Bom dan Ledakan Informasi
Apakah yang hendak diledakkan orang dengan bom? Dikau pasti bertanya begitu. Daku juga bertanya begitu. Mereka pun bertanya begitu. Tapi siapa yang tahu?
Oleh Budi P. Hatees
Dipublikasikan di Radar Lampung edisi 21 Maret 2011
Ia, orang yang merancang bom dan mengirimnya kepada sejumlah orang, mungkin juga tak punya jawaban atas pertanyaan itu. Tapi kita, karena terbiasa menerka-nerka dan hidup dalam dunia rekayasa pikiran sendiri, punya jawaban yang tak seorang pun tahu kebenarannya. Seperti seorang penulis skenario, kita bisa membuat sekian banyak teks berisi ragam asumsi yang dapat mendasari seseorang atau sekelompok orang bermain-main dengan bom.
Misalnya, ini ulah seorang yang iseng, yang karena terlalu banyak membaca serial detektif atau terlalu fanatik terhadap sajian-sajian thiller dunia sinematografi, lalu mengimitasi diri sebagai tokoh yang baru dikenalinya dalam karya-karya kreatif itu. Ia pun merakit bom, yang tekniknya bisa dipelajari dengan hanya memahami proses zat-zat kimia, dan ilmu itu bisa diminta pada google.com.
Agar usahanya sukses, dibuatlah bom dalam kemasan baru, yang sama-sekali belum pernah ditemui di Indonesia; "bom buku". Ternyata pula, ia sukses mengelabui seorang perwira polisi berpangkat komisaris. Si komisaris barangkali mengira bom itu tumpukan petasan belaka, lalu menyiram dengan air dengan maksud agar lembab. Mungkin, si komisaris terlalu sering merazia petasan di wilayah hukumnya, jadi selalu berpikir bahwa bom hanyalah petasan dalam ukuran lebih besar.
Bom pun meledak. Si komisaris luka. Sedang sasaran utama, si Ulil, sehat-sehat saja. Tapi kita, akhirnya gelisah. Rasa aman kembali dipertanyakan. Polisi, terutama mereka yang pernah sangat bangga akan keberhasilannya menggulung terorisme, hanya melotot. Tak mengira bom itu akan meledak. Di Jakarta, di Ibu Kota, di tempat yang sesungguhnya memang menjadi incaran para pesohor dan orang yang ingin jadi pesohor.
Ini hanya satu skenario. Skenario lain bisa saja dibuat. Misal, bom itu sengaja dipasang pihak yang sangat paham tentang bom, yang bertujuan untuk mencari perhatian dari sekian banyak peristiwa politik dalam negeri yang tak jelas. Orang itu pastilah sangat mengerti, bahwa di negeri ini, para pengamat selalu menunggu ada hal baru yang muncul. Begitu ada ledakan bom, tanpa disuruh para pengamat akan mengoceh berdasarkan teori yang tidak berbeda antara satu dengan lainnya. Ocehan mereka seolah-olah saling menegasikan, tapi orientasinya hanya satu: mendeskriditkan kalangan muslim.
Mungkin, skenario ini dibuat agar semua sibuk. Lalu Densus 88 Anti-Teror yang mulai kehabisan order pekerjaan, dapat job baru. Mereka keluar lagi dari markasnya, keluyuran kemana-mana berseragam lengkap yang terlihat sangat super power. Mereka, seperti tahun yang lewat, kembali akan mengobrak-abrik siapapun yang disangka teroris. Tidak perduli salah, yang penting ada kerjaan. Karena bila salah tangkap, itu akan lebih baik, karena para pengamat akan punya bahan untuk mengoceh.
Setiap orang di negeri ini, ingin jadi pengamat. Modal mereka cuma mengoceh. Setiap peristiwa baru selalu dikomentari, tapi tidak ada satu pun solusi yang mereka tawarkan. Semua komentar hanya asumsi, meskipun terkesan hebat dengan sekian banyak kutifan teori. Tapi, setidaknya, ocehan mereka yang berdengung-dengung di media massa, mampu mengalihkan sekian banyak isu aktual di lingkungan publik. Perhatian publik diarahkan hanya pada apa yang dikomentari para pengamat.
Seorang pengamat dari lingkungan profesi, mengaitkan soal bom dengan hak mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi manusia. Bom, katanya, merupakan tindakan menghalangi kebebasan ekspresi dan berpendapat. Jelas, ia mengaitkan bom itu dengan si Ulil. Jelas, ia menganggap si Ulil beserta kegiatannya dan dukungannya yang luar biasa terhadap kebebasan beragama serta pembelaannya yang mantab terhadap Ahmadiyah, merupakan hak berekspresi. Jelas, ia pendukung kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sangat liberal, yang tidak akan menyalahkan jika kebebasan itu dipakai untuk merusak nilai-nilai religiusitas dan teologi yang sudah berakar dalam diri masyarakat.
Inilah pengamat di negeri ini yang hanya melahirkan pengamat. Pengamat yang menderita sindrome euforia, dan karenanya merasa berekspresi dan berpendapat tidak mengenal batasan-batasan. Penderita penyakit ini akan lebih mementingkan dirinya dan golongannya. Ia hanya memikirkan satu hal dalam hidupnya: bagaimana pun caranya ia harus bicara, berbuat, dan bertindak. Ia tidak akan perduli jika hal itu melukai banyak orang. ia tidak perduli bahwa orang lain juga memiliki hak asasi manusia untuk membela agamanya, nilai-nilai yang diyakininya, dan mempertahankannya dari upaya orang lain untuk menghancurkan semua itu.
Penderita sindrom euforia adalah kaum individualis yang sok suci.
0 #type=(blogger)