Gubernur dari Lembaga Penuh Noda

by - November 21, 2012

Dipublikasi Analisa edisi 22 November 2012

Tampaknya, menjadi kepala daerah (Gubernur) adalah idaman setiap anggota legislatif asal Sumatra Utara. Anggota legislatif dari daerah lain pun seperti itu, ingin menjadi Gubernur di daerah asalnya.

Para wakil rakyat ini membuat pernyataan politik. Mereka berpidato kemana-mana dan dimana-mana, menyatakan punya kemampuan untuk memimpin Provinsi Sumatra Utara. Tak cukup pidato, mereka memasang spanduk dan baliho. Masih juga kurang, mereka memasang iklan di media massa, merebut kolom dan slot waktu tayang untuk ruang publik media.

Kita memang tak perlu sinis sekalipun perlu menganalisis. Benarkah keyakinan mereka itu realistis? 

Tapi, tampaknya, tak perlu bicara realistis dalam soal yang satu ini, yakni soal politik. Sebab, sudah galib di negeri ini, tidak perlu ada korelasi antara pernyataan politik dengan kemampuan politik. Korelasi antara keduanya sama dengan idealisme. 

Dalam era ketika demokratisasi hanya memperkenalkan satu nilai kepada warga bangsa, yakni semua warga bangsa memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin meskipun memiliki cara yang berbeda untuk mewujudkan hak itu, idealism adalah nonsen. Pernyataan politik acap penuh gula, sedangkan kemampuan politik sering penuh noda.

**

PENUH noda, memang begitu. Apalagi bila kita kaitkan dengan tingginya tingkat korupsi di lingkungan legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Hampir tidak ada kasus korupsi yang mengapung di negeri ini tanpa melibatkan anggota legislatif. Bahkan, belakangan terindikasi sejumlah anggota legislatif menjadikan BUMN sebagai "sapi perah", meminta keuntungan-keuntungan pribadi kepada manajaemen BUMN seakan-akan dirinya ahli waris dari badan usaha milik Negara itu. 

Soal peras-memeras BUMN benar atau tidak, kita hanya bisa mengutif pepatah lama berbunyi: "dimana ada asap di situ ada api". Kalau tak ada yang main api, sangat mustahil BUMN akan penuh asap seperti sekarang. Gumpalan asap itu membuat setiap orang yang ada di dalamnya tak bisa saling melihat sehingga sering terjadi mis-management. 

Ya, hanya mis-manajemen yang menyebabkan institusi bisnis yang memonopoli sebuah komoditas dagang, tetapi tak bisa untung karena bisnisnya.

Dan, mestinya, legislatif tak perlu sewot kalau ada pihak yang ingin memadamkan api itu. Sebaliknya, legislatif harus membantu mencari sumber api itu agar tak ada asap, sehingga BUMN bisa memainkan fungsinya sebagai salah satu pendorong pertumbuhan perekonomian nasional. 

Sayangnya, legislatif tak seideal yang kita bayangkan. Mereka suka berang, gemar meradang. Soal inisial saja, yang diuarkan Menteri BUMN, bisa membuat mereka mengancam, mengecam, dan situasi jadi mencekam. Tentu, karena legislatif sebuah lembaga Negara, dan legislatif seakan-akan tidak "boleh terlihat salah". 

Di aras reformasi saat ini, legislatif itu adalah ekspresi idaman siapa saja tentang stabilitas. Kata legislatif akan membuat siapa saja stabil, karena sukar dijamah hukum, dan gemar membelokan pasal-pasal dalam undang-undang menjadi sesuai keinginan dan kepentingan mereka. 

Legislatif juga gemar melemahkan institusi lain yang apabila dipandang "mengancam" kepentingan mereka, seperti ketika legislatif ingin mendistorsi kewenangan-kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengubah Rancangan Undang-Undang tentang KPK. 

Mungkin bukan lembaganya legislatifnya yang salah, tetapi orang-orang yang menjadi bagian dari lembaga itu, mereka yang memegang kekuasaan meleges segala sesuatu yang ada di negeri ini. Dengan kekuasaan di tangan, mereka bisa mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya, dan tidak merasa malu jika harus "membintangi" anggaran sebuah program pemerintah apabila tak terkait dengan kepentingan mereka.

**

POTRET lembaga legislatif yang penuh noda itu, mau tak mau menghasilkan anggota legislatif yang terbiasa menodai dirinya. Mereka, terutama yang berasal dari daerah pemilihan Sumatra Utara, saat ini ingin menjadi Gubernur Sumatra Utara. Padahal, saat menjadi anggota legislatif selama beberapa tahun, nyaris tak terlihat kontribusi mereka terhadap rakyat di Sumatra Utara. 

Kehadiran mereka di lingkungan konstituen nyaris nol. Tak seperti ketika mereka sibuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif pada Pemilu 2009 lalu. Hampir tiap bulan, mereka mengunjungi konstituen, bicara ini dan itu tentang janji politik yang ternyata sepenuhnya gombal. Atau, tak seperti sekarang ketika mereka muncul di hadapan rakyat Sumatra Utara dengan tingkat pemunculan melebihi jumlah curah hujan di Sumatera Utara pada akhir tahun 2012 ini.

Lantas, apa yang akan mereka perbuat bila jadi Gubernur Sumatera Utara kelak. 

Salah seorang anggota legislatif dari sebuah partai bicara tentang rencananya untuk menggratiskan biaya sekolah di Sumatera Utara. Kentara sekali, calon Gubernur Sumatra Utara ini ingin membuat para guru sengsara, atau memaksa para guru untuk beralih profesi. Ada juga calon Gubernur Sumatera dari partai lain yang berteriak tentang mensejahterakan rakyat, seakan-akan Negara ini tidak pernah punya program mensejahterakan rakyat. Bahkan, ada calon Gubernur Sumatera Utara yang anggota legislatif itu ingin menggratiskan biaya pengobatan, seolah-olah obat-obatan diproduksi di Sumatra Utara dan bisa dipesan tanpa perlu uang.

Kita senang para calon Gubernur Sumatera Utara ini ingin menggratiskan banyak hal. Tapi, kita perlu juga mempertanyakan kenapa para calon pemimpin ini mengasumsikan bahwa "hal-hal gratis" itu sesuatu yang perlu dikedepankan? Jawabannya jelas, karena mereka juga suka "hal-hal gratis". 

Legislatif suka keluar negeri, katanya studi banding. Mereka tidak mengeluarkan sepeser uang pun, malah mengantongi uang. Mereka rapat dibayar, sidang dibayar, makan dibayar, rumah dibayar, pakaian dinas dibayar, dan segala macam tunjangan yang membuat hidup para anggota legislatif menjadi gratis. Soal gratis dan menggratiskan, akhirnya menjadi lekat dengan hidup anggota legislatif. Itu sebabnya, ketika mereka mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatera Utara, program-program kerja yang ditawarkanya tak jauh dari soal gratis mengggratiskan.

Calon pemimpin yang aneh, tampaknya begitu. Penghargaannya terhadap profesi-profesi tertentu yang dilakoni rakyatnya, seperti guru, perawat, dokter, dan lain sebagainya, sangat buruk. Entah bagaimana cara berpikirnya sehingga menggratiskan pengobatan dan pendidikan, seolah-olah mereka yang mendirikan institusi bisnis rumah sakit dan pendidikan itu harus dikesampingkan. Meskipun begitu, kita tahu satu hal, menjadi Gubernur bagi para anggota legislatif adalah ekspresi idaman, puncak yang harus diraih dari pergulatan hebatnya di dunia politik. ***

Penulis adalah Peneliti pada Matakata Institute

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda