pers kami di lampung

by - February 08, 2008

Oleh Budi P. Hatees

Praktisi pers, pengajar jurnalistik, dan Ketua Program Studi Komunikasi, Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (USBRJ) Lampung

MEMPERINGATI Hari Pers Nasional pada 9 Feberuari 2008, ada baiknya masyarakat digiring untuk paham kondisi institusi penerbitan pers yang ada di provinsi ini. Apakah institusi ini sudah memperlakukan public sebagai entitas yang mesti dilayani kebutuhan-kebutuhan informasinya, atau peran itu belum berjalan sama-sekali.

Strategi Pers Lampung

Strategi bisnis yang ditempuh para pengelola media cetak di Lampung, perlahan lahan dan pasti telah membuat media cetak menjauhi publik pembaca. Peran yang bisa dimainkan dan diberikan media cetak untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosialnya, sama sekali tidak muncul karena institusi-institusi bisnis ini cenderung mengamalkan konsep bahwa satu-satunya tanggung jawab sosial mereka hanya “bagaimana meningkatkan laba”. Radar Lampung menutupi kelemahan ini dengan ragam kegiatan sosial (social responsility) yang dilakukan lembaga ini.

Sebab itu, tidak heran bila masyarakat Lampung sebagaimana disampaikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS), banyak yang hidup miskin. Kemiskinan mereka lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena media cetak tidak memainkan peran sebagai media sosialisasi pendidikan yang dapat membantu masyarakat membebaskan diri dari jerat kemiskinan tersebut.

Bila kemiskinan masyarakat merupakan bencana sosial, Denis McQuail meyakini pers dapat melakukan berbagai tindakan antara lain memberikan informasi, membantu masyarakat membuat agenda recovery, memediasi masyarakat dalam mengatasi masalah kedaruratan, mempengaruhi pihak lain untuk peduli dan terlibat memberikan bantuan, menghibur korban atau pihak terkait lain dan atau melakukan kontrol atas penggunaan kekuasaan apapun dalam mengadvokasi atau menangani bencana.

Namun, dalam iklim media yang kini berlangsung di Lampung, peran-peran tersebut saling tumpang-tindih karena kontrol atas pilihan peran media berada penuh pada pundak pemilik. Tumpang-tindihnya peran terutama dimotivasi oleh hasrat komersial yang berlebihan untuk mengeksploitasi bencana sebagai ”kisah satir yang menghibur” setiap saat. Kita membaca media-media cetak di Lampung yang menjadikan bencana kemiskinan sebagai liputan utama berhari-hari (running news), tetapi hasrat untuk memberi agenda recovery sangat minim.

Kemiskinan menjadi berkah bagi pengelola media cetak, padahal kemiskinan masyarakat akan berdampak serius terhadap kelangsungan bisnis pers bersangkutan. Disebut begitu, karena pers Lampung mengandalkan segmen dari wilayah rural sebagaimana hasil penelitian AC Nielsen pada 2005, sedang masyarakat rural merupakan masyarakat yang belum selesai dengan urusan meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Barangkali ini yang membuat oplag media cetak di Lampung hanya berkisar 10.000 sampai 15.000 eksemplar, jika kita hitung rata-rata per tahun. Prestasi media cetak pada persoalan oplag hanya mencapai 20.000 sampai 25.000 eksemplar per tahun, hal itu dialami Lampung Post pada dekade 1990-an di wilayah rural sebagai pelaku tunggal dalam industri pers di Lampung. Pada era 2000-an, Radar Lampung mampu menggenjot oplag dari pasar eceran di wilayah urban dan rural sampai 30.000 eksemplar.

Dengan oplag 25.000 eksemplar, sebuah industri penerbitan koran akan mengalami kesulitan hidup di daerah. Bandingkan dengan koran Metropos Medan yang pernah memiliki oplag 100.000 eksemplar. Belum lagi bila dilihat dari penghasilan iklan media cetak di Lampung, yang sekitar 60% diperoleh dari pemasang iklan yang ada di luar Lampung (Jakarta). Dari masyarakat Lampung cuma 40% dengan rincian 20% dari pemerintah daerah yang sifatnya sporadis, 15% dari kalangan pengusaha Lampung (iklan kolom berupa lowongan kerja, iklan kolom berupa produk barang dan jasa, dan industri baris), dan 5% dari masyrakat berupa iklan kolom jenis ucapan selamat, duka cita, dan iklan baris.

Dari data-data itu bisa disimpulkan banyak hal. Pertama, cepat atau lambat industri pers Lampung tidak akan mengalami pertumbuhan yang fenomenal alias stagnan, dan sangat besar kemungkinan untuk gulung tikar. Kedua, masih terbuka peluang bagi lahirnya industri pers baru untuk menutupi kelemahan demi kelemahan yang dilakukan penerbitan media cetak yang ada, terutama pada permasalah penetapan content berita.

Persoalan Pers di Lampung

Sesuai poling yang dilakukan Lampung Post yang terbit pada Lampung Post edisi 13 Agustus 2007 mengajukan satu pertanyaan kepada 200 responden yang diperoleh secara acak melalui buku telepon. Pertanyaan itu adalah “bagaimana menurut responden (pembaca Lampung Post), apakah peran media lokal (Lampung Post) di Lampung dalam melakukan kontrol sosial, edukasi (pendidikan), dan informasi kepada masyarakat sudah cukup optimal? Dari pertanyaan tersebut, sebanyak 42% responden menjawab cukup optimal, 23% menjawab belum optimal, 13,5% menjawab ragu-ragu, dan 21,5% tidak menjawab. Dari jawaban para responden itu, jelas bahwa pers (Lampung Post) kurang memenuhi harapan publik. Adanya responde yang menjawab belum optimal 23%, ditambah 13,5% yang ragu-ragu, dan 21,5% yang tidak menjawab, berarti ada sebanyak 58% responden yang tidak puas dengan peran yang dimainkan media cetak di Lampung.

Ketidakpuasan responden ini menemukan relevansinya bila kita ikuti strategi pemberitaan media cetak Lampung. Secara jurnalistik, isi media cetak yang ada di Lampung masih memiliki kelemahan-kelemahan mendasar, dimana perspektif yang digunakan dalam melihat mainstream persoalan jauh dari pemikiran deduksi-induksi. Tradisi jurnalistik di Lampung sebetulnya sudah sangat tua bila ditera dari kehadiran pers di zaman kolonialisme sebagaimana tercantum dalam buku Titian Pers Lampung terbitan PWI Lampung. Karena itu, kita andaikan tradisi jurnalistik di Lampung sangat kuat—terutama bagi Lampung Post yang sudahberdiri sejak 10 Agustus 1973-- sehingga sangat besar kemungkinan para jurnalis di Lampung mengerti arah, kemauan, dan harapan dari publik pembaca atas keberadaan pers di lingkungan mereka.

Sayangnya, tradisi jurnalistik di kalangan pengelola pers di Lampung masih sangat rendah dan tradisional. Bagi Radar Lampung yang baru saja merayakan ulang tahunya, tradisi jurnalisme memang masih muda. Wajar bila dalam pengemasan content masih sering dijumpai kegagapan dalam melihat fenomena yang ada. Namun, alangkah baiknya bila pengetahuan yang dimiliki diperbaharui (up grade) dan disesuaikan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dan liar, sehingga wartawan tak lagi bekerja sebagai tukang catat, yang disadari atau tidak telah menjadi tren dalam pola kerja wartawan. Tren tukang catat ini sangat kuat pada wartawan-watawan yang bekerja di media cetak mainstream.

Media yang sebetulnya memiliki peran sangat besar untuk memusatkan perhatian publik terhadap isu-isu tertentu--karenanya pengelola media cetak harus memiliki strategi dalam pemberitaannya yang dikaitkan dengan pengejawantahan visi dan misi institusi pers bersangkutan--fungsi itu sama sekali tidak muncul. Media cetak di Lampung malah memperlihatkan wajah yang seragam, para awaknya sangat tergantung terhadap peristiwa.

Keseragaman media dalam pola kerja berdampak terhadap tidak adanya eksklusivitas pemberitaan antara media yang satu dengan lain media. Membaca Lampung Post sama saja dengan membaca Radar Lampung, malah akan lebih menguntungkan bagi pembaca jika membaca Radar Lampung karena secara kuantitatif beritanya lebih banyak dan lebih bervariasi. Dalam hal mengeksplorasi fenomena Kota Bandar Lampung, misalnya, Radar Lampung memiliki nafas panjang untuk menyusup ke pelosok-pelosok kehidupan kota. Dinamika kehidupan Kota Bandar Lampung lebih bisa ditangkap masyarakat pembaca Radar Lampung, karena caverage pemberitaan mencakup hampir seluruh wilayah urban. Bandingkan dengan Lampung Post yang cuma menjadi corong dari elite-elite pemerintah dengan caverage yang sebatas pusat perkotaan.

Karena itu, pengelola media cetak harus meyakini bahwa usaha mereka sedang terancam bahaya. Ditambah lagi dengan iklim keterbukaan usaha saat ini, mau tak mau mereka hidup dalam suasa gerah, merasa terancam, dan sulit menentukan arah dan kebijakan pengembangan bisnisnya. Sebab, dalam iklim bisnis saat ini pemain-pemain lama di Jakarta melirik daerah, meskipun Lampung tak ada dalam prioritas karena daerah ini bukan pavorit bagi para investor dan pemasang iklan. Meskipun demikian, imbas dari ketatnya persaingan paling dirasakan oleh pelaku usaha bisnis pers di Lampung, karena mereka hanya bisa menonton dan tak tahu bagaimana dan apa persoalan yang sedang dihadapi. ****

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda