumber APBD Kabupaten Lampung Selatan, korupsi pembangunan Taman Makam Pahlawan Bahagia Kotaagung dari sumber APBD Tanggamus, dan korupsi penyalahgunaan dana pembangunan RSU Ahmad Yani Kota Metro dariu sumber APBD Kota Metro.
Kasus-kasus korupsi yang disebut di atas merupakan kasus yang kini merebak di lingkungan masyarakat di Provinsi Lampung. Sebagian dari kasus tindak pidana korupsi sudah memasuki persidangan di pengadilan, sebagian lainnya masih dalam tahap investigas oleh penyidik, dan sisanya sudah dibuat dalam berita acara pengadilan (BAP) yang dilimpahkan ke pengadilan.
Dari kasus-kasus korupsi tersebut, meskipun terjadi di provinsi dan kabupaten/kota, namun memperlihatkan fenomena yang sama. Artinya, para tersangka pelaku tindak pidana korupsi sama-sama menyalahgunakan dana APBD baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Sampai pada tataran ini, muncul pertanyaan kenapa dana APBD provinsi maupun kabupaten/kota begitu mudah dikorupsi?
Anggaran Publik
Jika lebih diamati, sebagian besar dana APBD provinsi maupun kabupaten/kota yang dikorupsi itu merupakan anggaran untuk publik. Artinya, anggaran publik yakni anggaran yang dialokasikan dalam APBD untuk kepentingan publik, paling banyak dikorupsi oleh para pelaku tindak pidana korupsi.
Secara umum, anggaran baik anggaran perusahaan, anggaran negara, anggaran daerah atau anggaran lembaga-lembaga lainnya dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijaksanaan untuk suatu periode masa yang akan datang. Anggaran bagi publik meliputi anggaran suatu daerah otonom yang disebut anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu.
Pada mulanya fungsi anggaran publik adalah pedoman bagi pemerintah dalam mengelola daerah otonom untuk satu periode di masa yang akan dating. Namun, karena sebelum anggaran publik dijalankan harus mendapatkan persetujuan dari DPRD, maka anggaran publik berfungsi sebagai alat pengawasan masyarakat terhadap kebijakan publik yang dipilih oleh pemerintah daerah.
Selain itu, karena pada akhirnya setiap anggaran publik harus dipertanggunjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada lembaga perwakilan rakyat, berarti anggaran negara juga berfungsi sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya.
Dengan melihat fungsi anggaran publik diatas maka anggaran publik harus dilihat sebagai power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat. Bagi rakyat yang harus dilakukan adalah memantau arah dari prioritas kebijakan yang dibuat pemerintah satu tahun mendatang yang akan dinyatakan dalam bentuk nominal dalam anggaran. Tujuan pemantauan prioritas adalah memantau apakah prioritas kebijakan efektif untuk kepentingan rakyat banyak atau tidak.
Bagi daerah-daerah kabupaten atau kota dan provinsi, prioritas anggaran publiknya hingga 70-80%-nya digunakan untuk membiayai gaji dan fasilitas birokrasinya sedangkan yang kembali kepada rakyat dalam bentuk anggaran pembangunan baru 30-20% saja. Selain itu mengingat anggaran publik adalah pernyataan sebuah power relation antara kekuatan-kekuatan politik, maka ada kemungkinan terjadi politik uang dalam penyusunan anggaran. Oleh karena itu, sangat strategis peran pemantauan anggaran yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang ada.
Di era otonomi daerah ini penyusunan anggaran (APBD) menjadi urusan strategis bagi daerah. Pada masa orde baru otoritas ini dipegang secara sentralistis pada eksekutif yaitu pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah daerah bersama DPRD hanya bertugas mengalokasikan sebagian kecil dari APBD, sekitar 10% bagi daerah miskin dan sekitar 20% bagi daerah kaya, yaitu porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sekarang ini wewenang untuk menentukan prioritas kebijakannya yang ditunjukan dalam APBD sepenuhnya menjadi otoritas daerah.
Bila pada masa orde baru otoritas penyusunan APBD lebih besar ditangan eksekutif, maka di era otonomi daerah ini otoritas penyusunan APBD sepenuhnya ditangan DPRD. Perubahan kondisi ini menimbulkan banyak masalah pertama sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Disamping itu, factor lemahnya kualitas SDM sangat memengaruhi. Sebagai contoh, DPRD memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Sementara itu pemerintah daerah selaku eksekutif memiliki kemampuan dan jajaran birokrasi untuk melakukan penyusunan anggaran daerah. Mekanisme yang selama ini dilakukan eksekutif adalah melalui Rakorbang (rapat koordinasi pembangunan) dari tingkat propinsi hingga ke desa. Mekanisme ini masih jauh dari konsep partisipasi publik dan apalagi transparansi serta akuntabilitas.
Akibatnya, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 800% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD.
Lemahnya pemahaman tentang anggaran daerah dalam penyusunan APBD banyak memengaruhi terjadinya korupsi. Itu sebabnya, tingkat korupsi birokrasi daerah tetap tinggi, terutama jika mengacu pada survei kecenderungan korupsi birokrasi yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini ada.
Penutup
Sebagaimana diuraikan di bagian awal tulisan ini, korupsi anggaran yang sering terjadi di daerah cenderung dilakukan terhadap anggaran publik. Hal ini disebabkan, pengawasan publik terhadap anggaran yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat sangat tinggi, sehingga segala bentuk penyalahgunaan anggaran publik tersebut akan mudah diketahui. Begitu juga dengan korupsi anggaran yang terjadi di Provinsi Lampung. Kita ambil contoh kasus tindak pidana korupsi dana bantuan sosial dari sumber APBD Pemda Provinsi Lampung.
Sebagian besar alokasi dana Bantuan Sosial (Bansos) dalam APBD 2008 tersebut, tidak luput dari pantau segenap lapisan masyarakat. Berbagai kalangan dari mulai masyarakat, LSM, pers, sampai pada para penegak hukum, meningkatkan pengawasan mereka terhadap pengalokasian dana Bansos dengan cara ikut melakukan investigasi terhadap siapa yang menerima dan tersebut dan apakah si penerima pantas untuk mendapatkannya. Bagaimana pun aturan penerima dana Bansos sudah jelas, yakni sebagai bantuan sosial yang diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat.
Kenyataan menunjukkan, dana Bansos APBD Lampung itu telah dikucurkan untuk individu maupun kelompok yang tidak layak mendapat dana tersebut. Alhasil, masyarakat yang mengetahui hal itu bereaksi dan menuntut penjelasan secara hukum.
Semakin banyak elemen masyarakat yang melakukan pengawasan terhadap anggaran untuk publik, akan semakin berkurang tindak pidana korupsi terhadap dana-dana dalam APBD tersebut. Sebab itu, pemerintah daerah perlu mendukung berbagai upaya pengawasan yang dilakukan publik dengan cara mulai melakukan transparansi anggaran.
0 #type=(blogger)