Sepenggal Kisah tentang Pidori

by - November 19, 2012

Bisa jadi tak akan ada yang paham apa pidori pada saat ini. Sejarah telah menenggelamkan kata "pidori" dalam lipatan-lipatan masa lalu yang tak perlu diingat. Padahal segala yang berbau sejarah, segetir apapun hal itu pernah menoreh luka dalam diri kita, sesuatu yang perlu dipelihara dan dijaga. Dan, pada paruh abad ke-19, setiap orang di Kabupaten Tapanuli Selatan  akan bersembunyi begitu mendengar kata pidori diteriakkan seseorang sambil berlari terbirit-birit. Karena setiap orang akan membayangkan kematian yang terasa begitu dekat, cepat, dan singkat. Kreek! Ada daging yang tersayat. Setidaknya itulah yang ingin diungkapkan Basyral Hamidy Harahap ketika ia menulis Greget Tuanku Rao (2007).

Pidori adalah bahasa Batak, bahasa yang dipakai masyarakat Batak Angkola--yang menyebar di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas, Padanglawas Utara, dan Mandailing--untuk menyebut padri. Padri identik dengan kematian, yakni sepasukan laskar berkuda, berjubah putih, dan berserban, yang datang dari Minangkabau dengan pedang di tangan dan siap menebas apa saja. Pasukan itu menyerang daerah Tapanuli bagian Selatan, mulai dari Mandailing sampai Sipirok, dan penyerangan itu berlangsung dari 1816 sampai 1833. Selama itu pula, kematian telah banyak diciptakan, penderitaan berkepanjangan, dan tragedi kemanusiaan paling kejam dalam sejarah manusia di wilayah Tapanuli Selatan.

Cuma, Basyral Hamidy Harahap terlalu ingin menjadi monumen dari sejarah kepedihan manusia di tangan padri yang selalu berdarah di tanah Tapanuli bagian Selatan. Ia menggembar-gemborkan fakta kekejaman itu untuk melengkapi fakta-fakta yang luput dari pengamatan Mangaraja Onggang Parlindungan ketika menulis Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Padahal, nyaris tidak kita temukan bukti-bukti konkrit dari kekejaman itu seperti ketika orang-orang menemukan kuburan massal dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Charles Taylor, bekas Presiden Liberia, ketika ia menjadi pemimpin pemberontak yang menggulingkan Presiden Samuel K. Doe pada 1989.

Setiap orang yang memahami betul bagaimana sebuah karya ilmiah ditulis bahkan dengan teknik yang sangat tak ilmiah seperti dilakukan Clifford Geertz ketika membicarakan antolopologi masyarakat Jawa, pastilah tidak akan menjadikan Tuanku Rao sebagai rujukan untuk membicarakan realitas antropologi budaya masyarakat yang hidup di wilayah Tapanuli Selatan. Maka, ketika Basyral Hamidy Harahap menerbitkan buku lain untuk melengkapi Tuanku Rao, kesan yang ditangkap justru budayawan Batak itu hendak menunjukkan bahwa dirinya ingin menjadikan buku fiksi Tuanku Rao sebagai buku ilmiah. Dan, bersamaan dengan terbitnya Greget Tuanku Rao, Basyral Hamidi Harahap menggaungkan gugatan atas gelar kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol, sehingga upaya itu menjadi semacam pembohongan yang pada akhirnya membodohi,  seakan-akan Tuanku Rao betul-betul karya paling representatif yang membicarakan realitas antropologi penganut kebudayaan Batak di Sumatra Utara. Posisinya di kalangan ilmuwan hendak disejajarkan dengan buku Gertz tentang Jawa, The Religion of Java (1960), atau buku Raffles tentang Jawa, atau buku Marsden tentang Sumatra.

Pada masa hidupnya, Buya Hamka mendebat semua isi buku itu dengan menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Sebagai orang yang tak asing dengan dunia fiksi, Hamka mampu mementahkan semua hal yang disebut fakta dalam Tuanku Rao menjadi sesuatu yang fiksional. Tapi, sampai hari ini orang tetap membicarakan Tuanku Rao seakan-akan buku itu sebuah potret yang sesungguhnya, karena ia bercerita tentang penaklukan terhadap Si Raja Batak, pusat dari kebudayaan Batak.  Sedangkan Tuanku Imam Bonjol hingga hari ini tetap menyandang gelar Pahlawan Nasional dengan sejarah yang indah, yang tak ada kaitannya dengan pembunuhan massal kaum pidori seperti disebut Basyaral Hamidi Harahap.

*

Benarkah pidori begitu kejam hingga pantas disebut pelaku kejahatan kemanusiaan seperti streotipe yang hendak dibangun Basyaral Hamidy Harahap dengan buku Greget Tuanku Rao itu?  Kita tak tahu persis, tapi pada paruh abad ke-19 itu, konflik social pecah di lingkungan masyarakat Minangkabau. Sekelompok orang, yang tak menyukai kaum adat karena didukung oleh kolonialis Belanda, memaklumatkan jihad sambil berteriak “Allohu Akbar!” 

Dimulai dari Bukit Kamang,  seseorang bernama Tuanku Nan Rinceh, berusaha menegakkan sebuah masyarakat yang ideal: tak ada sabung ayam, judi, minuman keras, candu, dan zinah. Masyarakat madani, sebuah cita-cita yang dibawa Tuanku Nan Rinceh dari jazirah Arab—masyarakat yang dicita-citakan bangsa ini ketika menggelorakan reformasi pada 1998 lalu – dan diproklamirkan Tuanku Nan Rinceh dengan sepenggal  kalimat “kembali ke syariat Islam”.

Pada zaman ketika Belanda sangat berkuasa, semua warga pribumi diadu domba untuk melemahkannya. Kaum adat diberi gaji, diangkat sebagai pejabat, difasilitasi, dan dipaksa berhadap-hadapan dengan kaum agamis. Nilai-nilai adat yang dianut kaum adat, yang menjadi sistem social saat itu, dipertahankan menjadi sistem kepercayan karena di sana selalu ada tabu. Tabu bisa melumpuhkan daya tindak dan daya cipta manusia, membuat rakyat jajahan tetap lemah sehingga bisa dikendalikan terus-menerus.

Tuanku Nan Rinceh, yang kemudian berhasil membentuk sebuah kelompok yang menyebut dirinya sebagai gerakan pemurnian Islam, pada akhirnya berhasil menyatukan visi-visi perjuangan untuk melawan Belanda. Gerakan kaum padri ini, kemudian dipimpin Tuanku Imam Bonjol, berjuang tidak hanya angkat senjata. Mereka memperkenalkan nilai-nilai agama Islam sesuai syariat Islam. Bersamaan dengan itu, agama Islam memberi makna kewajiban religius yang lebih mendalam, yang bukan berupa paksaan atau larangan, melainkan berupa hal yang baru, yakni ekspresi cita-cita positif kebebasan manusia.  Tapi, gerakan padre menanamkan nilai-nilai agama Islam itu dengan sangat keras, karena masyarakat pada zaman itu terlanjur menjadi jahiliyah akibat penjajahan Belanda.

*
           
Gerakan pidori mencemaskan bagi kekuasaan Belanda. Gerakan itu muncul berbarengan dengan paranoia yang menghantui pemerintah colonial Belanda ketika Islam di jazirah Arab menyebar begitu pesat hingga ke Asia. Kabar bahwa Abd al-Mutallib, yang dikenal sangat anti terhadap Kristen, ditunjuk Sultan Kekaisaran Ottoman, untuk menjadi Syarif di Mekkah membuat bulu kuduk para pejabat Inggris dan Belanda berdiri.

Malet, seorang pegawai Inggris yang bertugas di Kairo, mengirimkan telegram ke London yang berbunyi, ”Hijaz akan digenangi dengan darah... karena kebencian buta Abd al-Mutallib terhadap orang Kristen, orang asing, dan orang India.” Kasak-kusuk tentang konspirasi global Islam pun menyebar di antara para pegawai Eropa di Timur Tengah. Pada 1881, dari Jeddah, James Zohrab, pegawai konsulat Inggris, menuliskan surat bahwa terdapat secret society yang mencakup umat Islam dari sejumlah negeri, dari Timur Tengah hingga Jawa, yang berencana memulihkan kekhalifahan.

Di Minangkabau, gerakan padri diidentikkan pemerintah colonial Belanda dengan bagian dari gerakan Arab untuk membangun kekhalifahan yang kuat di Sumatra. Kesimpulan ini berdasarkan asumsi dari laporan mata-mata Belanda yang ditempatkan di Mekkah, yang menyebut banyak keturunan Minagkabau belajar Islam langsung dari Abd al-Mutallib di Mekkah. Karel Frederik Holle, penasihat kehormatan pemerintah Hindia-Belanda untuk persoalan pribumi, punya peran besar untuk menguatkan paranoia pemerintah colonial Belanda.

Karena itu, gerakan padri menjadi prioritas utama untuk dibasmi dengan segala macam cara, mulai dari memerangi lewat berbagai pertempuran sampai pada taktik busuk untuk mengadu domba. Tapi, karena kaum adat Minangkabau tidak berkutik di hadapan pejuang-pejuang padri sehingga tak bisa diandalkan untuk diadu domba, penguasa kolonial Belanda di Batavia mencari jalan lain. Pilihannya, melawan penyebar agama Islam dengan menyebarkan para misonaris yang bekerja berpatokan pada hasil penelitian para antropolog seperti Dr. H.N. van der Tuuk.

Ketika para misionaris diterjunkan Pemerintah Hindia Belanda dengan modal hasil penelitian antropologi,  dunia ilmu pengetahuan masih terkungkung  dalam pandangan sempit yang memosisikan antropologi sebagai bagian yang sah
dari seluruh bangunan sciences, dan karena itu antropologi dipandang sebagai  disiplin ilmu dengan kemampuan generalisasi yang luas yang bisa menjelaskan apa saja yang dilakukan manusia dalam masyarakatnya. Pada zaman itu, segala ide tentang kebudayaan manusia  diperlakukan sebagai semacam hukum gravitasi untuk bidang humaniora dan ini menjadi dasar pengetahuan para ilmuwan Eropa yang lebih dikenal sebagai pengagum Nederlandosentrisme.
Nerderlandosentris memasak para ilmuwan untuk senantiasa berpatokan pada hasil-hasil temuan ilmuwan dari Eropa yang kuat dipengaruhi kepentingan politik Pemerintah Belanda di wilayah jajahan. 

Tapi, misonaris dari berbagai perkumpulan gereja di Eropa, terutama Gereja Ermello di Belanda, tak bisa berkutik di wilayah Minangkabau. Kuatnya pengaruh padri tidak hanya di bidang agama, tapi juga dalam segala sector perekonomian yang kemudian membuat Belanda semakin terdesak dan tertekan. Belanda tak memperoleh keuntungan apapun di wilayah Minangkabau, malah selalu merugi akibat pertempuran dengan pejuang padri.

Christine Dobbin dalam bukunya, Islamic Revivalism in a ChangingPeasant Economy, sebuah study tentang pergolakan social di Minangkabau selama periode 1784-1847, menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan kaum padre terhadap Belanda didorong oleh perubahan situasi perekonomian daerah akibat melonjaknya nilai ekonomi ekspor kopi dan hasil-hasil bumi.  Minangkabau menjadi pusat dari segala  geliat perekonomian, menampung segala jenis hasil kebun terutama kopi dan bahan tambang, lalu menjualnya kepada para pedagang yang dating dari jazirah Arab dan Hadramaut.

Pejuang padri mengumpulkan komoditas-komoditas itu dari kaum pedagang asal Minangkau yang bepergian ke wilayah Utara, yakni wilayah masyarakat Batak. Kaum-kaum pedagang Minangkau itu, dalam perkembangannya saat ini menjadi masyarakat diaspora Minangkabau yang disebut masyarakat Daret, tumbuh pesat secara ekonomi di lingkungan masyarakat Batak karena menguasai jalur sector-sektor produksi.  Tingginya tingkat kemakmuran pedagang Minangkau itu membuat Pemerintah Hindia Belanda menjadi punya cukup alasan untuk mengadu-domba antara Minangkabau dengan Batak.

*

Ketika adu domba itu dilakukan, Pemerintah Belanda memandang masyarakat Batak sebagai masyarakat barbar, sebagaimana dipahami William Marsden dalam The History of Sumatera yang diterbitkan tahun 1784. Sebagai masyarakat barbar, masyarakat Batak diposisikan sebagai masyarakat yang paling layak untuk di-Islam-kan oleh pejuang-pejuang pidori.

Karena itu, segala upaya untuk melemahkan perjuangan padre dilakukan, termasuk menciptakan sebuah fiksi yang seolah-olah kenyataan tentang pembantai manusia oleh padri di wilayah Batak, di lingkungan masyarakat beradat Mandailing dan Angkola. Tapi, masyarakat Batak Mandailing dan Batak Angkola bukan masyarakat barbar karena telah beragama Islam, terutama tidak mudah diadudomba dengan sesame ummat Islam.

Dalam Angkola Batak Kinship Through its Oral Literature, disertasi Susan Rodgers untuk mendapat gelar Ph.D dari University of Chicago tahun 1978, disebutkan bahwa ciri utama yang sangat dominan dalam komunitas masyarakat beradat Angkola adalah kehidupan mekanistis mereka yang sarat akan perasaan kebersamaan, demokrasi, kerjasama, interaksi sosial yang intens, kearifan lokal, serta kedamaian yang mengejawantah dalam ragam seremoni adat, dan semuanya tertera begitu jelas dalam filsafat hidup Dalihan Na Tolu.

Peradaban masyarakat Batak beradat Angkola dan Mandailing sudah tinggi, bukan masyarakat barbar yang kolot. Tingginya peradaban masyarakat ini sebetulnya sudah dibeberkan para antropolog dalam sejumlah catatan mereka yang dikirim kepada Gubernur Jenderal  di Batavia. H.N. van der Tuuk, seorang antropolog asal Amsterdam, yang telah memplajari bahasa dan aksara masyarakat, mengirimkan catatan-catatannya tapi diabaikan Pemerintah Belanda, dan tetap memainkan politik kolonialisme ekstraktif yang hanya mengeruk kekayaan alam dan menghancurkan elite local beserta kepemimpinannya. Upaya itu menemukan jalan buntu, meskipun Belanda tidak berhadapan dengan tokoh-tokoh heroik di lingkungan masyarakat beradat Angkola dan Mandailing sebagaimana pernah berhadapan dengan Tuanku Imam Bonjol.
Belanda berhadapan dengan para panusunan bulung dari marga-marga yang tumbuh di lingkungan masyarakat setempat.

Adu domba itu sia-sia,  kemudian mendorong Pemerintah Hindia Belanda, dimasa kekuasaan para kontroleur, menciptakan fiksi lain yang lebih dasyat berupa menyerang Si Raja Batak, Si Singamangaraja. Mangaraja Onggang Parlindungan, yang didukung oleh kontroleur Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Keresidenan Tapanoeli, menciptakan sebuah novel panjang yang kemudian diberi judul Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Novel panjang yang dibungkus dengan dusta sebagai karya ilmiah itu, menceritakan Pongky Nangolngolan  sebagai anak haram Si Singamangaraja yasng kelak menghancurkan Si Raja Batak.

Jadi, apa yang dihasratkan Basyaral Hamidy Harahap tentang kejahatan manusia oleh pejuang padri, sesuatu yang selayaknya ditertawakan. Warisan pemikiran kolonialisme Belanda, ternyata masih dianut dan diteriakkan sebagai semangat kebangsaan. *

Dipublikasi di Batak Pos edisi Sabtu, 17 November 2012

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda