Kartu Joker

by - October 16, 2016

1

Aku sudah kehilangan ayam petelur emas, kerugianku bertambah oleh kening yang tercoreng. Susah membersihkan coreng itu di hadapan kolegaku,  sekalipun aku bisa menyelesaikan penyebab semua ini terjadi. Tapi, setidaknya, aku bisa menjamin hal yang sama tak terulang lagi.

Ricky Surya adalah penyebabnya. Anak ini gagal menjalankan misinya di Lampung. Kegagalannya merembet ke hal lain. Segala sesuatunya berjalan tak seperti yang aku rencanakan. Proyek besar itu lepas dari tangan.

Diam-diam ia  kembali ke Jakarta tanpa melaporkan hasil kerjanya. Ia berusaha menghilang dirinya, tapi salah seorang informanku berhasil menemukannya di sebuah hotel murah di bilangan Senen.

“Kartu joker apapan!?” Ahmad Wijaya mengejek.  “Tahu akan begini, tak aku pakai jasamu.”

Aku diam saja dimaki-maki Ahmad Wijaya. Air mendidih menggelegak di dadaku. Di dalam kepalaku seperti ada kepundah gunung merapi yang siap meledak. Aku tak pernah tahan jika diremeh oleh siapa pun.

Sekalipun Ahmad Wijaya, pelanggan lama,  bukan berarti ia boleh meremehkan kemampuanku sesukanya. Untungnya, hal itu tak berlangsung lama. Selang beberapa hari kemudian, breaking news  muncul di televisi: “Ahmad Wijaya, pengusaha terkenal, tertangkap tangan oleh KPK sedang menyogok dua pejabat di Badan Logistik dan satu anggota DPR. Barang bukti berupa uang dua miliar rupiah ditemukan dalam kantong pelastik di bawah jok mobilnya.”

Sutoyo, sahabat lamaku, yang kini bekerja sebagai penyidik KPK—sebelumnya ia bekerja di lingkungan Polri, kemudian diperbantukan ke KPK-- aku hubungi soal Ahmad Wijaya. “Kurang hajar!” katanya, “dia pikir dirinya hebat apa.”     

Breaking news di televisi itu hasil pemikiran Sutoyo. Berankas di ruang kerjaku tak jadi aku kosongkan untuk menutupi ganti rugi  kepada Ahmad Wijaya. Aku hanya ambil sedikit, mengirimkannya ke rumah Sutoyo melalui seorang pengantar makanan cepat saji. Uang itu ada di dalam gelas minuman cepat saji.

Aku akan melakukan apa saja, memberikan apa saja kalau aku puas. Kepada Sutoyo aku sering memenuhi apa saja yang diinginkannya. Profesi yang kini ia tekuni,  akulah yang merekomendasikannya. Sebagai polisi yang terlalu banyak menganggur padahal di bahunya ada tanda pangkat seorang perwira menengah, ia tidak kesulitan ketika diperbantukan sebagai penyidik di KPK.

Sutoyo teman yang luar biasa. Aku puas memenjarakan Ahmad Wijaya.  Aku juga puas karena penyebab utamanya, Ricky Surya, tak lagi akan menjadi masalah. “Ingat bagaimana Ricky  Surya menemui ajalnya.” Kalimat itu selalu aku ulang-ulang kepada anak-anak yang aku pelihara. Mereka, orang-orang yang mestinya manut dan tunduk pada kehendakku karena bekerja untuk aku, aku yakini pasti mudah memahami arah ucapanku.

Tak perlu aku ceritakan bagaimana kecelakaan yang merengut  nyawa Ricky Surya bisa terjadi. Cukup dipahamkan, siapa saja yang gagal menjalankan misi, resikonya adalah mati.

Beberapa menit setelah breaking news  tentang penangkapan Ahmad Wijaya, muncul breaking news  baru tentang kecelakaan lalu lintas di salah satu jalan tol. Sebuah mobil sedan warna hitam metalik  meledak di jalan tol setelah menabrak pagar pembatas.  Polisi menduga si pengendara mabuk.

Tak seorang pun mempersoalkan kematian Ricky Surya. Mereka cuma sering muntah membayangkan daging panggang Ricky Surya.

Tapi, perempuan muda yang tinggal di sebuah rumah kontakan di bantaran Kali Ciliwung di sekitar kawasan Bukit Duri,  malah mempersoalkan kematian Ricky Surya. Tiap hari perempuan itu mengoceh lewat media sosialnya, membuat asumsi bahwa kekasihnya itu sengaja dibunuh oleh sebuah jaringan tempat Ricky Surya pernah menjadi bagiannya.

“Sehari sebelum kematiannya,” katanya kepada Marlina Sanjaya, yang sengaja aku kirim menemui perempuan muda itu dan menyaru sebagai wartawan dengan tugas menyelesaikan perempuan muda itu tanpa bukti. “Ricky Surya mengeluh ada yang akan membunuhnya. Malam itu ia di kamar ini, dan kami menghabiskan waktu seakan-akan besok kami tidak akan bertemu lagi. Siang sepulang dari kamar ini, ia mengalami kecelakaan itu.”

Marlina Sanjaya menyimpulkan perempuan muda itu seorang mata duitan. Dia tidak tahu persis siapa Ricky Surya.  Sebab itu, dia berkesimpulan, bahwa perempuan itu tidak akan mengganggu. “Dia akan cepat melupakan Ricky Surya,” katanya. “Dia hanya butuh uang Ricky Surya.”

Dua hari sejak laporan itu diterima,  Marlina Sanjaya mengalami kecelakaan di kamar mandi sebuah hotel.  Dia harus menjalani operasi untuk memperbaiki urat-urat di otaknya. Perempuan muda itu terpeleset dan kepalanya membentuk dinding.

Dokter Mumung  menyimpulkan kalau Marlina Sanjaya mendapat serangan stroake. Bila operasi berhasil, dia akan mengalami kemunduran dalam cara berpikir.

Bersamaan dengan jadwal operasi Marlina Sanjaya, dua laki-laki mengendarai mobil jeep, memasuki sebuah kamar kost di daerah Bukit Duri. Keduanya  mengaku sebagai polisi yang ingin menanyai perempuan muda itu tentang kematian Ricky Surya. Perempuan muda itu tak menolak ketika dua orang itu mengajaknya ke kantor polisi untuk membuat laporan.

Bertepatan ketika dokter yang mengoperasi Marlina Sanjaya menyanyat kulit kepala perempuan itu, dua laki-laki itu menghentikan mobil jeep di sebuah jembatan dan menggantung seorang perempuan pada besi jembatan itu.

Beberapa koran memberitakan perihal penemuan mayat seorang perempuan yang meninggal gantung diri di tiang jembatan. Aku membaca berita itu sambil mendengar laporan dari dr. Mumung perihal operasi Marlina Sanjaya. “Dia akan seperti orang yang kehilangan ingatan,” katanya. “Beberapa uratnya yang membengkak  karena benturan sengaja kami putuskan.”

2

Kartu Joker. Itulah merek dagang yang aku buat dan aku samarkan sebagai bisnis jasa pengiriman barang dalam dan luar negeri. Perusahaanku punya kartu joker yang bisa diandalkan siapa saja untuk menyelesaikan masalah mereka, terutama masalah yang butuh penyelesaian cepat tanpa melalui prosedur yang mengikat.

Kartu joker itu, misalnya,  Shintya Marissa. Aku menyebutnya si Bunglon. Perempuan itu piawai menyaru. Dia bisa menjadi apa saja dan jadi siapa saja.  Dia seorang pemain teater yang tak sukses. Aku mengenalnya pertama kali saat menyaksikan pementasan kelompok teaternya di Taman Ismail Marzuki.

Aku tidak terlalu suka pada teater. Malam itu aku terpaksa menonton pementasan hanya  untuk bisa mengobrol dengan salah seseorang yang membutuhkan jasaku. Aku tak menyimak apa yang diinginkan orang itu karena konsentrasiku fokus menyimak pementasan, terutama pada permainan Shintya Marissa. 

Aku memilihnya Shintya Marissa untuk menyelesaikan misi yang tak berhasil dikerjakan Ricky Surya. Tidak seorang pun yang tahu bagaimana perempuan ini direkrut, dan apakah perempuan ini bagian dari kami atau bukan. Riwayat hidupnya segelap warna rambutnya.

Perempuan ini yang terbaik untuk misi-misi yang gagal dilaksanakan orang lain. Dia selalu menjadi pilihan terakhirku,  karena dia punya strategi untuk  menyelesaikan tugas-tugasnya. Inisiatifnya luar biasa. Kreativitasnya sering mencengangkan.

Riwayat hidupnya tak pernah aku simpan di server perusahaan. File tentang dirinya aku simpan di kepalaku.  Aku hanya akan membuka file itu bila memerlukannya. Ketika kepalaku mumet lantaran kegagalan Ricky Surya, ditambah ancaman dari beberapa pelanggan yang akan berhenti memakai jasa yang aku tawarkan lantaran Ahmad Wijaya bernyanyi ke beberapa orang soal kegagalan misi di Lampung,  aku menemui Shintya Marissa saat dia menyaru sebagai penjual jamu gendong di kawasan Jenderal Sudirman.

Dia mengaku mengumpulkan data tentang sebuah gedung yang sedang dibangun di kawasan segitiga emas itu. Pemilik proyek mencurigai mandor mencuranginya soal material. Tapi dia malah curiga pemilik proyek itu tidak bicara apa adanya tentang gedung tersebut. “Dia pikir aku setolol dirinya,” kata si Bunglon. “Dia sedang mengolah kemungkinan akan memperoleh untung lebih besar dengan cara kuno, memfitnah mandor.”

Aku minta dia menemuiku di kantor karena ada pekerjaan baru di Lampung. Tapi dia tak menemuiku. Lewat telepon genggam, dia mengaku sedang dalam perjalanan ke Soekarno Hatta, dan dalam hitungan jam akan berangkat ke Bandar Lampung.  “Waktuku akan habis kalau harus menemuimu,” katanya. “Aku tak percaya pada siapa pun di kantormu.”

Aku mewanti-wanti agar dia lebih hati-hati. Aku ingatkan soal kecurigaanku bahwa misi Ricky Surya sudah bocor. Tidak lupa aku singgung kalau Ahmad Wijaya sudah membatalkan kontrak, tapi aku ingin misi ini tetap dilanjutkan karena hasilnya akan sangat menguntungkan. Bagaimana tidak, ini soal impor gula, soal sesuatu yang sangat manis.

Ahmad Wijaya, pengusaha pengimpor itu, memintaku mencari tahu kenapa kontraknya dengan sejumlah produsen gula di Lampung sampai dibatalkan. Ia mencurigai ada pemain lain dan ia ingin aku menghabisi pemain itu. 

Aku tahu Ahmad Wijaya tak menceritakan semuanya secara utuh. Ia ceritakan hanya bagian terkecil saja tentang impor gula itu. Aku berhasil mengundul data importer gula di Departemen Perdagangan, yang menyebut perusahaan Ahmad Wijaya memegang monopoli impor gula pasir.

Fakta lain yang berhasil aku dapat dari rekan di Departemen Perdagangan, Ahmad Wijaya tidak pernah membeli gula dari luar. Ia membeli gula dari produsen yang ada di Lampung, kemudian mengurus administrasi yang menyatakan bahwa gula itu berasal dari luar negeri, lalu mengirimnya ke Badan Logistik. Semua ini atas persetujuan salah seorang anggota DPR.

Informasi itu yang aku sampaikan kepada Sutoyo, yang kemudan menjebak Ahmad Wijaya bersama pejabat Badan Logistic dan anggota DPR itu. Si Bunglon aku minta mencari tahu di gudang siapa gula-gula itu ditimbun. Bila perlu, dia boleh menyeret para produsen gula kalau tidak bisa mengkonversikannya menjadi keuntungan besar.

Si Bunglon tak perlu diajari soal itu. Dia piawai mengkonversikan segala sesuatu menjadi keuntungan besar. Aku tahu dia mendapat keuntungan jauh lebih besar daripada yang aku bayangkan. Misalnya, dia bisa saja memaksa setiap produsen gula agar menutupi kasus impor fiktif itu dalam bentuk uang cast, tapi dia juga bisa menyita gula-gula dalam gudang itu.

3

AKU tak pernah meragukan kemampuan si Bunglon. Tapi aku selalu khawatir pada bagian akhir dari setiap misi yang dijalankannya. Dia terlalu cerdas, teramat bersemangat. Dia tidak pernah mau menyelesaikan satu pekerjaan bila kebetulan berada di suatu daerah. Dia akan mencari pekerjaan baru, lalu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu bersamaan.

Yang membuatku khawatir,  kemampuan si Bunglon yang luar biasa itu membuat dia punya potensi untuk membokongku, mengkhianatiku, dan mencurangiku. Aku seperti memelihara anak macan, tapi yang ini macan betina.  Macan yang aku tahu pasti tidak akan bisa jinak, dan aku yakini suatu saat akan menerkamku. Maka aku ingatkan dia agar fokus pada pekerjaan awal. Seperti biasa, dia menanggapiku sambil tertawa. “Kau tidak pernah berubah,” katanya.

Dialah yang menginspirasiku untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang  jasa ini.  Aku ternyata keliru karena menduga dia seorang pemain teater. Pertemuan kedua terjadi dalam sebuah organisasi mahasiswa di sebuah kampus di Jakarta Selatan. Dia teronggok di ruang sekretariat sebagai orang yang kurang percaya diri atas kemampuannya dan setiap hari mengurusi masalah pembuatan proposal.

Tanpa sengaja, saat aku ingin menemui ketua organisasi itu karena membutuhkan beberapa anggotanya untuk mengerahkan massa dalam sebuah aksi di gedung DPR RI,  aku berdiskusi dengan dirinya. Dia mengaku bosan dengan rutinitas yang dijalaninya di organisasi, dan dia selalu berpikir untuk meninggalkan kampusnya karena tidak menemukan budaya belajar yang bisa mengembangkan potensi dirinya, tapi dia selalu ragu untuk mengambil keputusan. Aku membuka pikirannya dengan cara menceritakan pengalamanku mempengaruhi sejumlah kebijakan pemerintah lewat beberapa tokoh penting yang aku sulap sebagai boneka tali.  Aku pegang talinya dan aku gerakkan mereka sesuka hati, karena kemampuan mereka tidak pernah diperbaharui dan lebih percaya pada cara-cara tradisional dalam menyelesaikan pekerjaannya.

“Menarik sekali!” katanya. “Aku ingin jadi sutradara seperti itu.”

“Kenapa?”

Dia menggeleng. “Aku hanya ingin.”

“Apa yang ingin kau buktikan?” tanyaku.

Belakangan aku tahu, seumur hidupnya, dia tidak pernah diberi kepercayaan. Orang tuanya meragukan kemampuannya dalam hal apa saja, sejak dia masih kecil. Bahkan, kekasihnya—yang kemudian ditinggalkannya setelah mempermalukannya di depan orang banyak – tak pernah mempercayainya. “Dalam urusan seks saja, dia tidak percaya aku mampu memuaskannya,” katanya.

Dia mendengarkan nasehatku agar tidak jatuh cinta lagi. Mula-mula dia mengatakan dirinya justru mulai jatuh cinta padaku. Aku tak mempercayai ucapannya, dan menganggapnya bercanda. Dan, benar, dia tidak pernah jatuh cinta. Tapi, aku sering memergokinya di kamar hotel bersama laki-laki yang disukainya. Bagiku itu tidak masalah selama tanggung jawabnya selalu diselesaikan dengan baik.

Dalam waktu singkat, hasil kerja si Bunglon mulai menemukan titik terang. Sejumlah media nasional menulis berita tentang terbongkarnya kasus korupsi sejumlah titik pembangunan jalan di Provinsi Lampung.  Pelakunya, kepala dinas bina marga,  dengan modus memecah-pecah sejumlah proyek pembangunan fisik jalan raya ke dalam pecahan-pecahan kecil agar bisa dibagi-bagi kepada para kontraktor. Semakin banyak pecahan itu, semakin banyak kontraktor yang bisa dilibatkan. Dengan sendirinya, semakin banyak uang setoran yang diterima pihak penyelenggara. Untuk satu proyek, para kontraktor harus menyetor 20% di depan. Shintya Marissa membongkar modus itu dan sukses menggesek jaksa di Kejaksaan Tinggi Lampung.

Apa yang aku khawatirkan juga menjadi kenyataan. Suatu malam, saat aku sedang menikmati hidup di sebuah kamar hotel, sebuah berita masuk ke telepon genggam yang menyebut kalau Shintya Marissa dilarikan ke rumah sakit. Gadis itu diciduk polisi karena dicurigai terlibat jaringan prostitusi online. Beberapa polisi menggerebeknya di dalam kamar hotel pada saat ia sedang bersama seorang laki-laki yang  ternyata seorang penyidik di kejaksaan. 

Aku menghubungi beberapa kawan pengacara dan meminta mereka agar membebaskan si Bunglon dari kantor polisi. Apapun caranya, mereka harus mengupayakan agar polisi tidak memojokkan si Bunglon. Aku yakin siapapun tak akan bisa mengorek informasi dari si Bunglon asal jangan dipojokkan de ngan alasan diskresi polisi. 

Seperti aku bayangkan, tidak butuh waktu lama bagi si Bunglon untuk keluar dari kantor polisi. Dalam hitungan jam, Husein dan Makmur, rekanku yang pengacara dan tinggal di Bandar Lampung,  mengabariku kalau si Bunglon ada bersama mereka di luar kantor polisi. Dia akan segera meninggalkan Bandar Lampung seperti yang aku perintahkan. Perempuan itu sudah harus ditarik dari penugasan, karena penangkapan itu adalah bukti kalau pekerjaannya mulai dicurigai. Aku meminta Makmur dan Husein, atau salah seorang dari mereka, segera mengeluarkan si Bonglon dari Bandar Lampung. “Besok pagi, dia sudah tidak ada  di sana,”kataku.

Husein menyanggupi, meskipun aku kurang yakin pada kemampuannya. Aku mewanti-wanti agar usahanya membawa si Bunglon keluar dari Bandar Lampung tidak tercium oleh siapa saja. “Baik,” kata Husein, “malam ini aku akan membawanya ke Jakarta.”

Aku membayangkan hal paling buruk akan menimpa si Bunglon. Aku tak ingin hal itu yang terjadi, sementara aku tidak punya orang lain yang berkualitas seperti dirinya. Kehilangan si Bunglon akan membawa pengaruh buruk.

Sementara aku memikirkan cara mengeluarkannya  dari Bandar Lampung tanpa diketahui siapa pun, aku juga meragukan kemampuan Husein. Anak muda itu tidak berpengalaman menghadapi situasi seperti ini, karena ia tidak tahu persis situasi yang sedang dihadapinya. Mungkin ia berpikir, tidak ada kesulitan yang berarti untuk membawa si Bunglon  keluar dari Bandar Lampung ke Jakarta. Dan, benar, dugaanku tidak keliru. Belum lama Husein menutup telepon, tiba-tiba teleponku mendering.

Nomor Ahmad Wijaya muncul di layar. Tentu saja ini mengherankan. Bagaimana bisa?  Aku penasaran dan mengangkatnya. Aku dengar suara Ahmad Wijaya tergelak. “Kau piker aku sudah habis,” katanya. “Kau salah, kaulah yang habis.”

Aku diam saja, membiarkannya bicara.

“Tidak sulit bagiku menarik anak buahmu. Mula-mula Ricky Surya, dan kini orang terbaikmu… siapa namanya. Ah, ya, Shintya Marissa.” Dia kembali tergelak.

*


You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda