Mengubah Paradigma Hukum di Negeri ini
Ulat di Kebun Polri (2013) adalah buku yang saya tulis tentang kepolisian dan pemolisian di Indonesia. Buku ini diresensi Alex R. Nainggolan di Lampung Post edisi 1 Desember 2013.
WARNA polisi kita, tulis Budi Hatees adalah abu-abu. Pelbagai citra, entah itu baik ataupun buruk, kerap bersemayam di tubuh institusi ini. Meskipun jika berbicara ihwal keburukan yang terjadi di kepolisian, tak lepas menyikapinya lewat oknum-oknum tertentu saja.
Sebuah buku yang diterbitkan ini?bercakap banyak masalah kepolisian. Bagaimana upaya polisi untuk terus meningkatkan kinerjanya, dengan senantiasa berpatokan pada sebuah konsep ?melindungi dan mengayomi?.
Memang sebagaimana ditulis Khrisna Murti, seorang komisaris besar polisi, dalam kata penutup buku ini, dengan menganalogikan pada jajaran kepolisian New York Police Departement, semacam upaya untuk memperbaiki kerja kesehariannya. Bagaimana seorang polisi lalu-lintas parkir, memantau kecepatan kendaraan yang lewat, serta memantau pelanggaran lalu-lintas yang terjadi.
Sebuah edukasi bagi masyarakat untuk menaati peraturan itu sendiri. Setidaknya, diperlukan pula pemahaman yang utuh dan menyeluruh dari masyarakat itu sendiri. Dengan tidak menerapkan jargon yang berkembang selama ini, jika peraturan dibuat untuk dilanggar.
Buku ini merupakan kumpulan opini?yang merupakan pendapat pribadi Budi?ihwal penegakan hukum yang dilakukan kepolisian ataupun lembaga lainnya, sekaligus dinamika penerapannya terhadap rentetan peristiwa besar hokum di negeri ini?yang sebagian besar pernah termuat di pelbagai media massa.
Terdiri dari empat bagian: Konflik Polri Versus Rakyat, Konflik Polri Vs Lembaga Penegak Hukum, Konflik Polri Versus Polri, serta Dinamika Penegakan Hukum. Di setiap bagian itu, Budi seperti memilah, memberikan masukan yang berarti. Setiap peristiwa yang disuguhkan kembali dijabarkan. Setidaknya ada benang merah yang diambil, jika terkadang penegakan hukum kita, sebagaimana yang diketahui acap runcing dan tajam bila menyentuh lapisan bawah, tetapi mendadak menjadi tumpul dan tak berdaya bila menyangkut kalangan atas.
Dengan kata lain, Budi berupaya menyuguhkan kembali, jika persoalan hukum, bukan sekadar hal ?bermain mata?, melainkan mesti jernih diuraikan. Sehingga wilayah hitam dan putih akan terlihat dengan jelas, tak ada pihak yang merasa ?terzalimi?.
Buku ini ditulis oleh mantan wartawan Lampung Post yang juga menjadi dosen komunikasi, sekaligus konsultan?yang kerap terlibat dalam kegiatan pencitraan di lingkungan Mabes Polri, seperti dalam proyek pembuatan blue print Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri. Buku ini memuat pelbagai sudut bagaimana upaya penegakan hukum di negeri ini, agar tak tumpang-tindih.
Budi memotret hal-hal yang kasatmata terjadi. Dengan gaya yang bercerita yang renyah, persoalan hukum yang rumit jadi tak pelik. Semacam dalam bagian Dinamika Penegakan Hukum, yang memuat tulisan Generasi Korup?, Kerudung Para Tersangka, Kesalehan Tersangka?seperti menyentak kesadaran berpikir kita. Budi mengajak untuk menangkap realitas yang mencemaskan itu. Dalam Generasi Korup, bercakap ihwal generasi muda yang korupsi, dituliskannya: Sesungguhnya perilaku korup tidak bisa dilekatkan pada suatu generasi tertentu. Perilaku korup melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, terhadap anak-anak muda yang terlibat korupsi, kita hanya bisa prihatin karena persoalan korupsi belum bisa teratasi di negeri ini? (Hal. 128)
Pula dalam ?gugatan? Budi terhadap penggunaan ikon keagamaan. Budi menyorotnya dengan penuh kegetiran. Dalam Kerudung Para Tersangka itu Budi berupaya memberikan sebuah peringatan apa yang ditangkap pula oleh khayalak. Budi menulis: Publik menyaksikan paradoks para tersangka korupsi di negeri ini. Para pelaku tindak kriminalitas itu selalu tampil di hadapan publik dalam balutan pakaian yang berasal dari lingkungan religius umat Islam: yang perempuan mengenakan kerudung atau jilbab, sedangkan laki-laki berkopiah.
Setidaknya buku ini menyuguhkan banyak kisah masalah hukum di negeri ini. Yang ternyata dalam aplikasinya selalu sulit untuk menempuh keadilan yang tak timpang. Mungkin semacam cermin yang disuguhkan oleh Budi, agar memang masalah hukum tak rumpang atau berat sebelah.
Di sini, kita kembali disandarkan pada sebuah rel, jika setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Persamaan hukum untuk setiap warga negara. Begitu.
Alex R. Nainggolan, pembaca buku, berdomisili di Poris Plawad, Tangerang
Sebuah buku yang diterbitkan ini?bercakap banyak masalah kepolisian. Bagaimana upaya polisi untuk terus meningkatkan kinerjanya, dengan senantiasa berpatokan pada sebuah konsep ?melindungi dan mengayomi?.
Memang sebagaimana ditulis Khrisna Murti, seorang komisaris besar polisi, dalam kata penutup buku ini, dengan menganalogikan pada jajaran kepolisian New York Police Departement, semacam upaya untuk memperbaiki kerja kesehariannya. Bagaimana seorang polisi lalu-lintas parkir, memantau kecepatan kendaraan yang lewat, serta memantau pelanggaran lalu-lintas yang terjadi.
Sebuah edukasi bagi masyarakat untuk menaati peraturan itu sendiri. Setidaknya, diperlukan pula pemahaman yang utuh dan menyeluruh dari masyarakat itu sendiri. Dengan tidak menerapkan jargon yang berkembang selama ini, jika peraturan dibuat untuk dilanggar.
Buku ini merupakan kumpulan opini?yang merupakan pendapat pribadi Budi?ihwal penegakan hukum yang dilakukan kepolisian ataupun lembaga lainnya, sekaligus dinamika penerapannya terhadap rentetan peristiwa besar hokum di negeri ini?yang sebagian besar pernah termuat di pelbagai media massa.
Terdiri dari empat bagian: Konflik Polri Versus Rakyat, Konflik Polri Vs Lembaga Penegak Hukum, Konflik Polri Versus Polri, serta Dinamika Penegakan Hukum. Di setiap bagian itu, Budi seperti memilah, memberikan masukan yang berarti. Setiap peristiwa yang disuguhkan kembali dijabarkan. Setidaknya ada benang merah yang diambil, jika terkadang penegakan hukum kita, sebagaimana yang diketahui acap runcing dan tajam bila menyentuh lapisan bawah, tetapi mendadak menjadi tumpul dan tak berdaya bila menyangkut kalangan atas.
Dengan kata lain, Budi berupaya menyuguhkan kembali, jika persoalan hukum, bukan sekadar hal ?bermain mata?, melainkan mesti jernih diuraikan. Sehingga wilayah hitam dan putih akan terlihat dengan jelas, tak ada pihak yang merasa ?terzalimi?.
Buku ini ditulis oleh mantan wartawan Lampung Post yang juga menjadi dosen komunikasi, sekaligus konsultan?yang kerap terlibat dalam kegiatan pencitraan di lingkungan Mabes Polri, seperti dalam proyek pembuatan blue print Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri. Buku ini memuat pelbagai sudut bagaimana upaya penegakan hukum di negeri ini, agar tak tumpang-tindih.
Budi memotret hal-hal yang kasatmata terjadi. Dengan gaya yang bercerita yang renyah, persoalan hukum yang rumit jadi tak pelik. Semacam dalam bagian Dinamika Penegakan Hukum, yang memuat tulisan Generasi Korup?, Kerudung Para Tersangka, Kesalehan Tersangka?seperti menyentak kesadaran berpikir kita. Budi mengajak untuk menangkap realitas yang mencemaskan itu. Dalam Generasi Korup, bercakap ihwal generasi muda yang korupsi, dituliskannya: Sesungguhnya perilaku korup tidak bisa dilekatkan pada suatu generasi tertentu. Perilaku korup melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, terhadap anak-anak muda yang terlibat korupsi, kita hanya bisa prihatin karena persoalan korupsi belum bisa teratasi di negeri ini? (Hal. 128)
Pula dalam ?gugatan? Budi terhadap penggunaan ikon keagamaan. Budi menyorotnya dengan penuh kegetiran. Dalam Kerudung Para Tersangka itu Budi berupaya memberikan sebuah peringatan apa yang ditangkap pula oleh khayalak. Budi menulis: Publik menyaksikan paradoks para tersangka korupsi di negeri ini. Para pelaku tindak kriminalitas itu selalu tampil di hadapan publik dalam balutan pakaian yang berasal dari lingkungan religius umat Islam: yang perempuan mengenakan kerudung atau jilbab, sedangkan laki-laki berkopiah.
Setidaknya buku ini menyuguhkan banyak kisah masalah hukum di negeri ini. Yang ternyata dalam aplikasinya selalu sulit untuk menempuh keadilan yang tak timpang. Mungkin semacam cermin yang disuguhkan oleh Budi, agar memang masalah hukum tak rumpang atau berat sebelah.
Di sini, kita kembali disandarkan pada sebuah rel, jika setiap individu berhak mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Persamaan hukum untuk setiap warga negara. Begitu.
Alex R. Nainggolan, pembaca buku, berdomisili di Poris Plawad, Tangerang
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda