Kartu Joker
1
Aku sudah kehilangan ayam petelur emas, kerugianku
bertambah oleh kening yang tercoreng. Susah membersihkan coreng
itu di hadapan kolegaku, sekalipun aku
bisa menyelesaikan penyebab semua ini terjadi. Tapi, setidaknya, aku bisa
menjamin hal yang sama tak terulang lagi.
Ricky Surya adalah penyebabnya. Anak ini gagal menjalankan misinya di Lampung. Kegagalannya merembet ke hal
lain. Segala sesuatunya berjalan tak seperti yang
aku rencanakan. Proyek besar itu lepas dari tangan.
Diam-diam ia kembali ke Jakarta tanpa melaporkan hasil
kerjanya. Ia berusaha menghilang dirinya, tapi salah
seorang informanku berhasil menemukannya di sebuah hotel murah di bilangan
Senen.
“Kartu joker apapan!?”
Ahmad Wijaya mengejek. “Tahu akan begini, tak aku pakai jasamu.”
Aku diam saja
dimaki-maki Ahmad Wijaya. Air mendidih menggelegak di dadaku. Di dalam kepalaku
seperti ada kepundah gunung merapi yang siap meledak. Aku tak pernah tahan jika diremeh oleh siapa pun.
Sekalipun Ahmad Wijaya, pelanggan lama, bukan berarti ia boleh meremehkan kemampuanku sesukanya. Untungnya, hal itu tak berlangsung lama. Selang beberapa
hari kemudian, breaking
news muncul di televisi: “Ahmad Wijaya, pengusaha terkenal, tertangkap
tangan oleh KPK sedang menyogok dua
pejabat di Badan Logistik dan satu anggota DPR. Barang bukti berupa uang dua miliar
rupiah ditemukan dalam kantong pelastik di bawah jok mobilnya.”
Sutoyo, sahabat
lamaku, yang kini bekerja sebagai penyidik KPK—sebelumnya
ia bekerja di lingkungan Polri, kemudian diperbantukan ke KPK-- aku hubungi soal Ahmad Wijaya. “Kurang
hajar!” katanya, “dia pikir dirinya hebat apa.”
Breaking news di televisi itu hasil pemikiran Sutoyo.
Berankas di ruang kerjaku tak jadi aku kosongkan untuk menutupi ganti rugi kepada Ahmad Wijaya. Aku hanya ambil
sedikit, mengirimkannya ke rumah Sutoyo melalui seorang pengantar makanan cepat saji. Uang itu ada di dalam gelas minuman cepat
saji.
Aku akan melakukan apa
saja, memberikan apa saja kalau aku puas. Kepada Sutoyo aku sering memenuhi apa
saja yang diinginkannya. Profesi yang kini ia tekuni, akulah yang merekomendasikannya. Sebagai
polisi yang terlalu banyak menganggur padahal di bahunya ada tanda pangkat
seorang perwira menengah, ia tidak kesulitan ketika diperbantukan sebagai penyidik di
KPK.
Sutoyo teman yang luar biasa. Aku puas memenjarakan Ahmad Wijaya. Aku juga puas karena penyebab utamanya, Ricky
Surya, tak lagi akan menjadi masalah. “Ingat bagaimana Ricky Surya menemui ajalnya.” Kalimat itu selalu aku
ulang-ulang kepada anak-anak yang aku pelihara. Mereka, orang-orang yang mestinya manut dan
tunduk pada kehendakku karena bekerja untuk aku, aku yakini
pasti mudah memahami arah ucapanku.
Tak perlu aku ceritakan bagaimana kecelakaan yang
merengut nyawa Ricky Surya bisa terjadi. Cukup dipahamkan, siapa saja yang gagal menjalankan misi,
resikonya adalah mati.
Beberapa menit setelah breaking news tentang
penangkapan Ahmad Wijaya, muncul breaking
news baru tentang kecelakaan lalu
lintas di salah satu jalan tol. Sebuah mobil sedan warna hitam
metalik meledak di jalan tol
setelah menabrak pagar pembatas. Polisi
menduga si pengendara mabuk.
Tak seorang pun
mempersoalkan kematian Ricky Surya. Mereka cuma sering muntah membayangkan daging panggang Ricky Surya.
Tapi, perempuan muda yang tinggal di sebuah rumah
kontakan di bantaran Kali Ciliwung di sekitar
kawasan Bukit Duri, malah mempersoalkan kematian Ricky Surya. Tiap hari perempuan itu
mengoceh lewat media sosialnya, membuat asumsi bahwa kekasihnya itu sengaja
dibunuh oleh sebuah jaringan tempat Ricky Surya
pernah menjadi bagiannya.
“Sehari sebelum
kematiannya,” katanya kepada Marlina Sanjaya, yang sengaja aku kirim menemui
perempuan muda itu dan menyaru sebagai wartawan dengan tugas menyelesaikan
perempuan muda itu tanpa bukti. “Ricky Surya mengeluh ada yang akan
membunuhnya. Malam itu ia di kamar ini, dan kami menghabiskan waktu seakan-akan
besok kami tidak akan bertemu lagi. Siang sepulang dari kamar ini, ia mengalami
kecelakaan itu.”
Marlina Sanjaya
menyimpulkan perempuan muda itu seorang mata duitan. Dia tidak tahu persis
siapa Ricky Surya. Sebab itu, dia berkesimpulan, bahwa perempuan itu tidak akan mengganggu. “Dia akan cepat
melupakan Ricky Surya,” katanya. “Dia hanya butuh uang Ricky Surya.”
Dua hari sejak laporan
itu diterima, Marlina Sanjaya mengalami
kecelakaan di kamar mandi sebuah hotel. Dia
harus menjalani operasi untuk memperbaiki urat-urat di otaknya. Perempuan muda itu
terpeleset dan kepalanya membentuk dinding.
Dokter Mumung menyimpulkan kalau Marlina Sanjaya mendapat
serangan stroake. Bila operasi berhasil, dia akan mengalami kemunduran dalam
cara berpikir.
Bersamaan dengan
jadwal operasi Marlina Sanjaya, dua laki-laki mengendarai mobil jeep, memasuki sebuah
kamar kost di daerah Bukit Duri. Keduanya mengaku sebagai polisi yang ingin menanyai
perempuan muda itu tentang kematian Ricky Surya. Perempuan muda itu tak menolak
ketika dua orang itu mengajaknya ke kantor polisi untuk membuat laporan.
Bertepatan ketika
dokter yang mengoperasi Marlina Sanjaya menyanyat kulit kepala perempuan itu,
dua laki-laki itu menghentikan mobil jeep di sebuah jembatan dan menggantung
seorang perempuan pada besi jembatan itu.
Beberapa koran
memberitakan perihal penemuan mayat seorang perempuan yang meninggal gantung
diri di tiang jembatan. Aku membaca berita itu sambil mendengar laporan dari dr.
Mumung perihal operasi Marlina Sanjaya. “Dia akan seperti orang yang kehilangan
ingatan,” katanya. “Beberapa uratnya yang membengkak karena benturan sengaja kami putuskan.”
2
Kartu Joker. Itulah merek dagang yang aku buat dan aku samarkan sebagai bisnis jasa pengiriman barang dalam
dan luar negeri. Perusahaanku punya
kartu joker yang bisa diandalkan siapa saja untuk menyelesaikan masalah mereka, terutama masalah yang butuh penyelesaian cepat tanpa melalui
prosedur yang mengikat.
Kartu joker itu,
misalnya, Shintya Marissa. Aku
menyebutnya si Bunglon. Perempuan itu piawai menyaru. Dia bisa menjadi apa saja
dan jadi siapa saja. Dia seorang pemain
teater yang tak sukses. Aku mengenalnya pertama kali saat
menyaksikan pementasan kelompok teaternya di Taman Ismail Marzuki.
Aku tidak terlalu suka
pada teater. Malam itu aku terpaksa menonton pementasan hanya untuk bisa mengobrol dengan salah seseorang
yang membutuhkan jasaku. Aku tak menyimak apa yang diinginkan orang itu karena
konsentrasiku fokus menyimak pementasan, terutama pada permainan Shintya
Marissa.
Aku memilihnya Shintya
Marissa untuk menyelesaikan misi yang tak berhasil dikerjakan Ricky Surya.
Tidak seorang pun yang tahu bagaimana perempuan ini direkrut, dan apakah
perempuan ini bagian dari kami atau bukan. Riwayat hidupnya segelap warna rambutnya.
Perempuan ini yang terbaik untuk misi-misi yang gagal
dilaksanakan orang lain. Dia selalu menjadi pilihan terakhirku, karena dia punya strategi untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Inisiatifnya
luar biasa. Kreativitasnya sering mencengangkan.
Riwayat hidupnya tak
pernah aku simpan di server perusahaan. File tentang dirinya aku simpan di
kepalaku. Aku hanya akan membuka file
itu bila memerlukannya. Ketika kepalaku mumet lantaran kegagalan Ricky Surya,
ditambah ancaman dari beberapa pelanggan yang akan berhenti memakai jasa yang
aku tawarkan lantaran Ahmad Wijaya bernyanyi ke beberapa orang soal kegagalan
misi di Lampung, aku menemui Shintya
Marissa saat dia menyaru sebagai penjual jamu gendong di kawasan Jenderal Sudirman.
Dia mengaku
mengumpulkan data tentang sebuah gedung yang sedang dibangun di kawasan segitiga emas itu. Pemilik proyek mencurigai mandor
mencuranginya soal material. Tapi dia malah curiga pemilik proyek itu tidak
bicara apa adanya tentang gedung tersebut. “Dia pikir aku setolol dirinya,”
kata si Bunglon. “Dia sedang mengolah kemungkinan akan memperoleh untung lebih
besar dengan cara kuno, memfitnah mandor.”
Aku minta dia
menemuiku di kantor karena ada pekerjaan baru di Lampung. Tapi dia tak menemuiku. Lewat telepon
genggam, dia mengaku sedang dalam perjalanan ke Soekarno Hatta, dan dalam
hitungan jam akan berangkat ke Bandar Lampung. “Waktuku akan habis kalau harus menemuimu,”
katanya. “Aku tak percaya pada siapa pun di kantormu.”
Aku mewanti-wanti agar
dia lebih hati-hati. Aku ingatkan soal kecurigaanku bahwa misi Ricky Surya
sudah bocor. Tidak lupa aku singgung kalau Ahmad
Wijaya sudah membatalkan kontrak, tapi aku ingin misi ini tetap dilanjutkan
karena hasilnya akan sangat menguntungkan. Bagaimana tidak, ini soal impor
gula, soal sesuatu yang sangat manis.
Ahmad Wijaya, pengusaha pengimpor itu,
memintaku mencari tahu kenapa kontraknya dengan sejumlah produsen gula di
Lampung sampai dibatalkan. Ia mencurigai ada pemain lain dan ia ingin aku
menghabisi pemain itu.
Aku tahu Ahmad Wijaya tak menceritakan
semuanya secara utuh. Ia ceritakan hanya bagian terkecil saja tentang impor
gula itu. Aku berhasil mengundul data importer gula di Departemen Perdagangan,
yang menyebut perusahaan Ahmad Wijaya memegang monopoli impor gula pasir.
Fakta lain yang berhasil aku dapat dari
rekan di Departemen Perdagangan, Ahmad Wijaya tidak pernah membeli gula dari
luar. Ia membeli gula dari produsen yang ada di Lampung, kemudian mengurus
administrasi yang menyatakan bahwa gula itu berasal dari luar negeri, lalu
mengirimnya ke Badan Logistik. Semua ini atas persetujuan salah seorang anggota
DPR.
Informasi itu yang aku sampaikan kepada
Sutoyo, yang kemudan menjebak Ahmad Wijaya bersama pejabat Badan Logistic dan
anggota DPR itu. Si Bunglon aku minta mencari tahu di gudang siapa gula-gula
itu ditimbun. Bila perlu, dia boleh menyeret para produsen gula kalau tidak
bisa mengkonversikannya menjadi keuntungan besar.
Si Bunglon tak perlu diajari soal itu. Dia
piawai mengkonversikan segala sesuatu menjadi keuntungan besar. Aku tahu dia
mendapat keuntungan jauh lebih besar daripada yang aku bayangkan. Misalnya, dia
bisa saja memaksa setiap produsen gula agar menutupi kasus impor fiktif itu
dalam bentuk uang cast, tapi dia juga bisa menyita gula-gula dalam gudang itu.
3
AKU tak pernah
meragukan kemampuan si Bunglon. Tapi aku selalu khawatir pada bagian akhir
dari setiap misi yang dijalankannya. Dia terlalu cerdas, teramat bersemangat.
Dia tidak pernah mau menyelesaikan satu pekerjaan bila kebetulan berada di
suatu daerah. Dia akan mencari pekerjaan baru, lalu menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan itu bersamaan.
Yang membuatku
khawatir, kemampuan si Bunglon yang luar biasa itu membuat dia punya potensi untuk membokongku,
mengkhianatiku, dan mencurangiku. Aku seperti memelihara anak macan, tapi yang
ini macan betina. Macan yang aku tahu
pasti tidak akan bisa jinak, dan aku yakini suatu saat akan menerkamku. Maka
aku ingatkan dia agar fokus pada pekerjaan awal. Seperti biasa, dia
menanggapiku sambil tertawa. “Kau tidak pernah berubah,” katanya.
Dialah yang
menginspirasiku untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang jasa ini.
Aku ternyata keliru karena menduga dia seorang pemain teater. Pertemuan
kedua terjadi dalam sebuah organisasi mahasiswa di sebuah kampus di Jakarta
Selatan. Dia teronggok di ruang sekretariat sebagai orang yang kurang percaya
diri atas kemampuannya dan setiap hari mengurusi masalah pembuatan proposal.
Tanpa sengaja, saat
aku ingin menemui ketua organisasi itu karena membutuhkan beberapa anggotanya
untuk mengerahkan massa dalam sebuah aksi di gedung DPR RI, aku berdiskusi dengan dirinya. Dia mengaku
bosan dengan rutinitas yang dijalaninya di organisasi, dan dia selalu berpikir
untuk meninggalkan kampusnya karena tidak menemukan budaya belajar yang bisa
mengembangkan potensi dirinya, tapi dia selalu ragu untuk mengambil keputusan.
Aku membuka pikirannya dengan cara menceritakan pengalamanku mempengaruhi
sejumlah kebijakan pemerintah lewat beberapa tokoh penting yang aku sulap sebagai
boneka tali. Aku pegang talinya dan aku
gerakkan mereka sesuka hati, karena kemampuan mereka tidak pernah diperbaharui
dan lebih percaya pada cara-cara tradisional dalam menyelesaikan pekerjaannya.
“Menarik sekali!”
katanya. “Aku ingin jadi sutradara seperti itu.”
“Kenapa?”
Dia menggeleng. “Aku
hanya ingin.”
“Apa yang ingin kau
buktikan?” tanyaku.
Belakangan aku tahu,
seumur hidupnya, dia tidak pernah diberi kepercayaan. Orang tuanya meragukan
kemampuannya dalam hal apa saja, sejak dia masih kecil. Bahkan, kekasihnya—yang
kemudian ditinggalkannya setelah mempermalukannya di depan orang banyak – tak
pernah mempercayainya. “Dalam urusan seks saja, dia tidak percaya aku mampu
memuaskannya,” katanya.
Dia mendengarkan
nasehatku agar tidak jatuh cinta lagi. Mula-mula dia mengatakan dirinya justru
mulai jatuh cinta padaku. Aku tak mempercayai ucapannya, dan menganggapnya
bercanda. Dan, benar, dia tidak pernah jatuh cinta. Tapi, aku sering
memergokinya di kamar hotel bersama laki-laki yang disukainya. Bagiku itu tidak
masalah selama tanggung jawabnya selalu diselesaikan dengan baik.
Dalam waktu singkat,
hasil kerja si Bunglon mulai menemukan titik terang. Sejumlah
media nasional menulis berita tentang terbongkarnya kasus korupsi sejumlah
titik pembangunan jalan di Provinsi Lampung. Pelakunya, kepala dinas bina marga, dengan modus memecah-pecah sejumlah proyek
pembangunan fisik jalan raya ke dalam pecahan-pecahan kecil agar bisa
dibagi-bagi kepada para kontraktor. Semakin banyak pecahan itu, semakin banyak
kontraktor yang bisa dilibatkan. Dengan sendirinya, semakin banyak uang setoran
yang diterima pihak penyelenggara. Untuk satu proyek, para kontraktor harus
menyetor 20% di depan. Shintya Marissa membongkar modus itu dan
sukses menggesek jaksa di Kejaksaan Tinggi
Lampung.
Apa yang aku khawatirkan juga menjadi
kenyataan. Suatu malam, saat aku sedang menikmati hidup di sebuah kamar hotel,
sebuah berita masuk ke telepon genggam yang menyebut kalau Shintya Marissa
dilarikan ke rumah sakit. Gadis itu diciduk polisi karena dicurigai terlibat
jaringan prostitusi online. Beberapa polisi menggerebeknya di dalam kamar hotel
pada saat ia sedang bersama seorang laki-laki yang ternyata seorang penyidik di kejaksaan.
Aku menghubungi beberapa kawan pengacara
dan meminta mereka agar membebaskan si Bunglon dari kantor polisi. Apapun
caranya, mereka harus mengupayakan agar polisi tidak memojokkan si Bunglon. Aku
yakin siapapun tak akan bisa mengorek informasi dari si Bunglon asal jangan
dipojokkan de ngan alasan diskresi polisi.
Seperti aku bayangkan, tidak butuh waktu
lama bagi si Bunglon untuk keluar dari kantor polisi. Dalam hitungan jam,
Husein dan Makmur, rekanku yang pengacara dan tinggal di Bandar Lampung, mengabariku kalau si Bunglon ada bersama
mereka di luar kantor polisi. Dia akan segera meninggalkan Bandar Lampung
seperti yang aku perintahkan. Perempuan itu sudah harus ditarik dari penugasan,
karena penangkapan itu adalah bukti kalau pekerjaannya mulai dicurigai. Aku
meminta Makmur dan Husein, atau salah seorang dari mereka, segera mengeluarkan si
Bonglon dari Bandar Lampung. “Besok pagi, dia sudah tidak ada di sana,”kataku.
Husein menyanggupi, meskipun aku kurang
yakin pada kemampuannya. Aku mewanti-wanti agar usahanya membawa si Bunglon keluar
dari Bandar Lampung tidak tercium oleh siapa saja. “Baik,” kata Husein, “malam
ini aku akan membawanya ke Jakarta.”
Aku membayangkan hal paling buruk akan
menimpa si Bunglon. Aku tak ingin hal itu yang terjadi, sementara aku tidak
punya orang lain yang berkualitas seperti dirinya. Kehilangan si Bunglon akan
membawa pengaruh buruk.
Sementara aku memikirkan cara mengeluarkannya
dari Bandar Lampung tanpa diketahui
siapa pun, aku juga meragukan kemampuan Husein. Anak muda itu tidak berpengalaman
menghadapi situasi seperti ini, karena ia tidak tahu persis situasi yang sedang
dihadapinya. Mungkin ia berpikir, tidak ada kesulitan yang berarti untuk
membawa si Bunglon keluar dari Bandar
Lampung ke Jakarta. Dan, benar, dugaanku tidak keliru. Belum lama Husein
menutup telepon, tiba-tiba teleponku mendering.
Nomor Ahmad Wijaya muncul di layar. Tentu
saja ini mengherankan. Bagaimana bisa?
Aku penasaran dan mengangkatnya. Aku dengar suara Ahmad Wijaya tergelak.
“Kau piker aku sudah habis,” katanya. “Kau salah, kaulah yang habis.”
Aku diam saja, membiarkannya bicara.
“Tidak sulit bagiku menarik anak buahmu.
Mula-mula Ricky Surya, dan kini orang terbaikmu… siapa namanya. Ah, ya, Shintya
Marissa.” Dia kembali tergelak.
*
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda