MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Parpol dan Moral Kepala Daerah

Oleh Budi P. Hatees
Dipublikasi di Radar Lampung edisi Kamis, 06 Mei 2010

PELAJARAN dari proses demokrasi di negeri ini selama reformasi bergulir, jangan pernah bicara moral di pentas politik. Karena moral bukan tujuan utama dari politik. Tujuan politik adalah merebut kekuasaan dengan segala cara bisa dilakukan (termasuk menegasikan moral). Ada perbedaan mencolok antara moral dan tujuan politik. Keduanya tidak punya titik temu yang dapat melegakan hati.


Tapi berbeda bagi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Di pentas politik dengan segala kegiatan untuk merebut kekuasaan, urusan moral tidak boleh dikesampingkan. Moral adalah urusan vital sekaligus subtansial. Sebab itu, seseorang yang ingin berkuasa secara politik—melalui jalur pemilihan kepala daerah khususnya—haruslah tidak cacat moral.

***

GAMAWAN Fauzi mengusul syarat moral itu diakomodasi sebagai salah satu pasal dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, Gamawan mendefinisikan tidak cacat moral sebagai tidak pernah berzina. Defesini yang sangat longgar dan kuat dipengaruhi subyektivitas.

Tapi, kalau lebih dipahami riwayat kemunculan persyaratan moral ini, jelaslah ditujukan untuk meredam rencana artis menjadi kepala daerah. Sebutlah Julia Perez, artis yang menjadi ikon pemakaian kondom di negeri ini. Artis yang acap mempertontonkan lekak-likuk tubuhnya di hadapan public. Artis yang gambar vulgarnya menyebar di dunia virtual internet. Lalu nama Maria Eva, artis yang pernah tersandung kasus film porno dengan seorang politisi. Begitu juga Ayu Azhari, yang menjadi ikon awal dari tidak ketatnya urusan moral di dunia selebritas kita.

Tiga nama artis itu muncul dalam hiruk-pikuk pilkada di sejumlah daerah. Kehadiran mereka di pentas politik, tidak muncul begitu saja. Nama mereka lahir karena didukung oleh partai-partai politik, entitas yang selama ini sangat mengandalkan popularitas para selebritis untuk mendulang suara.

Ketenaran para selebritis memang akhirnya membawa sukses menaikkan famor partai politik di mata masyarakat. Calon kepala daerah dari kalangan selebritis mampu memenangi persaingan perebutan pemimpin politik di daerah. Nama seperti Dede Yusuf, dan Rano Karno bisa menjadi contoh bagus, karena kedua selebritis ini pun memiliki citra bagus di mata public.

Baik Dede Yusuf maupun Rano Karno lebih dikenal public sebagai artis yang punya dedikasi luar biasa terhadap perkembangan dunia hiburan di tanah air dengan mengandalkan kapasitas dan moralitas. Ketika mereka mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, ingatan public tentang kapasitas mereka masih lekat, dan wajar jika kemudian memenangi pemilihan.

Tapi, baik Dede Yusuf maupun Rano Karno, tak akan pernah muncul tanpa campur tangan partai politik. Begitu juga halnya dengan Julie Perez, Maria Eva, Ayu Azhari, dan beberapa selebritis kita. Partai politik yang paling berperan dalam kemunuclan nama-nama yang disebut terakhir. Dengan begitu, partai politiklah yang paling bertanggung jawab.

***

SUDAH umum diketahui, kehidupan di lingkungan partai politik kita adalah kehidupan penuh cacat moral. Sebagaian besar produk yang dihasilkan partai politik, acap menjadi penyebab masalah krusial di lingkungan masyarakat. Tapi, para elite partai politik selalu berkelit dan melepaskan diri dari bayang-bayang hukuman public.

Ketika Julie Perez, Maria Eva, dan Ayu Azhari mendapat penolakan dari banyak kalangan, partai politik yang tetap ngotot mengusung mereka. Menggadang-gadang selebritis itu sebagai sosok yang pantas menjadi pemimpin daerah. Membuat pembelaan-pembelaan yang intinya menolak semua kritik terhadap kualitas moral para calon kepala daerah yang akan diusung partai politik.

Sesungguhnya, partai politiklah yang lebih layak diurusi masalah moralnya. Undang-undang tentang partai politik mestinya menerakan pasal-pasal yang lebih ketat terkait masalah moral. Ada seleksi yang luar biasa mengenai penunjukkan kader-kader partai di panggung politik: anggota legislative maupun kepala daerah.

Sayangnya, partai politik kita tidak memiliki semua itu. Tidak ada kriteria moral untuk menunjuk seseorang duduk sebagai calon legislatif, apalagi menunjuk seseorang duduk sebagai calon kepala daerah. Semua penetapan calon hanya diukur dengan satu syarat, si calon memiliki cukup dana. Seorang calon yang secara moral diakui public tetapi tidak memiliki cukup dana, sangat pasti tidak akan pernah disebut namanya dalam pertarungan politik.

Kondisi ini menyebabkan partai politik membuat demokrasi tidak lagi memberi keleluasaan kepada warga negara untuk dipilih menjadi kepala daerah. Demokmrasi yang digerakkan partai politik kita membatasi hak semua warga untuk naik ke panggung politik.

Kekuasaan partai politik menyebabkan sejumlah nama calon kepala daerah tidak bisa muncul. Upaya yang dilakukan para calon kepala daerah untuk mendapatkan perahu partai politik terganjal karena tarif yang terlalu tinggi. Akibatnya, hanya mereka yang mampu membayar tarif yang layak menjadi calon kepala daerah dari partai politik, meskipun calon bersangkutan hamper tidak bisa memenuhi syarat-syarat moral.

Tidak sedikit kader partai politik yang menjadi penguasa politik kemudian tersangkut kasus korupsi. Sebab itu, akan lebih baik apabila Gamawan Fauzi merevisi undang-undang partai politik dan menerapkan syarat-syarat moral di dalamnya. Mendagri semestinya memikirkan hal yang lebih subtansial, yakni partai politik selaku wadah yang menghasilkan para calon pemimpin politis.

Jika yang diharapkan Mendagri adalah menghasilkan kepala daerah yang bermoral, berkualitas, dan bertanggung jawab memimpin rakyatnya, maka hal itu hanya mungkin terjadi apabila partai politik tidak hanya memilikirkan syarat punya dana politik.***