Polri yang Tak Cakap
Dipublikasi di Sinar Harapan edisi Senin, 19 November 2012
Nasib Brigjen (Pol) Jodie Rooseto hampir mirip dengan nasib Brigjen (Pol) Heru Winarno. Kedua perwira tinggi Polri ini sama-sama pernah “jatuh” karena kasus konflik antarwarga.
Jatuh disebabkan keduanya tak cepat tanggap untuk mengantisipasi potensi konflik, sehingga rakyat bangsa ini jadi saling pukul, saling hantam, dan saling tikam. Mungkin lantaran kemiripan itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menugasi Heru Winarno untuk menggantikan posisi Jodie Rooseto sebagai Kapolda Lampung.
Heru Winarno “jatuh” saat masih perwira menengah yang bertugas sebagai Kapolres Jakarta Pusat. Jodie Rooseto “jatuh” saat hendak dipromosikan menjadi perwira tinggi bintang dua untuk posisi Kapolda Jawa Barat.
Secara tiba-tiba Kapolri menarik Surat Keputusan Nomor: Kep/645/- X/2012 tertanggal 30 Oktober 2012 yang menunjuk Brigjen (Pol) Jodie Rooseto sebagai Kapolda Jawa Barat dengan mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/216/X/2012. Telegram itu bukan saja membuat Jodie Rooseto gagal promosi, tapi juga “menghukumnya” sebagai perwira tinggi paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang sedang pecah di Lampung.
Hal Biasa
Jatuh bangun dalam karier profesional di lingkungan Polri merupakan hal yang sangat biasa. Penyebabnya beragam, mulai dari pelanggaran terhadap kode etik anggota Polri sampai malapraktik di lapangan. Risikonya pun beragam, mulai dari pembatalan promosi sampai pemecatan dari kesatuan Polri.
Tapi, risiko pemecatan tampaknya hanya berlaku bagi anggota polisi yang berada pada level bawah. Pemecatan mereka pun selalu diumumkan kepada publik, terutama saat perayaan HUT Bhayangkara. Pengumuman yang dihasratkan untuk memberi tahu bahwa institusi Polri tak akan menoleransi kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan anggotanya yang merugikan bangsa dan negara.
Inilah praktik pencitraan diri di abad komunikasi saat ini. Tujuannya, pasti untuk meraih dukungan publik dengan membangun kesan bahwa Polri merupakan lembaga negara yang cakap dan bersih. Sayangnya, hukuman semacam itu tampaknya tidak berlaku terhadap aparat polisi pada level menengah ke atas, terutama para perwira di lingkungan Polri.
Jarang terdengar ada perwira yang mendapat hukuman pemecatan sekalipun kesalahannya fatal, terutama karena membuat citra institusi Polri menjadi ambruk. Sebaliknya, Polri senantiasa menutup-nutupi, juga selalu menggelar persidangan tertutup terhadap para perwira yang melakukan malapraktik dan diseret ke meja terdakwa.
Publik baru diberi tahu kemudian setelah ada keputusan hukum yang sah terhadap perwira yang melakukan pelanggaran. Keputusan dari sebuah proses persidangan yang berlangsung tertutup di hadapan para perwira yang bertindak sebagai hakim.
Biasanya, sanksi terhadap perwira berkaitan dengan kehilangan jabatan dan keterlambatan dalam kenaikan kepangkatan. Karier perwira yang tervonis sebagai profesional Polri akan mentok. Padahal, kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus yang jauh lebih pantas bila diganjar berdasarkan delik-delik hukum formal yang berlaku.
Tapi, sanksi yang menyebabkan kehilangan jabatan dan kepangkatan mentok tampaknya hanya berlaku bagi perwira menengah Polri, hampir tidak pernah diberikan kepada perwira tinggi Polri. Perwira pada level atas justru mendapat perlakuan yang lebih enak, sering terkesan tidak tersentuh hukum.
Lihat saja kasus suap yang mendera sejumlah perwira tinggi Polri dalam memeriksa tersangka Gayus Tambunan beberapa tahun lalu. Sebut saja Brigjen Pol Edmon Ilyas yang disebut Gayus Tambunan dalam pleidoinya sebagai perwira tinggi Polri yang menerima suap dari Roberto Santonius agar mengubah status Roberto Santonius dari tersangka menjadi saksi.
Informasi yang disampaikan Gayus Tambunan itu tak membuat Polri memeriksa Edmon Ilyas, malah perwira tinggi ini diberi jabatan baru. Begitu juga halnya dengan Brigjen Pol Raja Erizman, meskipun berkali-kali diperiksa, tapi statusnya tetap saja sebagai saksi.
Polri sendiri bergeming menjaga kedua perwira tingginya. Bahkan, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyertakan nama kedua perwira tinggi ini dalam gelombang promosi berdasarkan telegram rahasia (TR) bernomor ST/379/II/2012 tanggal 23 Februari 2012.
Brigjen Edmond Ilyas yang sebelumnya menjadi staf ahli Kapolri dipromosikan menjadi analis kebijakan utama bidang sosek sahli Kapolri. Brigjen Raja Erizman yang sebelumnya staf ahli Kapolri menjadi analis kebijakan utama bidang sosbud sahli Kapolri.
Tidak Tanggap
Ketika Kapolri mengeluarkan surat keputusan promosi Brigjen Pol Jodie Rooseto menjadi Kapolda Jawa Barat—dengan sendirinya Kapolda ini bertambah satu bintang menjadi inspektur jenderal (irjen)—sesungguhnya Kapolri mengakui bahwa Kapolda Lampung ini sukses menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Meskipun publik di Lampung tahu persis, hampir tidak ada persoalan konflik warga yang berhasil diselesaikan selama menjadi Kapolda Lampung.
Sebuah kebetulan, beberapa hari setelah promosi itu, konflik di Lampung Selatan kembali pecah. Bukan konflik baru, tapi konflik lama. Massanya juga orang yang pernah konflik beberapa waktu lalu, di daerah yang juga sama. Tentu ini berkaitan dengan ketidaktanggapan Polri dalam mencegah terjadinya konflik.
Sangat mungkin, Polri tidak pernah mengawasi situasi di lokasi bekas konflik karena mengira segalanya sudah beres. Padahal, sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai konstitusi yang ada, Polri memiliki satuan-satuan kerja yang bisa berhubungan langsung dengan masyarakat.
Artinya, Polda Lampung tidak mampu mengidentifikasi potensi konflik yang ada. Mungkin, lantaran tugas dan fungsi satuan-satuan kerjanya tidak berjalan, sekalipun program-program kerja sudah dibuat.
Sosialisasi mengenai konflik ke lingkungan masyarakat yang biasa dilakukan jajaran Direktorat Binmas, misalnya, mungkin tak pernah dilakukan. Akibatnya, apa yang terjadi saat ini ketika konflik horizontal pecah, dan Polri harus menanggung risiko besar sebagai institusi yang dinilai tak cakap. Pemimpin Polri di daerah batal dipromosikan.
Bagaimana dengan pemimpin Polri sendiri, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, karena telah menilai Kapolda Lampung sebagai perwira tinggi sukses yang layak dipromosikan?
Kalau ada yang memuji pembatalan promosi Jodie Rooseto sebagai tindak yang cakap dan tanggap dari Kapolri Jenderal Timur Pradopo, pastilah ada kekeliruan yang fatal dalam melihat Polri.
Pembatalan ini bukan kecakapan, tapi lebih menunjukkan gaya kepemimpinan Timur Pradopo seperti seorang yang kehilangan fungsi eksekutorial.
Ia tidak berbuat apa-apa dan sesungguhnya tak mengetahui kondisi apa-apa di jajarannya. Itu sebabnya, jajaran bawahannya mendahului seperti Koorlantas Mabes Polri konon melakukan gugatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa seizin Kapolri.
*Penulis adalah peneliti pada Matakata Institute.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda