Sinyal Sejarah Pemberantas Korupsi

by - April 02, 2010

Hari-hari terakhir di tahun 2009 ini, kita melihat penegakan hukum terhadap koruptor melemah. Apalagi setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendadak tidak punya ketegasan menyikapi remomendasi tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution.


Kondisi ini sangat mengecewakan, terutama karena riwayat pemberantasan korupsi sudah menyejarah di negeri ini. Banyak lembaga ad hoc dibentuk, produk-produk hukum pun sudah menumpuk, sebagian malah sudah terlupakan dan terabaikan.
Para elite di negeri ini pun melupakan bahwa kehancuran semua rezim penguasa, selalu diawali dengan buruknya kebijakan penegakan hokum terhadap korupsi.

Sinyal Sejarah
Membolak-balik sejarah penegakan hokum di masa lalu, bisa dibilang apa yang terjadi belakangan ini sebagai sinyal kehancuran sebuah rezim penguasa negara.
Ketika Presiden Soekarno membentuk Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dia berhasrat memberantas korupsi. Bukan tanpa alasan Abdul Haris Nasution, Prof Muhammad Yamin, dan Roeslan Abdulgani—orang-orang hebat dan berpengaruh pada zaman itu—ditunjuk sebagai pemimpin institusi yang bertugas memberantas korupsi.
Sepak terjang Paran begitu luar biasa. Dalam kurun tiga bulan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp11 miliar. Jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Tapi, Soebandrio kemudian mengumumkan pembubaran Paran dengan alasan mengganggu prestise Presiden Soekarno.
Lembaga serupa teta ada, namanya Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Kotrar dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno, dibantu Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Tapi sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya stagnasi. Korupsi meraja lela, kemiskinan meningkat, kesejahteran timpang, stabilitas politik mengkhawatirkan, dan rezim penguasa itu akhirnya runtuh.
Rezim baru yang dipimpin Soeharto, ternyata tak lebih hebat, meskipun koar-koarnya untuk memberantas korupsi lebih bergema. Tim Pemberantas Korupsi (TPK), yang bekerja seperti Paran, tapi memelihara korupsi di lingkungan Pertamina, Bulog, dan Departemen Kehutanan. Ketiga institusi itu punya hak istimewa, tak boleh diganggu gugat.
Korupsi berlangsung di dalamnya seperti orang bernafas. Akibatnya, cadangan minyak akhirnya terkuras dan tak jelas juntrungannya. Tata niaga bahan pangan dan hasil-hasil pertanian lainnya dimonopoli Bulog, petani diperbudak. Hutan-hutan dibabat karena cukong-cukong mengantongi izin HPH seolah-olah negeri ini milik leluhurnya, masyarakat disuruh menanggung kabut asap dan meratapi banjir.
Kita tahu, akumulasi semua kebobrokan rezim Orde Baru melahirkan kemarahan sosial. Rezim itu kemudian hancur dan reformasi bergulir. Tapi, penegakan hukum terhadap korupsi tak ikut direformasi. Ada perubahan pada rezim B.J. Habibie, terutama pembentukan UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi hal itu tak banyak membawa pengaruh sampai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggantikannya.
Di zaman Gus Dur, segala sesuatu semakin parah. Gus Dur sendiri akhirnya dilengserkan karena kasus korupsi Bantuan Sultan Brunei dan Dana Non Bugeter Bulog. Digantikan Megawati Soekarnoputri, wakil Presiden saat itu. Di tangan anak Presiden Soekarno ini, ternyata lebih parah. Dia punya andil memberikan SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, dan lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA.
Pada Pemilu 2004, Megawati Soekarnoputi kalah dan digantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di zaman SBY, sama seperti ketika Presiden Soeharto pertama kali muncul, semangatnya meledak-ledak untuk “membabat” koruptor. Media menyanjungnya karena SBY mampu membangkitkan ekspektasi masyarakat. Wacana memberantas korupsi pun jadi percakapan sehari-hari. Tak ada pejabat negara yang bisa bernafas tanpa menyebut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), banyak pejabat yang menolak jadi pemimpin proyek karena yakin pasti akan terlibat korupsi. KPK menjadi lembaga super body, menerjang kemana-mana, menangkap dan memenjarakan siapa saja.
Tapi kemudian kita tahu, seperti Paran dan lembaga-lembaga sejenis yang muncul pada rezim-rezim lalu yang mesti menjaga prestise Presiden, KPK tampaknya mengalami hal serupa.

Menjaga Prestise
Sudah tradisi, setiap pemegang kekuasaan rezim di negeri ini, selalu fokus pada urusan memberantas korupsi. Mereka senantiasa koar-koar akan “membabat” korupsi sampai ke akar-akarnya. Tapi, seperti kata pepatah “lidah tak bertulang”, para pemegang kekuasaan negara itulah sebetulnya akar korupsi tersebut. Sebab itu, sejarah pasti akan berulang.
Terhadap rezim SBY, sinyal-sinyal sejarah juga terlihat saat ini. Jika di zaman Orde Lama Jenderal Abdul Haris Nasution bertengkar Subandrio—masing-masing menjadi personifikasi lembaga negara-- terkait akibat pemberantasan korupsi, di zaman Orde Baru Jenderal Abdul Haris Nasution bertengkar dengan Laksamana Sudomo. Di zaman SBY, kita tahu siapa yang bertengkar. Penyebabnya juga sama, menjaga prestise




You May Also Like

0 #type=(blogger)