Benarkah Mahadewa Mahadewi, Saman, Jendela-Jedela, Tuan dan Nyonya Kosong, Jangan Panggil Aku Monyet, dan buku-buku lain yang senafas, mengandung spirit pembebasan karena ia bicara soal indentitas seksual, sesuatu yang digadang-gadang banyak orang?
Kalau pertanyaan itu kita ajukan kepada Niels Mulder, penulis Southeast Asian Images: Towar Civil Society (2003), pastilah ia akan setuju sembari membeberkan tafsirnya atas teks Saman karya Ayu Utami. Bagi Mulder, Saman mengandung spirit pembebasan, melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap nilai-nilai warisan Negara Orde Baru.
Membandingkan Saman dengan karya sastra yang ditulis sastrawan perempuan di Thailand (Sucinda Khantayalongkot) dan Filipina (Lualhati Bautista), Mulder mengatakan ketiga perempuan sastrawan itu memperjuangkan kebebasan untuk bertindak, berpolitik, mengeluarkan pendapat, dan persamaan hak. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ketiganya memilih jalan dengan mengemukakan sisi seksualitas perempuan secara terbuka.
Sebagai pengamat demokrasi di wilayah ASEAN, Mulder sangat percaya bahwa seksualitas dalam karya sastra para pengarang perempuan mengandung spirit perlawanan. Spirit perlawanan itu diarahkan pada perlawanan terhadap moralitas publik, karena negara mengejawantah dalam urusan moral itu.
Lewat analisis tentang pendidikan moral yang diterima masyarakat Indonesia selama 32 tahun masa Orde Baru, Mulder menyimpulkan bawa konsep negara sangat kuat mengkooptasi persoalan-persoalan moral rakyat Indonesia. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan mulai sekolah dasar, menjadi semacam upaya pemerintah untuk mencekoki rakyat dengan nilai-nilai moral yang sudah dipersiapkan, yang kemudian diterima sebagai moralitas publik.
Konvensi moralitas publik pasca runtuhnya Orde Baru, makin dipertanyakan karena realitasnya lebih tampak sebagai pertarungan kekuatan dan kepentingan. Ditopang oleh pandangan kaum feminisme, para penganut sastra seksual berkeyakinan bahwa moralitas publik dibangun bukan dari yang ideal. Melainkan dibangun di atas luka-luka kaum perempuan, mereka yang dinegasikan dan diposisikan sebagai warga kelas dua.
Sebab itu, perempuan harus mendapat perlakuan sama dengan laki-laki. Karenanya, perlu dibangkitkan spriti perlawanan guna mencapai kemerdekaan yang sama dalam realitas kehidupan. Salah satu caranya, perempuan mesti berjuang dengan mengandalkan apa yang dimilikinya, yang selama ini condong diabaikan dalam penguatan kekuasaan yang terlalu maskulin.
Seksualitas dipandang sebagai senjata yang tepat. Wilayah ini diabaikan kaum laki-laki karena dianggap bukan ihwal yang pantas digiring ke dalam wilayah publik. Seksualitas lebih diterima sebagai persoalan domestik. Dengan begitu, perjuangan untuk mendapat perlakuan sama akan lebih mudah terealisasi di tengah-tengah realitas negara yang sibuk membangun dan mengembangkan moralitas publik yang maskulin. Perjuangan ini berimbas terhadap negara yang maskulin, yang membuat perempuan senantiasa tersubordinasi, sulit menyatakan eksistensi.
Tentu, banyak yang menentang pandangan tersebut, terutama karena spirit pembebasan yang dimaksud memposisikan nilai-nilai tradisi sebagai sesuatu yang mengekang, keras, dan otoriter. Ini terjadi karena kesalahan identifikasi, bahwa nilai-nilai tradisi yang maskulin merupakan manifestasi dari negara yang maskulin. Nilai-nilai ini menyusuf jauh ke wilayah publik karena peran Negara yang sangat hagemonik, mendoktrin setiap warga bangsa dan melegalkan tindakan otoriter di dalam apa yang disebut sistem pendidikan nasional.
Jadi, terhadap nilai-nilai tradisi, Mulder berkesimpulan sebagai sesuatu yang mesti dilawan, bukan dengan mempretelinya secara langsung dari dinamika kehidupan, tetapi menghancurkannya secara perlahan dan total dengan cara memperkenalkan nilai-nilai baru yang lebih dinamis. Nilai-nilai baru yang disebut demokrasi, meskipun bukan demokrasi yang dipahami publik secara ideal.
Demokrasi yang tidak ideal itulah yang menjadi acuan para pengamat sastra di negeri ini, sehingga mereka ngotot untuk mendukung "sastrawati menulis identitas". Dukungan yang sangat serius dilakukan M Fadjroel Rachman selaku penandatangan Memo Indonesia, dalam penutup esainya, Sastrawati Menulis Identitas Seksual (Media Indonesia, 2 September 2007). ''Siapa pun yang takut terhadap kebebasan dan tanggung jawab pribadi, takut terhadap perbedaan, kehidupan dan progresivitas, dilarang membaca karya sastrawati Indonesia abad XXI,'' tulisnya.
Dipublikasikan di Republika edisi Minggu, 25 November 2007
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda