Sastra Berbahasa batak dari Kampung
RUMAH TANGGA sastra kita hari ini, karena euforia dari rakyat sebuah bangsa yang baru merdeka, ditandai sebagai sastra berbahasa Indonesia. Dengan gagah, para pendahulu kemudian sibuk mengurus priodesasi, hanya untuk menetapkan jenis kelamin sejarah sastra Indonesia.
Kita pun mengenal angkatan-angkatan, seolah sebelum zaman itu tak ada karya sastra yang diciptakan. Karena kesalahan para pendahulu, generasi sekarang pun salah menafsirkan. Maka, sastra yang memuat konten lokal disebut sebagai sastra dengan teknik baru yang mengagungkan kelokalan, sehingga perlu diabaikan mengingat sastra sudah menjadi bagian dari dunia yang luas.
Perduli amatlah! Sastra, bagi saya, bahan bacaan. Sastra medium komunikasi, sumber informasi, dan dengan itu saya mendapat banyak hal. Novel Sitti Djaoerah: Padan Djanji Na Togoe (1927) karya Soetan Hasoendoetan Siregar, satu dari banyak novel berbahasa Batak yang membuat saya mencintai sastra. Pertama kali membaca novel ini ketika saya menemukannya di tumpukan buku milik almarhum ompung, Guru Lagut, pada dekade 1980-an.
Saya masih anak sekolah dasar. Dan saya menjadi paham, Soetan Hasoendutan Siregar, satu diantara sekian banyak sastrawan cum jurnalis yang lahir dari lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya fenomenal bagi masyarakat di lingkungan Batak Angkola, karena setting cerita memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat. Saya ingat cerita ompung, bahwa masyarakat menunggu karya-karya terbaru hanya untuk mengetahui setting cerita dalam karya sastra itu.
Sebelum Soetan Hasoendoetan Siregar tampil sebagai sastrawan yang disanjung, beberapa tahun sebelumnya masyarakat di Kecamatan Sipirok juga mengenal Soetan Pangoerabaan Pane dengan novelnya Toelboek Haleon--juga berbahasa Batak. Soetan Pangoerabaan Pane ini kemudian melahirkan anak-anak yang kelak namanya mengukir sejarah sastra moderen di negeri ini, yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane. Salah seorang anaknya, Lapran Pane menyejarah sebagai pendiri HMI, yang banyak melahirkan elite di negeri ini.
Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paranjulu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1890. Ia masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Ia menikah pada usia 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu hijrah ke Tano Doli (Kota Medan) tahun 1908. Semasa hidup, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919, ia pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga.
Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar Poestaha—surat kabar berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial, roman ini mendapat respon positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan menjadi buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya 457 halaman. Kedua jilid buku roman tersebut diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar.
Tema Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).
Yang khas dalam roman Sitti Djaoerah, nasib tokoh-tokohnya. Jika zaman itu semua karakter berakhir dengan kematian, Sitti Djaoerah justru tidak. Seorang tokoh perempuan justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Ia adalah perempuan yang tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya.
Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.
Keunikan lain adalah bahasa. Roman-roman yang terbit zaman itu ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit diluar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan justru menulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat roman tersebut, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah ia menulis romannya dalam bahasa Batak.
Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat keTano Doli ketika melewati daerah Toba. Sementara saat Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing), Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman tersebut. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman tersebut.
Soetan Hasoendoetan meninggal pada tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia merdeka. Berita meninggalnya Soetan Hasoendoetan kala itu tidak terlaporkan secara luas. Barangkali, hiruk-pikuk kemerdekaan saat itu boleh jadi menjadi alasan mengapa Soetan Hasoendoetan sebagai seorang pengarang tidak muncul ke permukaan. Selain itu, karya-karyanya tampaknya tidak dikenal luas, bahkan keberadaan dirinya pun kurang populer di kalangan pembaca Indonesia umumnya. Di samping karena karyanya ditulis bukan dalam bahasa Melayu (Indonesia), sebagaimana dilakukan pengarang sekampungnya seperti Merari Siregar, Armijn Pane, Sanusi Pane dan pengarang yang lebih muda, Mochtar Lubis.
Roman ini jadi bahan Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli. Bahkan Rodgers telah menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers].
Sayangnya, tak banyak masyarakat di Kecamatan Sipirok yang membaca novel saat ini.
Perduli amatlah! Sastra, bagi saya, bahan bacaan. Sastra medium komunikasi, sumber informasi, dan dengan itu saya mendapat banyak hal. Novel Sitti Djaoerah: Padan Djanji Na Togoe (1927) karya Soetan Hasoendoetan Siregar, satu dari banyak novel berbahasa Batak yang membuat saya mencintai sastra. Pertama kali membaca novel ini ketika saya menemukannya di tumpukan buku milik almarhum ompung, Guru Lagut, pada dekade 1980-an.
Saya masih anak sekolah dasar. Dan saya menjadi paham, Soetan Hasoendutan Siregar, satu diantara sekian banyak sastrawan cum jurnalis yang lahir dari lingkungan masyarakat Kecamatan Sipirok. Karya-karyanya fenomenal bagi masyarakat di lingkungan Batak Angkola, karena setting cerita memiliki kedekatan dengan masyarakat setempat. Saya ingat cerita ompung, bahwa masyarakat menunggu karya-karya terbaru hanya untuk mengetahui setting cerita dalam karya sastra itu.
Sebelum Soetan Hasoendoetan Siregar tampil sebagai sastrawan yang disanjung, beberapa tahun sebelumnya masyarakat di Kecamatan Sipirok juga mengenal Soetan Pangoerabaan Pane dengan novelnya Toelboek Haleon--juga berbahasa Batak. Soetan Pangoerabaan Pane ini kemudian melahirkan anak-anak yang kelak namanya mengukir sejarah sastra moderen di negeri ini, yakni Armijn Pane dan Sanusi Pane. Salah seorang anaknya, Lapran Pane menyejarah sebagai pendiri HMI, yang banyak melahirkan elite di negeri ini.
Soetan Hasoendoetan Siregar lahir di Desa Paranjulu, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada 1890. Ia masuk sekolah dasar yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda dengan pengantar bahasa Batak. Ia menikah pada usia 18 tahun dengan gadis sekampung, lalu hijrah ke Tano Doli (Kota Medan) tahun 1908. Semasa hidup, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja di perkebunan teh milik Belanda di Sumatra Timur. Pada tahun 1919, ia pernah menjadi editor surat kabar Tapian Na Oeli yang terbit di Sibolga.
Sitti Djaoerah: Padan Djandji Na Togoe pertamakali terbit tahun 1927 dan dipublikasikan secara serial antara 1929 dan 1931 di surat kabar Poestaha—surat kabar berbahasa Batak yang didirikan tahun 1914 di Padang Sidempuan oleh Sutan Casayangan Soripada Harahap. Setelah pemuatan serial, roman ini mendapat respon positif dari masyarakat luas di Tapanuli. Atas dasar itu, roman itu diterbitkan menjadi buku dalam dua jilid yang secara keseluruhan tebalnya 457 halaman. Kedua jilid buku roman tersebut diterbitkan oleh Tpy Drukkerij Philemon bin Haroen Siregar di Pematang Siantar.
Tema Sitti Djaoerah tak begitu berbeda dengan novel-novel sezaman. Kala itu, tema yang paling menonjol adalah kawin paksa dan perdebatan seputar ketradisionalan yang berhadapan dengan kemoderenan. Jika kita bandingkan dengan roman-roman yang terbit tahun 1920-an, terutama keluaran Balai Pustaka seperti Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar (1920), Moeda Teroena oleh Muhammad Kasim (1922), Sitti Noerbaja oleh Marah Roesli (1922), Darah Moeda oleh Adinegoro (1927), dan Sengsara Membawa Nikmat oleh Toelis Soetan Sati (1929).
Yang khas dalam roman Sitti Djaoerah, nasib tokoh-tokohnya. Jika zaman itu semua karakter berakhir dengan kematian, Sitti Djaoerah justru tidak. Seorang tokoh perempuan justru mampu memperjuangkan apa yang dikehendakinya (sebagai perempuan), yang tidak menerima begitu saja apa yang dikehendaki oleh orang lain sekalipun itu ayahnya sendiri. Ia adalah perempuan yang tahu apa yang dia mau dan mewujudkannya dalam hidupnya.
Sitti Djaoerah nama tokoh perempuan berakhir dengan hidup bahagia (happy ending) yang menikah dengan seorang laki-laki yang dicintai dan mencintainya.
Keunikan lain adalah bahasa. Roman-roman yang terbit zaman itu ditulis dalam bahasa melayu tinggi (terbitan Balai Pustaka) atau bahasa melayu rendah (terbit diluar Balai Pustaka). Soetan Hasoendoetan justru menulis dalam bahasa Batak Angkola. Untuk menegaskan pendiriannya di dalam kata pengantar singkat roman tersebut, Soetan Hasoendoetan berasalan karena bahan-bahan bacaan di kampungnya di Tapanuli Selatan sangat kurang apalagi bacaan yang bisa dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Karena itulah ia menulis romannya dalam bahasa Batak.
Bahasa Batak Angkola merupakan bahasa Batak yang paling banyak dipakai oleh Hasoendoetan dalam Sitti Djaoerah. Bahasa Batak-Toba hanya dipakai saat tokoh utama, Dja Hoemarkar, berangkat keTano Doli ketika melewati daerah Toba. Sementara saat Sitti Djaoerah dan ibunya tengah berada di Panyabungan (daerah Mandailing), Soetan Hasoendoetan memakai bahasa dialek Mandailing. Demikian, juga ketika tokohya lagi berada di Medan, Sitti Djaoerah saat mencari Dja Hoemarkar lewat iklan melalui surat kabar Pertja Timoer, digunakan bahasa Melayu. Juga, sepanjang kisah, pembaca akan menjumpai istilah-istilah dalam bahasa Arab yang umum dipakai sehari-hari sebagai identitas lain dari penulisan roman tersebut. Demikian juga penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Belanda seperti vrij, schrijver, kantoor, advertentie dan administrateur akan dapat ditemukan dalam roman tersebut.
Soetan Hasoendoetan meninggal pada tahun 1948, tiga tahun setelah Indonesia merdeka. Berita meninggalnya Soetan Hasoendoetan kala itu tidak terlaporkan secara luas. Barangkali, hiruk-pikuk kemerdekaan saat itu boleh jadi menjadi alasan mengapa Soetan Hasoendoetan sebagai seorang pengarang tidak muncul ke permukaan. Selain itu, karya-karyanya tampaknya tidak dikenal luas, bahkan keberadaan dirinya pun kurang populer di kalangan pembaca Indonesia umumnya. Di samping karena karyanya ditulis bukan dalam bahasa Melayu (Indonesia), sebagaimana dilakukan pengarang sekampungnya seperti Merari Siregar, Armijn Pane, Sanusi Pane dan pengarang yang lebih muda, Mochtar Lubis.
Roman ini jadi bahan Susan Rodger (antropolog Amerika Serikat) untuk belajar bahasa Batak ketika memulai studinya di daerah Tapanuli. Bahkan Rodgers telah menerjemahkan roman ini ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan tahun 1997 dengan judul, Sitti Djaoerah: A Novel of Colonial Indonesia. [M.J. Soetan Hasoendoetan, Sitti Djaoerah, A Novel of Colonial Indonesia, University of Wisconsin-Madison Center for Southeast Asian Studies, 1997. Translated and with introduction by Susan Rodgers].
Sayangnya, tak banyak masyarakat di Kecamatan Sipirok yang membaca novel saat ini.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda