Rumah dengan Jendela yang Retak
Tiba-tiba saja ia sudah berada di tengah-tengah warga pekon, tinggal di dalam rumah almarhum Radin Magegik. Rumah itu sudah bertahun-tahun tak berpenghuni. Kondisinya pun sudah rusak di sana-sini. Semua jendela kacanya pecah. Rumput tumbuh di atap yang terbuat dari ijuk. Halamannya disemaki ilalang dan perdu.
Tak seorang pun tahu bagaimana ia bisa berada di sana. Berdiam di dalam rumah. Tak pernah menyalakan lampu. Tak pernah bersuara. Hanya sosoknya yang kadang berkelebat. Sekali-sekali ia muncul di beranda. Hanya sebentar. Kemudian ia terlihat di halaman, di antara rumpun perdu yang menyemak.
Ia seolah-olah bisa dengan sangat ajaib melipat-lipat ruang dan menembus waktu dalam sekejab. Sesuka hatinya. Datang dan pergi bagai telah ditemukannya sebuah pintu yang dapat dibuka dan ditutupkan kembali. Sangat ganjil. Tiap sebentar sosoknya tampak, tak lama berselang telah hilang. Dan orang-orang pekon, bergidik setiap kali memandang ke rumah itu.
Rumah itu bertahun-tahun tak berpenghuni. Sejak Radin Megegik meninggal dirongrong rasa kehilangan luar biasa atas kepergian anak tungalnya, Udo Yamin. Pada suatu malam yang senyap, setelah kematian Koh Acui yang tragis, Udo Yamin menghilang. Tak ada yang tahu pasti alasan hilangnya Udo Yamin.
Tapi, konon menyebutkan, Koh Acui, pemilik pabrik penggilingan beras, mati dihabisi Udo Yamin bersama teman-temannya. Anak-anak muda yang entah berapa ribu kali diingatkan Ginda Rahma, pemilik warung tempat mereka selalu berkumpul, agar mencari pekerjaan yang pasti. Sebab, setelah rombongan anak-anak muda itu menghilang, polisi berkali-kali masuk pekon.
Adalah Ginda Rahma yang membeberkan ketika polisi datang ke rumahnya. Berseragam lengkap, polisi hanya mengajukan satu pertanyaan: "Ada yang bilang, ibu akrab dengan anak-anak muda itu."
Ginda Rahma tergeragap. Tanpa diminta, ia berkoar: “Mereka merencanakannya di warung saya. Ketika itu tidak ada pembicaraan bahwa Koh Acui harus mati dengan tragis.“
"Jadi...." Polisi menyimpulkan. “Kau harus bertangung jawab.”
Koh Acui mati. Mati pula salah satu sumber penghasilan polisi. Karena itu, polisi sangat bernafsu mencari orang yang menutup sumber penghasilan tambahan mereka.
“Saya tak tahu menahu.” Ginda Rahma tak mau disalahkan.
Tapi, kalimat yang sama—tak tahu menahu—tak berlaku bagi warga pekon ketika beberapa orang menanyakan apa motif Ginda Rahma menyebutkan nama-nama anak muda itu kepada polisi, sehingga mereka menjelma hewan buruan sedang polisi menjelma pemburu. Radin Megegik, ayah Udo Yamin sekaligus penyimbang pekon, melabrak Ginda Rahma ke warungnya. Setelah memecahkan empat buah toples dengan sekali hentak, ia meminta Ginda Rahma meralat kesaksiannya.
“Atau kau akan tahu akibat kesaksianmu,” ancam Radin Megegik.
Pucat pias serupa bulan kesiangan, Ginda Rahma terlipat di sudut warung. Makin terpojok ketika setiap orang di pekon menghukumnya dengan cara yang sangat halus, tak mau belanja di warungnya, dan Ginda Rahma tak tahan berdiam di pekon. Pada suatu malam berhujan, hanya membawa beberapa toples berisi makanan kecil, Ginda Rahma pergi diam-diam. Beberapa bulan kemudian, Mpok Wina sudah menjadi pemilik baru dari warung itu. Sejak itu tidak ada lagi anak-anak muda penganguran yang nongkrong di sana.
Sejak saat itu pula, Radin Megegik diserang stroake kecil pada urat betisnya yang membuat kaki-kakinya hilang gerak. Makin parah manakala istrinya mati ditabrak sepeda motor baru milik anak Minak Gawi, sedang anak itu mati dipukuli massa dan dibakar bersama sepeda motornya. Minak Gawi tak terima perlakuan massa dan mengadukan semua warga pekon ke polisi. Karena masih tak punya sumber penghasilan tambahan sejak Koh Acui meninggal dan masih menyimpan dendam kesumat kepada warga pekon, polisi melihat ada pelang untuk tambahan penghasilan dan menangkap semua warga tanpa pandang buluh.
Setelah penangkapan itu, Minak Gawi membawa seluruh anggota keluarganya ke Tulangbawang, tinggal di sana dan melanjutkan usahanya sebagai pedagang pengumpul kopi.
Pekon itu menjadi sangat sepi, hanya diisi anak-anak dan perempuan. Mereka tidak berani keluar rumah kalau tidak perlu, juga tidak mendengar ketika Radin Megegik meregang nyawa di dalam rumahnya yang sunyi. Dan segalanya pun berubah di pekon itu.
***
TIDAK seorang pun di pekon yang paham bagaimana ia tiba-tiba sudah terlihat—siang atau pun malam--berjalan sendiri mengitari pekon, berkeliling seperti seseorang yang kehilangan barang berharga, sehingga ia tampak bagai tak punya tujuan dalam hidup. Sering ia terlihat berdiri berlama-lama pada tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon asam di pinggir tanah lapang atau di dangau kecil yang menghadap ke Way Sekampung--seolah-olah ada sesuatu yang sangat penting pada tempat-tempat itu. Tidak jarang ia tersenyum, nyengir, dan tergelak….
Bukankah wajah penuh keriangan seperti itu hanya milik mereka yang berhasil memunguti pecahan-pecahan kenangan dan menyatukannya kembali seperti menata sebuah puzzle? Seperti merpati sukses mematoki remah-remah roti yang bertaburan. Bagaimana ia bisa punya kenangan di pekon itu. Bukankah ia… Orang baru.
Ada kala ia mematung dan wajahnya menunduk seolah jatuh. Kesedihan mekar pada bola mata itu. Tidak. Ia tampaknya tidak terlalu asing dengan semua sudut pekon. Sudut-sudut yang biasa dipergunakan anak-anak untuk bermain. Dan segeralah kabar itu menyebar sebagai kabar burung, berbiak dan mengembang. Kehadirannya menjadi bahan pergunjingan warga pekon. Setiap orang bertanya siapakah gerangan dirinya? Apakah yang ia inginkan? Setiap orang akhirnya menduga-duga. Setiap orang menjadi was-was. Tapi, tidak seorang pun berani menegurnya sampai Lurah Kamal memanggil para anggota pamong untuk mencari tahu apa yang diinginkan orang itu.
“Ulun Lappung!“ Darma akhirnya dapat mengingat. Ia datang ke rumah Lurah Kamal sesuai undangan pamong itu. "Ia ulun lappung. Aku sudah ingat.“
"Bagaimana kau tahu?“ Rustam tak percaya. "Sudah lama mereka tak terlihat muncul di sini.“
“Ia datang ke rumahku. Ia bertanya apakah ia bisa bertemu dengan Minak Gawi.”
“Minak Gawi!?”
“Rumah aku itu dulunya milik Minak Gawi. Tapi setelah laki-laki itu meninggal, salah seorang anaknya menjual rumah itu kepada mertuaku. Kalian pasti masih ingat bagaimana anak-anak Minak Gawi akhirnya saling tusuk untuk berebut pembagian hasil penjualan.”
“Bagaimana kami melupakan peristiwa itu. Kampung ini gempar dan beberapa orang dari kita dimintai polisi sebagai saksi. Saya ingat Pak Lurah juga diminta jadi saksi,” kata Rustam.
“Polisi mengira kita menutup-nutupi kejadian itu.” Yunus terlihat geram. “Saya masih ingat bagaimana polisi menakut-nakuti saya, sehingga saya harus bayar satu juta agar bisa lepas.”
“Itu masa lalu.” Lurah Kamal menengahi sambil melirik Darma. “Untuk apa ia bertanya tentang Minak Gawi.”
Darma menggeleng. “Saya tak menanyakannya, lagi pula ia langsung pergi begitu saya bilang Minak Gawi sudah lama menjual rumahnya. Kalau ia datang lagi, akan saya tanyakan tujuannya.”
“Jangan cari masalah dengan dia.” Burhan mengingatkan. “Sampai kapan pun saya tidak akan lupa kejadian lima belas tahun lalu.”
“Lima belas tahun lalu saya belum di sini?! Ada apa lima belas taun lalu?” tanya Darma.
“Bagaimana pun sukar melupakannya. Pak Lurah masih ingat kejadian itu? Waktu itu almahum Marwan yang menjadi lurah.”
“Bagaimana saya melupakannya. Kejadian itu membuat almarhum Marwan kena serangan jantung, hampir sebulan kemudian ia meninggal.”
“Siapa pun pasti tidak akan tahan menerima kenyataan itu.” Rustam mengangguk pelan.
“Apa yang terjadi.” Darma mendesak.
“Siti Khajar, anak gadis almarhum Lurah Marwan. Ah, mereka betul-betul melebihi binatang.”
“Apa yang mereka lakukan.”
“Gadis itu ditemukan mati di gubuk dekat Way Sekampung, di repong milik Mat Zilie. Mereka membunuhnya setelah memperkosanya.”
“Astagfirulloh....”
“Kalau betul dia ulun Lappung, kita harus hati-hati.”
“Kita usir saja dia.”
“Jangan. Kita buktikan dulu kalau dia ulun Lappung.” Lurah Kamal kemudian menawarkan strategi agar setiap orang mengawasi ulun lappung itu. Semua tindakannya harus diketahui, sehingga bisa dilakukan antsipasi jika ada tanda-tanda yang buruk.
Seusai pertemuan itu, kabar bahwa ia ulun Lappung dengan segera menyebar seperti virus memasuki rongga udara. Begitu cepat. Ada juga yang masih meragukannya. Bukankah ulun Lappung telah lama tidak terlihat lagi? Bukankah…. Bukankah….
Begitu ajaib, kata ulun Lappung segera membuat setiap orang bagaikan ditodong dengan moncong senapan. Masa lalu berkelebat dalam pikiran dengan segera, dan setiap orang diserang ketakutan yang kemudian membayang pada bola mata mereka serupa kabut turun menutup pegunungan.
“Pantaslah orang itu terlihat begitu dingin?” Ada yang membuat simpul. Yang lain mengamini. Tak sedikit yang memperlihatkan kegelisahan hatinya.
***
“IA datang ke rumahku dan bertanya tentang Ginda Rahma.” Mpok Wina datang tergopoh-gopoh ke rumah Lurah Kamal.
"Kau bilang apa padanya?“ Istri Lurah Kamal yang menimpali. "Kau kasih tahu apa yang menimpa Ginda Rahma?“
"Tidak, tidak. Aku bilang tak ada orang bernama Ginda Rahma. Tapi, ia bilang dulu rumah saya itu milik Ginda Rahma. Ia lalu bertanya apakah aku tahu kemana perginya Ginda Rahma.“
"Kenapa tidak kau katakan yang sebenarnya.“
"Yang sebenarnya. Mana aku tahu. Kenal wajahnya saja tidak. Aku beli rumah ini dari seseorang di Menggala. Dia bilang Ginda Rahma mau menjual rumahnya dengan harga murah karena butuh uang.“
Lurah Kamal mengangguk. „Ya, sudah. Tapi, kalau dia datang lagi, kau ceritakan apa adanya.“
"Tentang Ginda Rahma? Apa yang harus aku ceritakan?“
"Kau ceritakan bagaimana kau bisa memiliki rumah itu. Kau ceritakan kalau rumah itu kau peroleh dari keluarga dekat Ginda Rahma. Kau ceritakan bahwa kau tak pernah bertemu Ginda Rahma sampai rumah itu kau tempati.“
"Apa ia akan percaya.“
"Kita lihat saja nanti.“
"Ndak, Pak Lurah. Aku lebih baik tidak banyak tahu. Aku lebih baik menghindarkan pertemuan dengannya.“
"Baik, baik. Kau pulanglah!“
Ketika Mpok Wina mau bangkit dari kursi, seseorang berteriak dari halaman rumah Lurah Kamal. Tak lama kemudian muncul Husin dengan kulit wajah memucat. Laki-laki itu tak langsung bicara, tetapi diam untuk menenangkan detak jantungnya yang memompa kencang sehabis dibawa berlari.
"Ada apa?“ Lurah Kamal mendesak. "Kau seperti dikejar hantu.“
"Hantu ulun Lappung itu mengejarku." Suaranya terputus-putus.
"Hantu. Kau bilang dia hantu.“
"Dia menanyakan kenapa aku berada di repong milik Mat Zilie. Bagaimana aku menjawab pertanyaan aneh itu. Bukankah repong itu aku wariskan dari mertuaku dan aku tidak tahu menahu bagaimana repong Mat Zilie itu, kalaupun itu benar, bisa menjadi milik mertuaku.“
"Seharusnya kau ceritakan begitu.“
"Aku sendirian di repong itu. Mengetahi dia mendatangiku saja sudah membuatku takut.”
“Kau terlalu berlebihan.”
“Berlebihan bagaimana, Pak Lurah. Semua orang membicarakanya sambil mengenang bagaimana mereka di masa lalu. Aku kira tidak seorang pun mau hal mengerikan seperti itu terulang.“
"Kau terlalu ketakutan.“
"Aku rasa Pak Lurah juga sama ketakutannya dengan warga lainya. Akui sajalah!“
Lurah Kamal menelan air ludah yang terasa pahit. Ketakutan?! Tentu. Ia tahu persis bagaimana rasa takut tumbuh dalam dirinya beberapa tahun lalu saat baru menjadi warga pekon, lalu rasa takut itu berhasil diatasinya secara perlahan-lahan ketika satu per satu anggota keluarganya datang dari Malang, Jepara, Wonogiri, Purwodadi, Panarukan, dan lain-lain. Mereka membeli sepetak demi sepetak lahan dari tangan warga pekon sampai sepetak demi sepetak tanah itu berganti pemilik. Tapi ketakutan itu masih saja membayang manakala ia ingat bagaimana para ahli waris pemilik tanah datang sambil mengancam merebut kembali tanah leluhurnya. “Ini tanahku!”
Lalu, tanah itu berubah jadi tumpah darah. Darah Koh Acui. Membuncah dari luka di lambungnya yang robek oleh belati. Betapa ajaib. Segala ketakutan itu akhirnya teratasi.
Tapi kini….ah, ketakutan lain membayang, mengembang, dan Lurah Kamal hanya menatap Husin. Begitu kosong.
***
“LURAH Kamal ada?” Ia sudah berdiri di balik pintu. Orang itu, ulun Lappung. Dengan segera istri Lurah Kamal memucat. Pias. Pasi. “Paaak....!” Teriakannya meledak memanggil Lurah Kamal.
Melesat Lurah Kamal berlari ke ruang tamu bagai diluncurkan. “Ada apa, Bu?” Tapi pertanyaan itu tak butuh jawaban demi melihat tamunya. Lurah Kamal tergeragap, undur dua langkah. “Ada apa?”
“Maaf, saya mengganggu.”
Lurah Kamal diam, lama memperhatikan tamunya. Ini kali pertama ia melihat dengan jelas. „Aku ingat kau. Bukankah kau.....“
"Ya, saya. Yamin. Dulu orang-orang memanggil saya Udo Yamin. Masih ingat dengan saya?“
"Mau apa kau?“ ketus nada Lurah Kamal.
"Ada urusan lama yang ingin saya bicarakan.“
"Urusan lama? Apa maksudmu.“
"Masih ingat Koh Acui.“
Tergeragap Lurah Kamal. Inilah yang ditakutkannya, yang selalu membayanginya, yang senantiasa menghantuinya, dan.... "Aku tak kenal Koh Acui.“
"Tapi masih ingat saya kan, juga empat anak muda pengangguran yang sering berkumpul di warung Ginda Rahma? Masih ingat kejadian malam itu di pabrik Koh Acui?“ Ia diam seperti memberi waktu bagi Lurah Kamal untuk mengingat semuanya. "Kami mendatangi Koh Acui malam itu, meminta sedikit uangnya, karena ia pantas dimintai. Ia harus ikut memikirkan nasib setiap orang di pekon ini, karena ia mengambil banyak keuntungan dari kerja setiap warga.
"Kau tahu apa kata Koh Acui. Ia minta keringanan, karena ia masih harus nyetor uang keamanan setiap pekan kepada polisi, memenuhi permintaan Lurah Marwan yang korup, membayar petugas jaga malam setiap bulan, dan memenuhi keinginan petugas kelurahan yang selalu mengajukan proposal permintaan dana. Semua pungutan itu membuat keuntungan Koh Acui tak ada, membuat usahanya nyaris bangkrut.
"Kami bilang tak mau tahu dan memaksa meminta uang sekedar untuk beli minuman. Ia masih meminta keringanan. Tapi kemudian ia tidak bisa menolak ketika saya membentak.
"Ia beri kami seratus ribu. Katanya, cukup untuk membeli beberapa botol minuman. Kami berterima kasih atas kebaikannya dan meningalkannya. Tapi, ketika kami pergi, sebelum kami benar-benar meninggalkan pabriknya, saya melihat seseorang memasuki pabrik itu secara diam-diam. Esok paginya kami dengar Koh Acui mati dibunuh perampok. Lalu kami dituduh dan diburu.
"Untuk apa kau ceritakan semuanya." Suara Lurah Kamal meninggi.
"Belakangan saya tahu siapa yang datang ke pabrik setelah kami pergi.” Ia menatap Lurah Kamal. “Lurah Marwan, kau, Rustam, Somad, dan…. “ ***
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda