Pelaku Ekonomi Kreatif Harus Mandiri Sejak Awal

by - February 01, 2013

Sejak dekade 1980-an,  Kelurahan Hutasuhut di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara—sekitar 12 jam perjalanan dari Kota Medan ke arah  Selatan-- dikenal  luas sebagai sentra industri kerajinan.  Dari kelurahan yang berpenduduk sekitar 600 keluarga ini, muncul ragam komoditas berbahan baku manik-manik dan olahan kain (ulos) Batak serta kain tenun Sipirok.


Bekerja dan berpenghasilan sebagai pengrajin menjadi kegiatan yang dilakukan kaum perempuan,  anak-anak gadis dan ibu-ibu rumah tangga. Sebagian besar kaum laki-laki bekerja sebagai petani penggarap sawah dan berkebun tanaman keras.  Jadi, dalam satu rumah tangga, suami, istri, dan anak-anak berpenghasilan. Ragam produk kerajinan yang  merupakan industri rumah tangga (home industry) diproduksi,  tapi usaha yang dilakoni selama bertahun-tahun ini tak kunjung mampu melepaskan mereka dari jerat kemiskinan.  Mereka belum bisa menjadi pengusaha yang mandiri.

Sebagaimana kendala industry kerajinan yang sifatnya kegiatan rumah tangga,  persoalan yang dihadapi para pelaku industry kerajinan di Kelurahan Hutasuhut sangat konpleks. Selain factor minimnya modal kerja dan kesulitan mengakses modal di sektor perbankan,  tingkat pengetahuan mereka tentang industry kerajinan masih tradisional. Pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki berdasarkan apa yang diterima karena diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua sejak 1980-an.  

Selain itu, keberadaan pemerintah daerah acap tak memberi dukungan memadai akibat kualitas sumber daya manusia (SDM) dari petugas-petugas dinas/instansi terkait tak punya kompetensi guna melakukan perberdayaan industry kerajinan skala rumah tangga tersebut.  Sebagian besar petugas dinas/instansi terkait yang datang ke Kelurahan Hutasuhut lebih banyak didorong oleh kepentingan pencitraan dinas/instansi terkait tersebut.

“Pemerintah daerah baru mengunjungi para perajin kalau ada event pameran hasil kerajinan. Kedatangan mereka cuma untuk meminjam pakai barang-barang guna mengisi stand-stand  pameran milik dinas/instansi,” kata Nurhayati (60), pengrajin di Kelurahan Hutasuhut yang juga Ketua Koperasi Industri Kerajinan Rakyat (Kopinkra) Bersama Kecamatan Sipirok, akhir Januari 2013 lalu.

Barang-barang  hasil karya para perajin itu kemudian diklaim pihak dinas/instansi terkait sebagai hasil karya pengrajin binaan mereka. “Boro-boro membina pengrajin. Dinas dan instansi terkait malah menyengsarakan pengrajin. Mereka membawa hasil karya kami dan dipamerkan di stand pameran, tapi kemudian dikembalikan dengan alasan tidak ada yang laku. Bagaimana bisa laku, harga barang kerajinan yang seharusnya Rp5000 per picis, mereka bandrol dengan harga Rp15.000 per picis supaya punya keuntungan besar,” katanya.


Lantaran alasan itu, banyak pengrajin yang menolak meminjamkan hasil produksi mereka bila ada event pameran kerajinan di berbagai daerah.  Di luar kegiatan-kegiatan event  pameran,  tak pernah ada petugas dari dinas/instansi yang mendatangi pengrajin. “Inilah kendala yang kami hadapi, makanya kami bangun koperasi pengrajin agar seluruh pengrajin bisa saling memberdayakan dan tidak perlu tergantung terhadap pemerintah,” kata Nurhayati.

Sapi Perah Pemerintah Daerah

Nurhayati hanya pengrajin tradisional yang melakoni pekerjaannya sebagai kegiatan sehari-hari.  Pengrajin yang telah mengupayakan ragam jenis produk sebagai pengembangan hasil-hasil kerajinan manik-manik, ulos Batak, dan kain tenun Sipirok itu, hanya satu contoh dari sekian banyak pengrajin di negeri ini yang belum bisa memanfaatkan momentum pengembangan industry kreatif yang sedang digalakkan pemerintah.

Untuk itu, para pengrajin membutuhkan kehadiran semacam fasilitator yang bisa mensinkronisasikan antara kegiatan usaha industry kreatif yang mereka lakonoi dengan kebijakan pemerintah dalam memberdayakan ekonomi kreatif untuk meningkatkan kualitas pembangunan nasional. Keluarnya Instruksi Presiden No. 6  Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, sebetulnya sebuah perintah dari Kepala Negara terhadap jajarannya.

Di dalam teks Impres No.6 Tahun 2009 itu dirinci, Presiden mengintruksikan kepada 23 kementerian, 4 badan dan lembaga pemerintah, dan seluruh gubernur, bupati/walikota agar mendukung kebijakan pengembangan ekonomi kreatif tahun 2009-2015 yang mencakup 14 subsektor industri kreatif. Bentuk dukungan itu berupa “pengembangan kegiatan  ekonomi berdasarkan pada  kreativitas,  keterimpilan,  dan  b a h t   individu  untuk menciptakan  daya kreasi  dan  daya  cipta individu  yang  bernilai ekonomis  dan  berpengaruh  pada kesejahteraan  masyarakat Indonesia.”

Pengembangan ekonomi kreatif  itu diarahkan pada pemberdayaan yang berbasis local dengan perspektif mempertahankan identitas kreasi lokal dalam konteks kemajuan tehnologi dan globalisasi. Idustri yang didata pemerintah meliputi :  periklanan,
arsitektur, pasar seni dan barang izntik, keraj inan, desain, fashion (mode), film, video, dan fotogra.fi, pernainan interaktif, music, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televise, dan riset dan pengembangan.

Namun, para pengrajin yang ada di Kelurahan Hutasuhut hingga kini belum tentang Inpres No.6 Tahun 2009 tersebut, konon lagi mengerti  program dari Pemda Tapanuli Selatan untuk melaksanakan Inpres tersebut.  Artinya, tidak ada rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif sebagai tindak lanjut instruksi Presiden selaku Kepala Negara, sehingga pada tingkat defenisi ekonomi kreatif saja para pengrajin tidak bisa memahami.

Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Tapanuli Selatan, Soafiyah Syahrul M Pasaribu, seusai acara Pelatihan Penenun ATBM Kain Sipirok yang digelar Kopinkra Bersama Kecamatan Sipirok bekerjasama dengan yayasan Sahata Hita dan Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Tapanuli Selatan, di Balai Kecamatan Sipirok, Kelurahan Pasar Sipirok, Tapsel, pada 1 Oktober 2012,  tak secara langsung menjawab perihal rencana aksi Pemda tapsel terkait Impres No.6 tahun 2009. 

Dia menjelaskan, Pemda Tapsel bersama Dekranasda Tapsel mengupayakan produk industri kerajinan rakyat Kecamatan Sipirok memiliki pasar yang jelas. Salah satu upayanya, menjadikan kain tenun (Alat Tenun Bukan Mesin) ATBM Sipirok jadi ikon (ciri khas) kain tradisional Tapsel,” katanya.

Ditambahkannya, Bupati Tapsel telah menetapkan “sehari wajib berpakaian kain tenun Sipirok” bagi PNS di jajaran Pemda Tapsel. Ini juga upaya memperluas pasar kain tenun Sipirok. Pemda Tapsel juga sedang menjajaki agar kain tenun Sipirok menjadi seragam di instansi BUMD di Sumatra Utara.

Namun, Nurhayati dan sejumlah pengrajin di Kelurahan Hutasuhut mengatakan, apa yang diungkapkan oleh Ketua Dekranasda Tapsel itu tidak sesuai kenyataan. Keberadaan Dekranasda Tapsel justru membuat citra industry kerajinan menjadi buruk. “Dekranasda meminta barang dari pengrajin dan dijual di show room milik Dekranasda tapsel. Tapi, Dekranasda Tapsel baru membayar setelah barang laku, itu pun bisa sampai enam bulan. Padahal pengrajin butuh modal kerja,” kata Nurhayati.

Menurut Nurhayati, Dekranada Tapsel itu menjadi lembaga pemerintah yang dikelola oleh pemerintah untuk menekan pengrajin. “Kehadiran Dekranasda memperburuk iklim usaha yang ada,” katanya.

Hal senada diucapkan Masniari, juga pengarajin pemilik show room di Pasar Sipirok.  “Saya tidak mau mengirim barang hasil kerajinan ke Dekranasda Tapsel. Harga yang dibuat Deskranasda Tapsel untuk satu produk sangat mahal. Misalnya, harga yang dijual ke pembeli sebesar Rp500.000 per picis kain tenun, padahal dari pengrajin Rp250.000 per picis. Dalam kwitansi ditulis Rp250.000 yang diterima pengrajin, kenyataan yang sampai tidak lebih Rp200.000 dengan alasan dipotong keuntungan untuk Dekranasda Tapsel,” katanya.

Pengrajin sukar sejahtera karena selalu menjadi sapi perah pemerintah daerah.  Sebab itu, tindak lanjut dari Inpres No.6 Tahun 2009 tak aka nada realisasinya disebabkan banyak factor, terutama terkait kesiapan dinas/instansi pemerintah daerah.

Ekonomi kreatif

Ragam persoalan yang dihadapi pengrajin di Kelurahan Hutasuhut itu memperparah kondisi kesejahteraan para pengrajin. Padahal, industry kerajinan tangan yang dikerjakan sejak 1980-an itu potensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Untuk itu, pertama-tama pengrajin harus tahu dan meyakini bahwa indutri kerajinan yang mereka tekuni merupakan keunggulan bagi daerahnya sehingga mereka menjadi focus untuk memikirkan bagaimana mengatasi persoalan yang dihadapi. Persoalan yang dihadapi pengarajin terkait pada pengembangan teknologi, standar produk,  prosedur yang jelas, perlindungan karya cipta, pembiayaan, informasi, pengelolaan.

Karena berkaitan dengan produk kreatif,  aspek-aspek tadi mempunyai karakteristiknya sendiri. Produk kreatif adalah produk yang nilainya terletak gagasan baru. Sebagai contoh, pencatatan hak cipta harus lebih sederhana, cepat dan murah, khususunya jika para pelaku berada pada katagori industri kecil dan menengah.

Bagian yang tersulit adalah mengatasi hambatan dari logika birokrasi. Birokrasi mensyaratkan kepastian, sedangkan industri kreatif masuk wilayah gagasan baru. Hal ini sering menimbulkan perbenturan dengan birokrasi dimana birokrat tidak berani  ikut menanggung risiko jika harus memfasilitasi atau memberikan izin. Perbenturan antara birokrasi dengan pelaku industri kreatif semakin kerap terjadi jika jenis industri kreatif semakin memerlukan campur tangan negara.

“Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mempermudah para pengrajin mengembangkan ekonomi kreatif. Salah satunya pada aspek akses pengrajin terhadap inovasi dan diffuse selain terhadap modal,” kata Nurhayati.

Dengan ditetapkannya industri kreatif telah ditetapkan sebagai salah satu tiang pembangunan ekonomi, maka Pemda Tapsel wajib membuat rencana aksi membantu pengembangan industri kreatif. Panduan bagi pemerintah daerah sudah banyak seperti seri studi dan rancangan strategis yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan telah memuat cetak biru yang cukup lengkap. Bahkan telah dihasilkan berbagai aspek terkait yang harus dikembangkan menurut per bidang.

Sebagai contoh, industri kreatif di Kelurahan Hutasuhut membutuhkan ruang publik yang banyak dan dinamis. Kreatifitas ditunjang oleh apa yang terjadi di ruang publik.  Pemda Tapsel sudah memiliki asset berupa bangunan yang dipersiapkan sebagai show room untuk hasil kerajinan seperti yang ada di Desa Baringin. Tapi, pemrintah daerah tak kunjung memanfaatkan gedung yang dibangun dengan dana APBD Tapsel itu.  “Gedung untuk show room hasil kerajinan itu malah dialihfungsikan,” kata Nurhayati.

Sebagai aset pemerintah daerah, alat-alat produksi itu mesti diberdayaka, difungsikan, dan diefektifkan sehingga investasi yang terlanjur dikeluarkan bisa bermanfaat untuk kemaslahatan public. Setidaknya, hasil investasi itu bisa memberi kontribusi yang bagus terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),  satu sumber terpenting dari pembiayaah program-program pembangunan daerah.  Pada akhirnya, dinamika pembangunan daerah akan sukses mewujudkan cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Upaya Kreatif

Berbagai kendala yang dihadapi para pengrajin di Kelurahan Hutasuhut mendorong sejumlah generasi muda asal Kecamatan Sipirok tergerak membantu mencarikan solusi. Para perajin yang mengandalkan kreativitasnya dalam menciptakan karya-karya kreasi sebagai mata pencaharian, bukan saja membutuhkan suntikan modal untuk mengembangkan usahanya. Tapi, juga membutuhkan pengetahuan berupa inovasi atas karya-karyanya menjadi produk yang lebih diminati pasar.

Sekelompok pemuda pelajar asal Kecamatan Sipirok, yang kemudian membentuk sebuah wadah bernama Yayasan Sahata Hita, yang bergerak di bidang pemberdayaan publik di bidang sosial ekonomi, kemudian memberikan ragam pelatihan kepada para pengrajin di bidang peningkatan kualitas produksi, inovasi produksi, pemasaran, manajemen, dan permodalan. 

Ketua Yayasan Sahata Hita, Muhammad Yunus, pemuda asal Kelurahan Hutasuhut yang juga alumni Institute Teknologi Bandung (ITB),  mengatakan masyarakat pengrajin pertama-tama membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang apa yang dimaksudkan pemerintah dengan program ekonomi kreatif. "Untuk menambah pengetahuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kapasitas publik, sejumlah pengrajin diberi pelatihan dan pemahaman tentang ekonomi kreatif," kata Muhammad Yunus.

Selain pemahaman tentang ekonomi kreatif, kata dia, para pengrajin juga dipersiapkan menjadi pelaku usaha ekonomi kreatif yang kelas bakal mandiri. Untuk itu, mereka diperkenalkan terhadap berbagai persoalan menyangkut pengembangan sektor ekonomi termasuk membuka akses mereka dengan pihak perbankan. 

"Akses para pengrajin terhadap modal berupa pinjaman dari sektor perbankan memang lemah selama ini. Tapi, hal itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, tidak pihak yang mau menjembatani terbinanya komunikasi antara pengrajin dengan perbankan," kata Muhammad Yunus.

Untuk itu, Yayasan Sahata Hita mencoba menjembatani pengrajin dengan Bank Syariah Mandiri, bank yang baru buka kantor cabang pembantu di Kecamatan Sipirok.  Dalam  pertemuan dengan manajemen Bank Syariah Mandiri KCP Sipirok, Yayasan Sahata Hita atas nama Koperasi Industri Kerajianan Rakyat (Kopinkra) Bersama Kecamatan Sipirok menjajaki kemungkinan bagi Bank Syariah Mandiri untuk menggelontorkan modal kerja buat pengrajin di Kelurahan Hutasuhut dengan model kolektif  dimana Yayasan Sahata Hita bertindak sebagai avalis.

"Segala tanggung jawab atas pencicilan kredit bank menjadi beban yayasan. Pihak bank tinggal berhubungan dengan yayasan," kata Muhammad Yunus.

Kontrak kerja sama yayasan itu diharapkan dapat mengatasi masalah modal yang dihadapi para pengrajin, sehingga berbagai upaya untuk mengembangkan industry kerajinan skala rumah tangga itu bisa lebih diberdayakan.  Salah satu point kontrak perjanjian mengharuskan agar seluruh anggota Kopinkra Bersama Kecamatan Sipirok menjadi nasabah Bank Syariah Mandiri dengan membuka rekening tabungan perorangan dan rekening tabungan untuk institusi koperasi. "Kami berharap para pengrajin jangan terlalu tergantung kepada pemerintah daerah, tapi sejak awal berusaha untuk bekerja mandiri," kata Muhammad Yunus.

"Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari http://www.bankmandiri.co.iddalam rangka memperingati HUT Bank Mandiri ke-14. “

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda