Bukan Soal Penyidik

by - October 11, 2012

Budi Hatees

Dipublikasi di Jurnal Nasional | Jum'at, 12 Oct 2012

APA modal seseorang untuk bisa jadi penyidik sehingga ia menjadi begitu penting di negeri ini. Kita tak tahu persis. Tapi kita tahu satu hal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) protes kepada Polri karena menarik 20 penyidiknya yang ditugaskan di lembaga pemberantas korupsi itu. Protesnya disampaikan lewat media massa.

Galibnya dalam dunia yang senantiasa hiruk-pikuk oleh informasi yang disebarluaskan media massa, kita ikut berwacana seakan-akan protes KPK terhadap Polri telah membuka babak baru dari pertarungan KPK lawan Polri. Kita berharap KPK ngotot, Polri juga tak mau kebijakannya diintervensi.

KPK, yang kehadirannya di negeri ini telah mereduksi beban kerja dan tanggung jawab Polri, tetap menolak penarikan 20 penyidik itu. Supaya mendapat dukungan publik, KPK kemudian membangun kesan bahwa menarik 20 penyidik oleh Polri berkaitan dengan upaya pengungkapan kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri. Sebab, 20 penyidik itu berperan aktif menyidik kasus korupsi yang membuat seorang jenderal polisi menjadi tersangka.

Tentu, Polri tidak mau menyerah karena kadung sudah menarik 20 penyidiknya dari KPK. Bergeming dengan kebijakan itu, Polri kemudian menolak upaya KPK mengait-kaitkan penarikan 20 penyidik itu dengan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri. Tapi, karena publik telanjur percaya pada alasan KPK mengingat kebencian mereka terhadap Polri sudah sampai titik jenuh, Polri pun akhirnya lebih tenang dengan mengatakan 20 penyidik itu akan diganti dengan penyidik yang lebih hebat.

Barangkali memang bukan soal penyidik yang sesungguhnya dipersoalkan dalam perkara KPK lawan Polri. Tapi soal lama: egoisme para elite pengelola lembaga negara yang acap menderita ketersinggungan elitisme. Kita menangkap ada ketersinggungan, mungkin semacam kegalauan, yang dipelihara. Tersinggung dan galau karena tugas dan tanggung jawab institusinya direduksi.

Akibatnya, lembaga yang sebelumnya menjadi paling dominan dalam mengurusi persoalan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya itu, harus berbagi dengan lembaga lain karean tuntutan konstitusi yang ada.

Kehadiran KPK di negeri ini, jauh sebelum konstitusi pembentukannya disahkan legislatif, sudah bisa dibayangkan akan menangguk cibiran. Sebab, KPK akan bertugas memberantas korupsi, dan lembaga ini menjadi lembaga super. Ia akan membuat lembaga-lembaga lain seperti Polri dan Kejaksaan, yang selama ini menangani perkara tindak pidana korupsi, menjadi tidak terlalu berperan.

KPK hadir, Polri dan Kejaksaan pun dipinggirkan dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Konstitusi negara memberi banyak fasilitas buat KPK untuk mempermudah menjalankan tugas dan kewajibannya. Fasilitas dan kemudahan yang sesungguhnya telah lebih dahulu dituntut Polri maupun Kejaksaan, tapi KPK yang justru mendapatkannya.

Dengan ragam kemudahan itu, KPK ternyata menjadi lembaga super yang merasa tanpa tanding. Begitu akan ditandingi, KPK dengan cepat berteriak bahwa “ada upaya melemahkan KPK‘. Cengeng, sungguh. Padahal, sebagai lembaga yang menjadi “anak emas‘, KPK seharusnya bisa menunjukkan aksi hebat dan luar biasa dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi, tidak demikian, karena KPK justru lebih sibuk mengurusi diri sendiri.

Sayangnya, ada atau tidak ada KPK, korupsi tetap jadi perkara besar di negeri ini. Banyak kasus yang diungkap KPK, yang diselesaikan berlarat-larat, dan yang tak jelas bagaimana akhirnya. Kinerja yang tak sesuai ekspektasi publik itu malah meninggalkan kesan bahwa KPK hanya semacam kayu pengungkit batu tempat udang bersembunyi, karena KPK tidak pernah menangkap udangnya.

Lantas, masihkah kita mempermasalahkan soal penyidik? Memang bukan soal penyidik. Bukan pula soal melemahkan KPK. Ini soal lain, soal yang terkait dengan harapan yang terlalu dilambungkan untuk KPK dan yang pasti sukar diraih. Kondisi inilah yang mendorong Polri dan Kejaksaan, dua lembaga penegak hukum yang kewenangannya tereduksi dengan kehadiran KPK, merasa bahwa kinerjanya dalam memberantas korupsi menjadi terstigmatisasi.

Polri dan Kejaksaan dipandang lemah, karena kedua lembaga penegak hokum ini dipandang terlalu banyak mengungkap kasus korupsi tetapi terlalu sedikit menegakkan keadilan hukum bagi pelaku tindak pidana luar biasa ini. Ternyata pula, KPK yang diharapkan tidak seperti Polri dan Kejaksaan, masih saja mengulangi track record yang tak bagus itu.

Bedanya, jika Polri dan Kejaksaan tampak seperti lembaga yang lebih sibuk membangun dan mengembalikan citra dirinya yang jatuh di hadapan publik, maka KPK lebih cenderung sebagai “anak manja‘ yang meyakini bahwa dirinya menjadi pusat perhatian publik. Padahal, ketiganya sama saja: jelas-jelas tidak mampu membuat masalah korupsi menjadi tidak masalah bagi negeri ini.

Jadi, ini bukan soal penyidik. Ini soal yang telah bernanah dalam sistem birokrasi di negeri ini ketika nilai-nilai personal menjadi subtansial dalam budaya birokrasi. Subtansial karena birokrasi digerakkan berdasarkan nilai kepatutan dan kepatuhan terhadap atasan.

Tugas dan tanggung jawab dalam budaya birokrasi kita dilaksanakan bukan karena sikap profesional, dan bukan karena melekat pada lembaga birokrasi bersangkutan. Melainkan karena sebuah keharusan, kewajiban yang acap tertanam dalam diri sebagai sebuah beban, sehingga yang diutamakan adalah kepatutan dan kepatuhan pada atasan.

Situasinya akan sangat tak produktif jika birokrasi bersangkutan juga disemangati oleh nilai-nilai korps yang menempatkan pimpinan sebagai atasan yang tak terbantahkan. Inilah yang tampak pada birokrasi di lingkungan Polri dan Kejaksaan, juga tidak terkecuali pada sistem organisasi di lingkungan birokrasi KPK.

Setiap orang dituntut patuh dan tunduk pada pimpinan, tak diharapkan sikap kritisnya untuk menyikapi situasi yang ada. Itu sebabnya, 20 penyidik yang ditarik Polri tak bisa menolak panggilan tugas dari institusi Polri. Jika memang penarikan itu terkait pengungkapan kasus korupsi di tubuh Mabes Polri, tentu 20 penyidik harus mengkritisi kebijakan Polri tersebut dengan alasan kepentingan negara dalam memberantas korupsi. Tapi, budaya birokrasi kita tak memberi tempat kepada sikap kritis. Budaya birokrasi kita hanya memberi tempat pada kepatutan dan kepatuhan. n

You May Also Like

0 #type=(blogger)