MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Kode Davinci


THE Satanic Verse dan The Da Vinci Code, dua buku sastra (novel), sama-sama memorak-porandakan bangunan keimanan umat Islam dan Kristen (Katolik). Cuma reaksi kedua umat sangat berbeda. Yang satu mengincar dan ingin membunuh Salman Rusdhie, penulis The Satanic Verse, lainnya hanya mengecam Dan Brown, penulis The Da Vinci Code.
Di Indonesia, reaksi terhadap The Davinci Code tidak sampai membuat para fundamentalis agama bertindak kasar. Padahal, buku itu bermain-main dalam wilayah fakta dan fiksi, berusaha membeberkan bahwa Yesus adalah manusia.

Brown menulis Yesus atau Isa Almasih bukanlah Tuhan, melainkan manusia. Sebelum abad keempat, Yesus hanya dianggap manusia, tapi Kaisar Imperium Romawi kala itu, Konstantin, mendewakannya sesuai dengan keyakinan lamanya yang paganisme. Untuk keperluan klaim-klaim Kristen belakangan, Alkitab, setidaknya yang dianggap otoritatif, disunting dan digarap sesuai dengan keinginan kekuasaan kala itu. Banyak lagi kontradiksi dalam buku ini.

Intinya, novel ini berisi gagasan yang tidak lazim dan tidak dianut dalam arus utama teologi Kristen. Tetapi, mungkin karena reaksi umat Kristen tidak terlalu keras, Brown merasa sangat diuntungkan dari segi pemasaran. Makin diuntungkan ketika film "The Da Vinci Code" diputar serentak di seluruh dunia, 19 Mei lalu.

Di Lampung, kehadiran film ini sangat dinanti. Entah hal apa yang ingin diketahui orang Lampung. Atau, keinginan itu cuma untuk membuktikan, seperti apa sosok Yesus yang akan tampil di layar lebar. Yang jelas, sebagai produk industri perbukuan dunia, The Da Vinci Code memberi banyak keuntungan Dan Brown, penerbitnya, dan pemegang lisensi terjemahannya di Indonesia, Penerbit Serambi.

Bukan soal keuntungan bisnis perbukuan itu yang menarik. Melainkan soal reaksi umat beragama yang sangat berbeda. Kita tidak mengerti, kenapa ketika arus kuat teologi Kristen dihancurleburkan sebuah buku berjudul The Da Vinci Code, tak ada toko buku yang ditutup, tak ada sweeping ke bioskop, dan tak ada pedagang video compact disk (VCD) di kaki lima yang dagangannya dihancurkan? Kenapa tidak ada gelombang massa besar-besaran di Jakarta, yang mendatangi Lembaga Sensor Film untuk menggugat kebijakan menyetujui peredaran "The Da Vinci Code" di seluruh Nusantara?

Di Lampung, ketika heboh buku The Da Vinci Code, kalangan teolog Kristen mengelar diskusi. Sikap para teolog di Lampung, sama seperti sikap Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), cuma mengajak umat Kristiani tidak terpengaruh karena buku itu sebuah karya fiksi. "Itu fiksi belaka," kata Benny Susetyo, pengurus KWI, "bukan fakta historis Alkitab dan tidak mengguncangkan iman umat."

Padahal, kadar fiksional buku itu sama seperti The Satanic Verses, penuh khayalan yang tidak masuk akal. Tetapi, mungkin, semua ini terkait dengan kedewasaan dalam beragama. Mereka yang mengaku paling beragama, cenderung emosional menyikapi pandangan-pandangan kritis terhadap agama. Segala bentuk pandangan kritis terhadap agama, diterima dengan sikap kasar dan siap membunuh.

Inilah puberitas beragama saat seseorang yang jarang beribadah akan merasa terhina ketika teologi agamanya dihina. Mungkin, mereka berpandangan karena jarang beribadah, kualitas keagamaan bisa diukur dari meledaknya emosi ketika soal teologi dihina orang lain.

Sumber : http://lampungpost.com/cetak/berita.php?id

No comments

Terima kasih atas pesan Anda