Tentang Tamu dalam Sajak

by - April 26, 2010

Oleh Budi P. Hatees
Disampaikan saat acara Bilik Jumpa Sastra di UKMBS Unila

1

ADA seorang tamu. Ia datangi sebuah rumah yang tidak dikenalnya pada sepotong malam yang berhujan rintik-rintik. Waktu terkunci pada angka jam larut. Dingin membuat jiwa yang kecut tambah kisut. Ia tak punya rasa takut, masuk tanpa mengetuk. Akan tetapi, perempuan buta penghuni rumah itu, yang menderita insomania selama bertahun-tahun, memergokinya. “Maling!!!” Lengking jerit perempuan insomania itu meledak.



Ada tamu lain yang datang. Ia masuk dengan sikap yang ramah, memberi salam, memperenalkan diri. Perempuan insomania itu tersenyum, lalu bertanya, “Kau pernah meminum secangkir teh buatan perempuan buta yang menderita insomania? Si tamu masih bersikap hormat, “Janganlah kedatangan saya membuat kebudayaanmu berubah. Saya bertamu dan hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja.”

2

PEREMPUAN penderita insomania itu, tokoh dalam cerpen berjudul Tamu-Tamu Perempuan Insomania, saya tulis puluhan tahun lalu dan dimuat sebuah media di Jakarta. Ingatan saya tentang para tamu dalam cerpen itu selalu terbongkar setiap kali ingin membaca sajak. Saya selalu mencoba memilah, akan menjadi tamu yang seperti apa: bersahaja, bersahabat, menimbulkan petaka, atau seperti arwah almarhum suami perempuan insomania itu, yang datang hanya untuk melihat istri yang dicintainya tetapi tak bisa lagi disentuhnya.

Sepotong sajak sama personalnya dengan sebuah rumah. Ada kalanya saya tergoda untuk menjadi tamu yang tidak diundang, apabila saya ingin bersikap sesuka hati di dalam rumah itu, mengacak-acak seisi rumah dan meninggalkannya dalam keadaan perabotan berantakan. Sering saya ingin bersikap ramah, mengetuk pintu dan memberi salam, lalu mulai perkenaan dengan tuan rumah. Tak jarang saya digoda oleh keinginan untuk bersikap angkuh, bahwa saya lebih mengerti soal rumah beserta arsiekturnya dibandingkan pemiliknya.

Tetapi saya lebih betah sebagai tamu yang baik. Meskipun saya punya banyak pengetahuan tetang sajak, terutama karena sajak bagi saya merupakan “cara berkomunikasi”, saya yakin pengetahuan yang saya miliki acap tak menguntungkan bagi banyak pihak. Di era sekarang, dimana dunia sastra berikut segala ihwal menyangkut kritik dan kritikusnya yang sakit, pengetahuan-pengetahuan tentang sastra hanya akan menimbulkan kebencian, pertarungan, perdebatan, dan konflik yang berkepanjangan.





Dalam politik, konflik adalah keharusan untuk menghasilkan sebuah dinamika yang cerdas. Di dalam dunia kreatif, posisi konflik juga seperti itu. Tetapi, manusia-manusia kreatif (sastra) mendadak kehilangan daya kreatif apabila karyanya mendapat kritik. Karena mereka, yang hidup di negeri Indonesia, dan segala ihwal dalam kehidupannya hari ini hasil konstruksi penjajah—Belanda meemahkan mentalitas dan menyuburkan ketergantungan rakyat kepada pemerintah sedangkan Jepang meruntuhkan individualime dan memaksakan kepatuhan atas nama nasionalisme kekaisaran—sudah terbiasa hidup dalam kemanjaan orang Timur yang sangat mencintai harmoni.



Kritik dianggap bukan asli kebudayaan Indonesia, terutama karena ia bekerja keras untuk mengungkapkan kekurangan dan kelemahan. Meskipun kritik memiliki sisi yang lebih indah, “penguatan pengetahuan”. Karena itu, saya akan menjadi tamu yang sopan, sehingga mendapat kesempatan luar biasa untuk lebih mengenali arsitektur rumah, desainnya, ornamennya, dan tumpukan symbol yang membuatnya menjadi sebuah karya seni yang utuh. Rumah, begitu juga sajak, adalah hasil kebudayaan manusia. “Kebudayaan adalah seperangkat teks-teks simbolik”, kata Geertz ketika bercerita soal masyarakat Mujokuto, “kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan.”



Memasuki sebuah rumah, juga memasuki sebuah sajak, adalah pekerjaan memahami teks-teks symbol itu. Ada ragam tradisi yang bisa dilakukan, dan itu semacam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh muatan emosi dan perasaan. Ada upacara yang dapat dijadikan sumber dan model keteraturan sosial (social order). Masyarakat yang teratur, tergambar jelas dalam arsitektur sebuah rumah, juga sepotong sajak, sekalipun secara kasat mata realitas symbol yang ada penuh ketidakteraturan—sering mengabaikan konvensonal.

Ketika seorang tamu mengkritik sebuah rumah sebagai keliru dalam pandangan Feng Shui, pastilah tamu itu telah membekali dirinyanya dengan konvensi Feng Shui, dan sangat pasti juga si tamu tidak memiliki bekal lain terkait posisinya sebagai tamu. Seorang tamu adalah orang yang siap menerima kenyataan apa pun atas realitas yang akan dihadapinya terkait internal sebuah rumah. Tamu itu pasti memiliki banyak kekecewaan, karena gambaran ideal yang ia miliki acap tidak terwujud dalam realitas keseharian.

Satu-satunya hukum bagi si tamu adalah “jangan pernah lagi bertamu ke dalam sebuah rumah yang ternyata tidak memiliki gambaran seerti yang diidealkannya”. Atau, “teruslah bertamu ke dalam rumah sambil mencoba memahami realitas yang ada di dalamnya sebagai pengetahuan baru, dan bukan untuk mengubah pengetahuan diri sendri.”

Pengetahuan baru, yang memperkaya pengetahuan dasar si tamu, adalah kondisi seperti seseorang yang disuguhi secangkir teh oleh tuan rumah. Anda bisa membayangkan untuk apa teh itu. Bukan sekedar penghilang dahaga—karena sangat mungkin si tamu tidak dahaga—tetapi agar si tamu merasa betah, lalu ngobrol panjang lebar yang akhirnya akan menambah pengetahuan. Inlah kesadaran akan lingkungan, bahwa “lingkungan merupakan guru terbaik bagi kebajikan”.

3

“SASTRA kita hari ini,” kata seorang penyair, “dalam gelisah pasar yang berjalan sangat kacau. Saya memutuskan diam, menunggu, sambil, tentu, terus berkarya dan menyimpannya.” Salah satu kekecauan yang ditandai kawan penyair itu adalah tarik-menarik politik “pengakuan” yang realitasnya telah menjema lebih mencekam daripada dinamika politik kelas tinggi menjelang pemilihan Gubernur Lampung. Ada emosi, ada psyward, ada propaganda, ada ludah yang dicampakkan, ada teriakan, dan ada, maaf, makian. Sastra kita, yang kehadirannya mesti menjernihkan, kini mengecewakan.

Sastra kita berada dalam labirin, melingkar dalam bidang yang semakin jejal. Kondisi ini disebabkan manusia sastra kita terpecah ke dalam entitas penguasa dan entitas yang dikuasai. Kekuasaan selalu melahirkan keperihan. Mereka yang berkuasa, cenderung akan korup. Mereka yang dikuasai, cenderung merasa dikhianati. “Arah pergerakan sastra,” kata Ugoran Prasad, “cenderung monolitik.”

Dalam situasi monolitik, distribusi kekuasaan berjalan timpang. Transformasi pengetahuan tak mulus. Ada yang terlalu banyak menampung pengetahuan baru, ada yang tak pernah memperbarui pengetahuannya. Ketimpangan berlangsung di negeri kita, bukan saja dalam ihwal perekonomian dan kesejahteraan. Pengetahuan adalah praktik politik kekuasaan. Obyektivisme adalah bias dan kebenaran adalah versi.

Maka kebenaran sastra, termasuk kanon sastra, adalah versi. Ihwal ini tak perlu diperdebatkan. Versi senantiasa beragam, biarkan muncul. Dalam sastra, yang unggul pada saat ini adalah yang diterbitkan sastra koran—medium yang paling kuat dipengaruhi politik—bukan sastra yang lain. Sastra yang ditulis Jumperta Panji Utama, misalnya, tidak unggul karena tidak muncul di medium koran. Sastra yang ditulis Wayan Sunatra unggul, karena sering muncul di medium tersebut.

Kita tidak bisa mengambil kesimpulan dalam logika pasar untuk sebuah karya kreatif. Koran adalah pasar, tempat dimana pembaca memilih-milih barang untuk dibaca. Banyak sastra yang ditulis, tetapi tidak dimasukkan ke pasar. Salah satu alasannya: sastrawan tak mau terkooptasi hukum pasar, yang mengharuskan produk berkelas konsumen, dimana ada keseragaman dan penyeragaman produk.

4

SAYA mengenal Panji Utama di tahun 1990-an lewat beberapa puisinya yang saya baca di koran-koran Jakarta. Puisi-puisi yang, sama seperti kecenderungan puisi saat itu, mengandalkan kekuatan lirik. Ketika itu, dunia puisi belum separah sekarang, meskipun tanda-tanda akan menjadi sangat gawat telah muncul dari Surabaya ketika Kuspriyanto Namma memproklamirkan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Gerakan-gerakan komunitas sastra masih asli untuk peningkatan kualitas karya sastra. Tetapi lima tahun kemudian sejak RSP, pasca munculnya komunitas-komunitas sastra di berbagai pelosok negeri—termasuk di Lampung—orang-orang mulai berpikir seperti para jenius partai politik.

Tahun 1996, ketika saya menetap di Lampung, saya lebih banyak mengenal Panji Utama. Barulah saya tahu penyair ini memiliki cara menulis yang berbeda dengan karya-karyanya yang pernah saya baca. Ia tidak membutuhkan “spasi” , dan saya mengira mesin ketik di rumahnya rusak. Tetapi karena hal yang sama saya temui dalam banyak puisinya, saya pikir ini bukan sekedar persoalan teknik (peralatan menulis), melainkan teknik (strategi) dalam bersastra.

Karena saya selalu mengambil posisi sebagai tamu, saya berharap mendapat suguhan secangkir the. Maka terhadap sajak-sajak Panji Utama, saya mulai membanding-bandingkannya dengan karya yang ditulis pertama sekali, sekedar untuk mengetahui kapan persisnya ia berpikir untuk menciptakan strategi teks sendiri. Lalu saya temukan lima sajaknya dalam Daun-daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (UKM-PSKK Teknokra, 1995), saya temuka Pasar Kabut dan Kibaran Bendera—kumpulan tunggal yang diterbitkan di Lampung, saya temukan sajaknya dalam Cetik (DKL, 1998), dan saya baca sajak lainya dalam Mimbar Penyair Abad 21. Saya pun berkesimpulan, Panji Utama tidak percaya diri dengan strategi teksnya. Dalam setiap buku yang saya sebutkan, sajak Panji Utama ditulis dengan startegi teks yang berbeda. Soal “spasi” dan penghilangan “spasi” dalam kalimat, Panji Utama tidak konsisten.

Eksistensi kepenyairan Panji Utama menjadi lebih kuat—simpul ini saya ambil setelah membaca Mimbar Penyair 21—karena strategi teksnya “tanpa spasi”. Dalam buku yang kontrovesial dan menjadi semacam proklamasi atas kelahiran generasi kepenyairan di negeri ini, sajak-sajak Panji Utama ditulis tanpa spasi meskipun bisa saja ia membuat spasi dalam teks-teks tersebut. Namun, ketika buku itu dibaca hari ini, maka jelas dari sekian banyak penyair yang karyanya ada dalam buku tebal itu, Panji Utama memiliki startegi teks yang berbeda.

Pertanyaannya, kenapa Panji Utama tidak mempertahankan strategi ini? Mungkin, ada dualisme dalam dirinya. Satu sisi, ia tidak bisa lepas dari konvensi berbahasa dalam kapasitasnya sebagai (pernah) menjadi jurnalis (berkomunikasi harus dengan bahasa yang dimengerti pembaca, jelas, dan lugas). Kedua, ia tak tahan hidup sendirian sebagai penyair yang berbahasa dengan cara lain sedang penyair ain tetap dalam lingkup konvensi.

Kalau demikian, bukankah lebih baik Panji Utama tetap dalam tataran konvensi berbahasa? Sebagai tamu dalam sajak-sajaknya, saya merasa lebih nyama berada dalam puisi yang terkumpul pada buku Mimbar Penyair Abad 21. Setiap kata yang ditulis tanpa spasi itu mengingatkan saya kepada apa yang dikatakan Geert bahwa “kebudayaan adalah seperangkat teks-teks simbolik”, sehingga saya merasa seperti Geert saat pertama sekali berhadapan dengan realitas antropologi dari komunitas masyarakat Jawa di Mujokuto.

Saya awali segala sesuatunya dari ketidakmengertian. Seperti filsafat, segala sesuatu dalam kebudayaan manusia diawali dari ketidaktahuan, kemudian berakhir juga sebagai ketidaktahuan. Pembacaan atas realitas adalah sebuah fakta dari pengakuan atas ketidakpahaman. Sebagaimana sejarah diawali, selalu dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana, seperti juga pertanyaan mengenai kapan awal mula semesta dan semacamnya. Kerumitan mekar di sini, meminta disederhanakan.

Saya yakin, apa yang dilakukan Panji Utama adalah semacam kerja menyederhanakan kerumitan-kermitan yang ditemukannya sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Karena bahasa, dalam dinamika kehidupan yang sakit saat ini, memiliki kekurangan untuk menyederhanakan kerumitan-kerumitan kehidupan sehingga butuh semacam upaya sadar untuk melakukan mistifikasi.

Penyair memiliki posisi ontology. Mereka tidak mesti masuk ke dalam medan peperangan, dimana banyak penyederhanaan atas kerumitan kehidupan dilakukan dalam jargon-jargon akademis. Penyair mesti menyiasati dengan melahirkan sebuah metode dalam menghasilkan karya, bahwa sebelum berkarya ia melakukan pembacaan atas peta kerumitan kehidupan sastra, kemudian melakukan semacam pembukaan atas peta jalan kepenyairannya.

Toni Morisson, pengarang dan (juga) akademikus, menyebut alasannya mengarang adalah untuk menuliskan apa yang mula-mula memuaskan standar bacaannya tapi belum dapat ditemuinya dari pengarang lain. Sebagai pengarang yang sama-sama (dianggap oleh kritikus) menggunakan teknik stream of consciousness, Woolf membaca habis Joyce, melakukan penilaian dan memunculkan karyanya sendiri. Edward Albee membaca Woolf, Kafka membaca Akutagawa. Marquez membaca Faulkner, Genet membaca Proust, Acker membaca Dickens, Pierre Mennard membaca Cervantes.

Panji Utama mebaca Sapardi Djoko Damono—leluhurnya lirik magis puisi kita. Panji Utama membaca Goenawan Mohamad, dan sederet penyair yang menyejarah di negeri ini. Para jenius sastra kita itu telah melaukan semuanya atas nama sajak, termasuk Sutardji Calzoum Bachri telah membabat habis wilayah mistik atas nama mantra. Tetapi dalam sajak Panji Utama, ada mistifikasi yang kental, yang lain, yang akan saya ungkit serba sedikit.

5

Borges menyebut, membaca sebagai aktivitas yang paling intelektual dari segala aktivitas. Bacaan hanya hidup di tangan pembaca. Tanpa pembaca mengeja baris demi baris kalimat-kalimatnya, bacaan hanyalah sekumpulan huruf yang beku. Jika demikian, seseorang (dalam keadaan membaca) tidak akan perduli pada konvensi atau malah kerumitan-kerumitan akademikus.

Sajak-sajak Panji Utama adalah bacaan, ditulis seagai bacaan. Sebagai tamu, saya menganggap sajak-sajak itu pantulan dari berbagai bacaan Panji Utama sebelumnya. Sedang membaca merupakan praktik pengetahuan. Ada banyak sejarah membaca di negeri ini. Kaum strukturalis memperkenalkan membaca sebagai sebuah operasi structural. Artinya cara membaca bisa dibenahi, diarahkan, disesuaikan, dan seterusnya. Resistensi tentu bisa berlangsung dan bersumber dari mana saja, tapi bukan berarti modus itu tidak menjadi tidak penting atau nyata. Bahasa bagaimanapun adalah sebuah proyek domestifikasi.

Pinsky meyakini bahwa puisi sebagai vocal art. Ia mengkampanyekan membaca puisi secara keras dan lantang. St Ambrose sebaliknya, membaca puisi baginya mesti dalam hati. Membaca adalah kegiatan personal, sama seperti memahami puisi. Semua cara membaca mengandung risiko.

Cara Pinsky sangat dipengaruhi kaum positivistik dimana sastra harus taat gramatika, taat logika, taat ruang, taat bentuk, dan berbagai ketaatan lain. Pertumbuhan dan kemajuan estetika dan wacana adalah kemungkinan yang bisa dicapai dari dalam ketaatan itu. Dengan cara itu, sastra menjadi tunggal, tidak bercecabang. Sedangkan cara St Ambrose membuat sajak hanya untuk orang tertentu, yang mengerti cara membaca, dan yang mampu membacanya. Saya ada pada posisi St Ambrose ketika membaca sajak-sajak Panji Utama.

You May Also Like

0 #type=(blogger)