MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Penenun Kemiskinan


Inang, menurutku, seorang penenun kemiskinan seperti juga sebagian besar penenun di kampungku. Seluruh waktu mereka habis untuk merangkai benang-benang kemiskinan, sehelai demi sehelai, sehingga menjadi sebentang kain yang justru melahirkan kemiskinan lain.


Jari-jemari Inang seperti punya mata, meniti di rentangan helai demi helai benang kain tenun berwarna hitam, lalu menyusup untuk mengaitkan benang warna-warni di antara benang-benang itu hingga terbentuk ornamen-ornamen indah. Tumpukan ornament-ornamen itu kemudian menjelma menjadi kain, dan orang-orang di kampungku menyebutnya ulos. Tiap ornamen itu merupakan symbol yang mengacu pada makna-makna filosofis budaya masyarakat kami. Sebab itu, seorang penenun seperti Inang juga seorang yang sangat paham tradisi, sehingga ia pun sangat mengerti untuk apa seseorang membeli ulos.

Jari-jemari Inang seolah bisa membedakan warna setiap benang yang terserak di sekitarnya, yang diraih Inang tanpa melihatnya. Ada puluhan benang, digulung dalam kertas hingga membentuk bulatan-bulan sebesar kelereng, sehingga gampang keluar-masuk di antara benang-benang yang tipis. Gulungan benang sebesar kelereng itu dimasukkan ke dalam kaleng bekas biscuit, dan apabila Inang menarik benang-benang itu, maka timbul suara yang sangat khas.

Silih berganti, setiap kali satu rajutan selebar setengah meter rentangan benang itu selesai, dengan kecekatan serupa jari-jemarinya, Inang mengeluarkan bilah-bilah bambo yang kami sebut balobas yang semula di dalam rentangan benang sembari mengetuk-ngetukkannya. Semilimeter demi semilimeter, rentangan benang-benang itu berubah menjadi kain. Inang harus mengetukkan balobas itu kencang-kencang sehingga benang menegang dan rajutan yang terbentuk juga akan lebih rapih.

Begitu terus-menerus Inang mengerjakan ulos itu dengan ketekunan seorang pengrajin tradisional, yang mewarisi bakat itu secara turun-temurun dari almarhumah ompung. Inang cuma butuh tiga pekan untuk menyelesaikan satu ulos sepanjang tiga meter itu, dan itu waktu yang sangat cepat dibanding penenun lainnya yang membutuhkan empat sampai enam pekan untuk menyelesaikan tenunannya. Selama tiga pekan itu, tubuh Inang terikat dengan peralatan yang sederhana itu, seolah-olah mereka telah menyatu. Inang baru melepas ikatan alat-alat tenun itu dari tubuhnya jika ingin buang air, atau saat panggilan azan terdengar dari langgar yang letaknya tak jauh dari rumah kami. Selama itu pula, aku yang menjaga Inang dan mengambilkan makanan atau minuman untuknya, serta menyuapinya.

Dua adikku, Tiurma (10) dan Sangap (5), untungnya, sangat mengerti dengan kondisi Inang sehingga mereka tidak berani bermanja-manja. Aku pun sering mengingatkan agar mereka belajar mengurus diri sendiri. Mereka menurut meskipun tidak jarang sikap anak-anak yang ingin mendapat perhatian lebih dari ibunya sering mereka perlihatkan di hadapan Inang, tetapi aku memakluminya asal tidak mengganggu pekerjaan Inang. Kalau mereka mulai mengganggu pekerjaan Inang, cepat-cepat aku bawa keluar rumah, dan mengajak mereka duduk di bangku panjang di bawah pohon nangka di halaman rumah. Mereka biasanya tanggap bahwa aku akan menceritakan suatu cerita seperti biasa selalu aku lakukan setiap kali mulai kewalahan meladeni kemanjaan-kemanjaan mereka.

Aku bukan tukang cerita yang bagus, karena aku sering mengulang-ulang cerita yang sudah pernah kuceritakan. Aku kewalahan mencari cerita karena semua cerita yang ada sudah kuceritakan, dan aku terpaksa mengarang sendiri cerita-cerita baru. Pernah aku menceritakan seekor ratu lebah yang terpaksa berdiam diri di dalam sarangnya sambil membangun sepotong demi sepotong sarang untuk meletakkan telur-telurnya. Pekerjaan itu dilakukan ratu lebah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pernah melihat dunia luar, dan tanpa melakukan hal-hal lain yang dilakukan lebah-lebah lain seperti mengisap sari bunga-bunga.
Ketika menceritakan itu, aku selalu teringat kepada Inang yang dalam bayanganku seperti ratu lebah itu, sembari kuandaikan alangkah tersiksanya kehidupan yang dijalani Inang dengan menutup diri terhadap dunia luar. Tapi, Amang, bukanlah lebah-lebah jantan yang pergi keluyuran mencari bunga-bunga mekar dan menghisap madunya untuk dibawa ke rumah. Amang memang keluyuran ke luar rumah, lalu pulang untuk mengambil madu dari dalam rumah dan menghamburkannya di kedai Amani Husor dengan berjudi sambil meminum tuak.

***

Sejak pabrik bubuk kopi milik Amani Luhut bangkrut karena tidak ada lagi biji kopi yang bisa digilingnya—sebagian besar kebun kopi ditebangi menjadi perkampungan--ditambah banyaknya kopi kemasan yang masuk ke kampung kami melalui pedagang-pedagang kamvaser dari Padangsidempuan, Amang dan sebagian besar laki-laki di kampung kami yang semula bekerja menjadi buruh di pabrik itu menjadi kehilangan pekerjaan. Amani Luhut sendiri terpaksa hidup dari hasil menjual satu per satu mesin penggiling kopinya yang masih sisa, karena sebagian besar sudah disita bank, dan ia semakin sering terlihat berjalan-jalan sendirian mengelilingi kampung kami sembari menggerutu sepanjang jalan. Belakangan Amani Luhut ditangkap orang sekampung dan dipasung di gubuk kecil bekas gudang penimbunan biji kopi di belakang rumahnya, karena ia tidak cuma suka menggerutu tetapi mulai gemar membentak-bentak setiap orang yang berpapasan dengannya seperti kebiasaannya membentak-bentaki para pekerja ketika pabrik penggilingan kopinya masih aktif.

Hampir semua bekas buruh di pabrik Amani Luhut itu tidak siap kehilangan pekerjaan, karena mereka tidak tahu mau bekerja apapun untuk menghidupi keluarganya. Pekerjaan lama mereka sebagai petani tidak bisa lagi diandalkan karena mereka tidak punya sawah untuk digarap. Semua penduduk di kampung kami, yang semula memiliki lahan garapan warisan dari orang tua masing-masing, kini tidak punya lahan lagi. Mereka menjual lahan-lahan itu beberapa tahun lalu ketika Amani Luhut baru membuka pabrik kopinya dan mengajak semua laki-laki di kampung kami yang biasa bersawah menjadi buruh di pabriknya. Para laki-laki itu pun merasa sangat betah bekerja di pabrik itu, lalu memutuskan menjual sawah mereka karena yakin gaji sebagai buruh pabrik cukup untuk menghidupi keluarganya.

Ketika sawah-sawah itu dijual, di kampung kami sedang demam orang memiliki parabola. Cuma dengan teknologi itulah orang-orang bisa mengikuti perkembangan zaman melalui pesawat televisi, karena antena biasa cuma bisa menangkap TVRI yang acaranya melulu propaganda politik pemerintah. Makanya, hampir semua rumah di kampung kami memiliki parabola, sekalipun kondisi rumah-rumah itu sangat memprihatinkan dengan dinding kayu tua lapuk dan atap seng buruk yang sudah karatan dan penuh tambalan.

Namun, sejak pabrik kopi itu tutup dan banyak laki-laki yang menganggur, parabola tidak ada lagi di kampung kami. Para pemiliknya menjual parabolanya untuk membeli beras atau kebutuhan hidup lainnya. Satu-satunya parabola cuma ada di kedai milik Amani Husor, dan setiap orang di kampung kami senantiasa berada di dalam kedai itu menghabiskan waktu berhari-hari, sambil memesan kopi yang setiap jam selalu ditambah airnya.

Amang termasuk salah seorang yang gemar menghabiskan sehari penuh di kedai Amani Husor, dan baru pulang ke rumah dinihari ketika kami—ketiga anaknya—sudah terlelap. Biasanya, Amang pulang membawa aroma minuman keras di mulutnya, yang sering membuat aku tersentak bangun dan cepat-cepat membukakan pintu. Pagi harinya Amang bangun dengan sisa tuak yang masih mengendap di rongga kepalanya. Suaranya yang keras menggoyangkan tiang-tiang rumah seperti ingin merobohkannya ketika meminta dibuatkan secangkir kopi, lalu duduk di kursi rotan tua sambil menyedot rokok Union-nya.

Berulangkali ia akan mendahak dan meludah keluar dari jendela. Akulah yang memenuhi semua kebutuhan Amang, membuatkannya secangkir kopi kalau kopi dan gula ada. Kalau tidak ada, aku akan diam-diam ke warung Amani Husor, membeli gula atau kopi dengan sisa uang belanja yang diberikan Inang kepadaku. Selesai ngopi, biasanya, Amang keluar. ”Ada kau simpan uang, Nurma,” katanya.

Aku tak pernah bisa menolak, karena Amang tidak akan segan-segan memukuliku. Sisa uang belanja dari Inang kuberikan.

Sedangkan Inang yang sudah mulai mengikatkan tubuhnya pada peralatan tenun, biasanya tidak banyak bicara. Inang harus memburu menyelesaikan pekerjaannya untuk menenuhi pesanan pelanggan dari Padangsidempuan, yang membutuhkan Ulos Godang itu untuk menikahkan anak sulungnya.

Inang selalu berusaha menjaga pelanggannya agar tidak kecewa. Semua keinginan mereka dipenuhinya tanpa banyak menuntut, sekalipun tidak jarang pelanggan yang datang itu menjual kembali hasil tenunan Inang dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang diberikan oleh Inang. Inang juga tahu soal itu tetapi ia tidak pernah mau meributkannya, karena Inang selalu bilang, ”Yang penting kita harus mensyukuri rezeki yang ada. Begitu kita mensyukurinya, Tuhan akan menambah rezeki itu.”

Tapi, aku tak pernah bisa menerima perlakuan para pelanggan Inang itu. Sering kukatakan agar Inang menetapkan harga lebih tinggi karena cuma Inang satu-satunya penenun yang mampu menghasilkan kain bagus dan indah. Banyak penenun lain tetapi hasil karya mereka sering tidak memenuhi keinginan para pembeli, karena banyak dari ornamennya tidak sesuai dengan ornamen ulos yang semestinya. Ornamen-ornamen yang mereka buat tidak lagi mengandung falsafah warisan leluhur budaya Batak Angkola, karena penempatan ornamen di setiap lembar ulos mengandung ajaran-ajaran kehidupan yang bila diamalkan akan membuat hidup lebih tenang, dan orang bersangkutan selalu akan tawadu dan husnuzon.

Begitulah Inang selalu menceritakan makna setiap motif dan ornamen ulos yang ditenunnya, lalu Inang mengatakan, ”Inang tidak cuma mencari nafkah dengan menenun ulos, tapi juga melestarikan ajaran-ajaran leluhur kita agar orang-orang zaman sekarang bisa hidup tenang dengan rasa toleransi yang tinggi.”

***

Hampir tiga pekan, akhirnya, Inang menyelesaikan tenunannya. Bertepatan dengan itu, pemesan ulos datang dari Padangsidempuan. Kijang biru metalik yang dikendarainya diparkir di halaman rumah. Kulihat Tiurma dan Sangap mendekati mobil itu, mengaguminya, tetapi sopir orang itu menyuruh mereka menjauh. Aku keluar dan menyuruh mereka menjauh, lalu ke dalam lagi untuk menyiapkan minuman. Ketika aku datang sambil membawa minuman, kulihat pemesan itu sedang memeriksa hasil kerja Inang.

”Luar biasa!” Perempuan bertubuh gendut yang gemar tersenyum untuk memperlihatkan sebutir gigi emasnya itu memuji karya Inang. Berulang-ulang diselempangkannya ulos itu di pundaknya, dan setiap kali ulos itu sudah terselempangkan, perempuan gendut itu membuat gerakan-gerakan menari tor-tor. ”Maaf, aku selalu tidak bisa menahan diri untuk tidak manortor kalau sudah kuselempangkan ulos,” katanya.

Kulihat Inang tersenyum. ”Eda pantas sekali memakainya. Kapan horjanya diadakan?” tanya Inang.

”Anu...rencananya besok,” perempuan gendut itu terlihat gugup.

Aku dan Inang tahu persis, ulos itu bukan untuk dirinya sendiri. Perempuan gendut itu pedagang dari Padangsidempuan, yang akan menjual ulos itu kepada pemesannya. Tapi, ia berpura-pura sebagai orang yang akan memakai ulos itu. Dengan begitu, ia akan mendapat ulos dengan harga lebih murah dari harga biasanya, karena para penenun ulos tidak boleh menaikkan harga bagi orang yang akan menggunakan kain adat itu untuk keperluan horja. Ada semacam toleransi yang tak tertulis dari para penenun ulos untuk mempermudah semua urusan orang-orang yang akan melaksanakan horja. Aku tahu persis soal itu dari Inang, makanya perempuan gendut itu membuat aku muak. Buru-buru aku ke dapur, meninggalkan Inang bersama tamunya.

”Berapa lagi sisa uangnya?” Perempuan gendut itu mengalihkan pembicaraan. ”Sebelumnya aku sudah kasih Rp50.000, tinggal Rp200.000 lagi kan?” katanya.

”Rp300.000 lagi, Eda.” Inang meralatnya. ”Kita sepakat harganya Rp350.000.”

”Eda! Ulos ini mau kupakai sendiri. Persiapan horja perkawinan anak sulungku sudah banyak menghabiskan uang. Tolonglah aku, Eda, jangan sampai karena ulos ini horja itu jadi batal.”

Inang terdiam. Dari dapur aku menunggu reaksi Inang. Aku berharap kali ini Inang mau bicara lugas dan mengatakan yang sebenarnya bahwa perempuan gendut itu berbohong. Tapi, ketika aku dengar Inang mengatakan ”baiklah”, aku terduduk di kursi rotan tua. Aku sudah menduga Inang pasti tidak sanggup bicara lugas karena ia selalu berusaha menjaga agar pelanggannya tidak pergi.

”Mauliate ma da, Eda,” kata Inang setelah menerima sisa uang Rp200.000.

Ah, Inang, ia masih juga berterima kasih meskipun dibohongi.

”Mauliate.” Perempuan gendut itu tersenyum.

Aku melihat wajah perempuan gendut itu begitu puas. Aku tahu rasa puas itu bukan karena sudah memperoleh ulos dengan harga murah, tetapi karena berhasil membohongi Inang. Begitu ia berada di dalam perjalanan ke Padangsidempuan, ia pasti akan bilang kepada sopirnya, ”Bodoh kali orang itu mau aku bohongi. Ulos sebagus ini bisa aku bisa jual Rp500.000, bahkan Rp1 juta.”

Setelah perempuan gendut itu pergi, Inang memberiku Rp100.000 dari uang itu, ”Kau bayar uang sekolah kau dan adikmu Tiurma, sisanya untuk belanja kita sehari-hari. Sekarang kau pergi beli beras dan minyak goreng! Inang mau membeli benang-benang baru karena benang tenun Inang sudah habis.”

Aku mengajak Tiurma dan Sangap ke kedai Amani Husor. Tapi, baru saja kami mau melangkah keluar rumah, tiba-tiba datang seseorang memberi tahu bahwa Amang ditangkap polisi di kedai Amani Husor. Amang bersama kawan-kawannya tertangkap basah sedang berjudi. ”Amani Husor juga ditahan,” kata tamu itu.

Aku lihat Inang tenang saja sambil meremas uang Rp100.000 di tangannya. ***

Sipirok, i—2002

No comments

Terima kasih atas pesan Anda