Memelihara Kecurigaan Terkait Dana Desa

by - January 17, 2018

Terbit di Analisa edisi 16012018
ADA banyak sumber dana  dalam menggerakkan roda pembangunan desa. Sumber-sumber itu dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes),  mengacu kepada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), yang kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes).  Semua dokumen pembangunan desa itu disahkan sebagai peraturan desa (Perdes), ditanda tangani aparatur pemerintah desa dan diketahui aparatur pemerintah daerah melalui SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) terkait.

-------------------------------
Oleh Linni Audy Hutapea
--------------------------------

Dokumen-dokumen itu menjadi rujukan dalam dinamika pembangunan desa. Segala bentuk program kerja, terutama untuk kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas fisik pembangunan infrastruktur,  dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pembiayaan yang sudah ditetapkan dalam APBDes. Lantaran pembangunan infrastruktur berkaitan dengan kecakapan teknis sementara masyarakat desa tidak memiliki tenaga ahli,  aparatur desa mendapat bimbingan dari petugas pendamping desa (PD).

Setiap PD melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan nomenklatur yang dikeluarkan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT).  PD  lebih banyak bertindak sebagai pembimbing, sementara mengenai eksekusi dalam mengambil keputusan ada pada aparatur pemerintahan desa. Tujuannya agar otonomi desa bisa berjalan dengan baik dengan asumsi hanya masyarakat desa yang memahami apa yang mereka butuhkan.

Sumber pembiayaan

Sejak tahun 2014,  pemerintah pusat menggelontorkan dana desa (DD)  sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan desa yang dirancang dalam APBDes.  DD  diperuntukkan untuk belanja modal desa berupa pengadaan aset tetap yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.

Ada sumber pembiayaan lain yang disebut anggaran dana desa (ADD).  ADD dikucurkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota sebagai dana penyeimbang DD.  Selain ADD, pemerintah kabupaten/kota juga menggelontorkan bagi hasil pajak untuk pemerintah desa yang totalnya disesuaikan dengan peraturan daerah masing-masing terkait bagi hasil pajak.

Selain DD, ADD, dan bagi hasil pajak,  masih banyak sumber-sumber lain untuk pembiayaan desa. Sumber-sumber ini tidak masuk dalam APBDes, tetapi dialokasikan langsung kepada masyarakat desa. Misalnya, dana berupa program pemerintah pusat yang dikhusukan bagi penduduk miskin di pedesaan dan dikelola oleh pemerintah daerah melalui satuan kerja pemerintah desa (SKPD) seperti dana bantuan sekolah (BOS),  Kartu Indonesia Pintar (KIP),  Kartu Indonesia Sehat (KIS),  keluarga sejahtera,  beras untuk masyarakat miskin, dan lain sebagainya.

Semua lapisan masyarakat di pedesaan mendapat bantuan dari pemerintah pusat yang kita sebut subsidi pemerintah pusat. Belum lagi subsidi terkait kebutuhan sehari-hari seperti gas untuk rumah tangga, pupuk untuk pertanian, beasiswa pendidikan untuk keluarga miskin berprestasi, dan lain sebagainya. Mestinya masyarakat desa sudah bisa hidup sejahtera dengan bantuan-bantuan itu. Sayangnya, rakyat miskin kita tetap banyak, selalu menjadi persoalan tiap tahun yang harus terus-menerus disubsidi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Ketakutan Pemda

Dana-dana yang bersumber dari APBD kabupaten/kota untuk desa memungkinkan bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan pengelolan dana-dana yang ada di desa. Pengawasan perlu dilakukan pemerintah kabupaten/kota mengingat tingkat pemahaman masyarakat desa terhadap pengelolaan uang rakyat belum memadai, sehingga mereka perlu mendapat bimbingan dari pihak yang sudah memahami bagaimana mengelola uang negara.

Sayangnya, ketika pemerintah desa memiliki sumber-sumber pasti untuk pembiayaan APBDes,  banyak kalangan mencurigai pemerintah desa tidak akan sanggup mengelolanya.  Kecurigaan seperti ini bukan hanya domain masyarakat luar,  atau mereka yang menyebut dirinya sebagai aktivis pro-demokrasi dan aktivis antikorupsi, tapi juga para aparatur sipil negara  (ASN) di lingkungan birokrasi pemerintah daerah.

Tidak sedikit ASN yang meragukan aparatur pemerintahan desa dan elemen-elemen masyarakat mampu mengelola dana miliaran itu. Keraguan tersebut mendorong ASN untuk mengintervensi, yang kemudian tindakan itu dilegalisasi lewat keputusan Kepala Daerah atau  keputusan kepala SKPD. Tidak jarang ASN menginisiasi agar dibuat peraturan daerah (Perda) dengan visi dan misi untuk membantu masyarakat desa dalam mengelola DD,  meskipun tujuan utamanya agar ASN punya batu pijakan untuk campur tangan dalam mengelola dana yang berlimpah itu.

Kita ambil contoh surat keputusan yang dikeluarkan Bupati/Wali Kota terkait pemanfaatan DD untuk meningkatkan kualitas infrastruktur jalan raya di pedesaan.  Meskipun  petunjuk pengelolaan DD menyebutkan agar dana dari pusat itu diperuntukkan bagi  peningkatan kualitas infrastruktur yang akan menjadi aset desa, tapi DD ternyata dipakai juga untuk meningkatkan kualitas jalan yang merupakan aset  pemerintah daerah kabupaten/kota. 

Dengan alasan masyarakat desa tidak tahu dan juga karena keinginan bersama seluruh lapisan masyarakat,  pemerintah daerah di kabupaten/kota memberi izin karena penggunaan DD itu bisa mengurangi beban pembiayaan dalam APBD. Dengan kata lain, peruntukan DD tidak sebagaimana mestinya, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga seakan-akan tidak melanggat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih parah lagi, pemerintah daerah di kabupaten/kota sengaja tidak memberikan kejelasan mengenai posisi aset yang ada di daerah, yang ditandai tidak adanya nomenklatur yang mengatur posisi aset tersebut.  Padahal,  aset sangat penting bagi pemerintah desa yang  sedang membangun dengan dana DD agar desa bersangkutan bisa mensejahterakan warganya. 

Aset Desa

Dengan aset yang ada, pemerintah desa bisa mengelola aset tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.  Kita ambil contoh sebuah desa yang memiliki potensi objek pariwisata.  Pemerintah desa bisa mengalokasikan DD untuk mengembangkan potensi yang ada seperti melengkapi sarana dan prasarana di sekitar objek pariwisata tersebut guna menumbuhkan sektor ekonomi  pariwisata. Tapi, upaya pemerintah desa tidak akan berdampak positif bila objek pariwisata itu tetap menjadi aset pemerintah daerah. 

Pemerintah di kabupaten/kota harus lapang dada melepaskan objek pariwisata itu sebagai aset desa dengan mengeluarkan Perda tentang pelepasan aset, sehingga masyarakat desa bisa memanfaatkannya untuk kepentingan mereka.  Pelepasan aset oleh pemerintah daerah di kabupaten/kota berkaitan dengan wewenang mengelola objek pariwisata tersebut. Masyarakat desa bisa mengeluarkan peraturan desa mengenai pengelolaan objek wisata yang ada di desanya, dan hasil pengelolaan itu diterangjelaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  

Sayangnya, hal seperti ini tidak terjadi karena pemerintah daerah di kabupaten/kota khawatir kehilangan aset yang berarti juga kehilangan sumber pendapatan asli daerah (PAD). Sebagai contoh, aset berupa sumber air minum yang selama ini dikelola oleh BUMD (badan usaha milik daerah) yang merupakan perusahaan daerah air minum (PDAM),  mustahil dilepas oleh pemerintah daerah di kabupaten/kota untuk menjadi aset desa.  Dengan berbagai alasan, masyarakat desa akan ditakut-takuti untuk tidak mengutak-atik aset yang sudah menjadi milik BUMD.  Padahal,  masyarakat desa bisa mengelola air minum dan membangun perusahaan desa air minum berbentuk BUMDes (badan usaha milik desa).

Kekhawatiran Masyarakat

Dana lebih satu miliar rupiah jarang masuk ke lingkungan masyarakat desa selama bertahun-tahun,  dan masyarakat desa dicurigai akan  lupa diri kalau tidak kebingungan.  Misalnya, masyarakat dicurigai tidak akan mampu membangun infrastruktur saluran irigasi karena mereka tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang punya kapasitas di bidang perencanaan. 

Kecurigaan juga dialamatkan kepada para pendamping desa, petugas yang diberi tugas khusus untuk membantu masyarakat desa dalam mengelola DD. Pasalnya,  para pendamping desa bukan SDM yang tepat karena keterpilihan mereka lebih kuat ditandai faktor negosiasi politik.  Banyak yang meragukan kepala desa akan menjadi pihak yang dominan dan paling diuntungkan,  terutama karena orang menilai kualitas SDM di pedesaan tidak cukup mumpuni untuk mengelola uang rakyat sesuai standar-standar akuntansi publik.  

Kecurigaan seperti itulah yang mendorong  Kapolri  Jenderal Tito Karnivian memberikan tugas tambahan  kepada polisi yang bertugas di  lingkungan kepolisian sektor (Polsek) untuk mengawasi penggunaan DD.             Keterlibatan anggota Polri justru membuat masyarakat semakin khawatir, karena polisi di lingkungan Polsek (kepolisian sektor) nyaris  tidak memiliki kedekatan dengan masyarakat desa. Pasalnya, jumlah personil polisi yang ada di Polsek tidak mencukupi untuk mendampingi kegiatan DD yang ada disetiap desa, sehingga anggota Polri akhirnya tidak maksimal melakukan pengawasan. 

Mereka hanya akan mengunjungi desa pada waktu tertentu tanpa upaya mengawasi apakah pelaksanaan kegiatan yang didanai DD itu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dengan kata lain, SDM anggota polisi di lingkungan Polsek bukanlah personil yang memiliki kapasitas yang paham mengenai nomenklatur pengelolaan DD, sehingga kekeliruan dalam pengelolaan DD akan terabaikan. ***

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda