MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Transparansi Informasi APBD

Dalam bahasa yang sederhana, otonomi daerah bisa diartikan “daerah memiliki wewenang untuk mengurus dirinya sendiri”. Wewenang ini sangat besar, luas, luar biasa, dan harus berada di jalur hukum yang benar (baca: bisa dikontrol, tertata dengan baik, punya mekanisme yang tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan).


Oleh Ade Awaliyah
Pemerhati masalah sosial politik (Dipublikasi di Radar Lampung edisi 19 Maret 2011)


Wewenang ini diberikan karena daerah yang memahami kondisi internalnya. Mereka yang ada pusat (pemerintah), mengetahui kondisi daerah dari data-data statistik. Data yang justru dibuat dan dilaporkan orang daerah. Kerap, data itu dibuat untuk menyenangkan hati pemerintah pusat.

Maaf, bukan meragukan kadar profesionalisme para peneliti, terutama di Biro Pusat Statistik (BPS), meskipun penilaian ini terkesan subjektif.

Dengan wewenang itu, sesungguhnya daerah punya peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Menciptakan peluang-peluang usaha baru, membangun iklim usaha yang kondusif, dan menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Tidak ada alasan bagi daerah untuk memiliki rakyat yang miskin dan hidup dengan tingkat pendapatan per kapita jauh dari standar hidup layak.

Kenyataannya, masih banyak rakyat miskin di negeri ini. Penyebabnya, daerah tidak mampu memfaatkan otonomi daerah. Para elite cenderung menggantungkan diri dan nasib daerahnya pada kucuran dana dari pemerintah pusat.

Tiap tahun, hal yang paling mengairahkan bagi para elite pemerintah daerah adalah mengupayakan agar dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil pajak dan non-pajak bisa meningkat. Tanpa dana-dana dari pusat itu, daerah kesulitan merancang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga selalu terlambat diajukan ke legislatife.

Keterlambatan itu berdampak serius terhadap tingkat kebutuhan masyarakat. Karena terdesak oleh aturan dan peraturan yang berlaku terkait penyusunan APBD, pemerintah daerah acap tidak punya cukup waktu untuk menjaring aspirasi public. Kebutuhan-kebutuhan rakyat tidak terakomodasi, sehingga dinamika pembangunan daerah hanya mengikuti tradisi yang ada.

Semua item dalam APBD, sering sudah diatur pada tingkat Kepala Daerah. Seluruh satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), menyesuaikan program-program kerja dengan anggaran yang telah diatur dan ditetapkan oleh Kepala Daerah. Artinya, dinas maupun instansi menyesuaikan program kerjanya dengan total dana yang sudah dialokasikan oleh Kepala Daerah.

Karena itu, program-program tersebut sebatas menjalankan tradisi yang sudah ada, lebih banyak dialokasikan untuk belanja administrasi, gaji PNS, dan kegiatan-kegiatan yang tidak mampu meningkatkan produktivitas publik. APBD pada akhirnya tidak mampu menggenjot peningkatan kualitas pembangunan daerah. Setiap tahun, dana APBD terkesan hanya untuk tambal dan sulam.

Kondisi ini akan terus berlanjut mengingat DPRD sebagai lembaga legislasi, ternyata juga tidak terlalu pusing dengan metoda penyusunan APBD. Karena APBD bagi legislatif, bukanlah perkara apa dampaknya terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Melainkan, perkara apakah proyek-proyek fisik di dalamnya bisa di-sharing antara eksekutif dengan legislative.

Di Lampung, sejumlah proyek dinas/instansi banyak dikelola oleh elite-elite ligislatif untuk kepentingan mendekati public konstituen parpolnya. Berbagai program pemberdayaan di lingkungan Dinas Pertanian, misalnya, dibagi-bagi sejumlah anggota legislative dan dipakai untuk mendekati public konstituen partai.

Sebab itu, mengharapkan otonomi daerah akan membawa kemaslahatan bagi rakyat di daerah, merupakan sebuah kemustahilan. Situasinya akan berubah apabila Kepala Daerah selalu leadher mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang menghargai rakyat sebagai bagian dari stakeholder pembangunan daerah.

Dalam setiap upaya menciptakan atau mendisain program pembangunan, Kepala Daerah mesti mempertimbangkan posisi rakyat sebagai entitas yang hendak dibangun dan disejahterakan. Artinya, jika otonomi daerah diberikan pemerintah pusat dengan asumsi bahwa daerah yang paling mengerti kondisinya, sudah diandaikan bahawa Kepala Daerah juga mesti mengasumsikan bahwa daerah dalam lingkup lebih kecil yang mengerti kondisi daerahnya.

Seorang Gubernur, misalnya, harus menyadari bahwa wilayah provinsi terdiri dari kabupaten/kota, sehingga membangun provinsi harus diawali dengan membangun kabupaten/kota. Begitu juga sebaliknya, Bupati/Wali Kota harus menyadari bahwa wilayah kabupaten/kota terdiri dari kecamatan-kecamatan. Karena itu, untuk membangun kabupaten/kota harus lebih dahulu memikirkan tentang kecamatan-kecamatan.

Pada tataran ini sangat tepat apa yang disebut dengan pola pembangunan daerah yang dari bawah ke atas (bottom up). Di era otonomi daerah, konsep bottom up harus menjadi prioritas karena orientasinya sangat menyentuh kepentingan masyarakat secara umum. Artinya, semua kehendak dalam membangun daerah berasal dari kebutuhan yang riil di lingkungan masyarakat. Hal itu hanya bisa diketahui apabila masyarakat sendiri diberi peran besar untuk menyampaikan hal-hal yang mereka butuhkan.

Namun, pemerintah daerah acap terlalu cepat menilai bahwa masyarakat tidak siap untuk membangun. Karena itu, masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam dinamika pembangunan daerah. Memang, ada mekanisme yang disebut jarring aspirasi saat musyawarah pembangunan digelar. Tapi, aspirasi yang disampaikan rakyat tidak diakomodasi karena terkesan asal-asalan dan kurang mempertimbangkan kapasitas dana APBD yang tersedia.

Kondisi ini terjadi karena pemerintah daerah tidak pernah transparan menyampaikan program-program pembangunan dalam mekanisme musyawarah pembangunan. Pemerintah daerah pun tidak memiliki konsep yang jelas untuk memberdayakan masyarakat dalam hal pemahaman tentang APBD. Tingkat pengetahuan masyarakat terkait APBD sangat minim karena tidak pernah mendapat pendidikan dan pelatihan.

Kondisi seperti ini harus diubah dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat memiliki hak atas untuk mengetahui setiap item dari alokasi dana APBD. Masyarakat juga punya hak untuk tahu, apa saja yang dibiayai APBD yang berkaitan dengan kepentingan mereka.

Jika informasi seperti ini dibuka pemerintah daerah, sangat pasti pengelolaan dana APBD akan mendapat pengawasan dari masyarakat. Kondisi ini pun dapat meminimalisasi kekeliruan atau penyalahgunaan dana APBD. Tapi, apakah elite pemerintah daerah akan mau bersikap transparan. Walahualam. ***