Penghibur yang Tekun
Ia pengamen. Pekerjaan itu tak membuatnya minder. Ia bangga sebagai pengamen. Saya juga bangga sebagai pendengar suaranya.
Belakangan, saya punya kebiasaan mendatangi Lapangan Parkir Saburai di Kota Bandar Lampung. Malam hari, tempat itu berubah jadi tempat santai. Banyak pedagang muncul di sana.
Salah satu contoh Penghibur yang Tekun
Saya selalu ada di sana setiap malam. Memesan secangkir kopi, membuka laptop, menulis beberapa hal. Jika sedang tak mood, saya memanggil salah seorang pengamen dan memintanya menyanyikan beberapa lagu.
Karena kebiasaan itu, seorang pengamen yang sering saya mintai agar menyanyi, cepat sekali mengenali saya. Kalau saya datang dan mengambil tempat duduk, ia akan buru-buru muncul. Ia selalu membawa gitar. Sambil memegang gitarnya dengan sikap siap menyanyi, ia bertanya apakah saya butuh beberapa lagu. "Saya baru saja berhasil menghafal beberapa lagu cinta," katanya.
Setelah saya beri izin, ia pun menyanyi. Suaranya sangat merdu. Vokalnya bagus. Teknik gitarnya lumayan. Ia sangat serius saat menyanyi. Saya merasa, setiap kali ia menyanyi, selalu saja permainannya semakin bagus. Saya yakin ia belajar serius, ia tekuni pekerjaannya sebagai pengamen.
Suatu malam, sebelum ia menyanyi, saya memintanya duduk. Saya memintanya memesan kopi. Saya bilang ingin ngobrol dengan dirinya. Ia tidak menolak. Ia duduk di hadapan saya, lalu memesan secangkir kopi. Ia juga memesan jagung bakar. "Yang pedas, Bang," katanya kepada pedagang jagung bakar.
Kemudian kami terlibat percakapan serius. Dari percakapan itulah saya tahu alasannya mengamen. Katanya, mengamen baginya adalah bekerja. Awalnya ia ingin bekerja di sebuah perusahaan, entah sebagai apa saja. Ia seorang lulusan sebuah perguruan tinggi swasta. Tapi, setelah ia melamar pekerjaan dan tidak kunjung memperolehnya, ia putuskan menjadi pengamen.
Mula-mula ia sangat canggung. Ia juga malu. Tapi, lama kelamaan ia merasa sangat menyukai pekerjaannya. Ia menyukai bukan karena penghasilannya besar, tapi karena penghasilannya didapat setelah orang lain terhibur. Ia pun menekuni pekerjaannya. Katanya, ia sangat selektif memilih tempat menyanyi. Ia akan melihat apakah seseorang itu akan senang kalau ia menyanyi atau tidak.
Begitulah, suatu hari ia bertemu saya. Saya menyukainya, bukan lantaran cara menyanyinya bagus. Saya menyukainya karena ketekunannya dengan pekerjaannya. Ketertarikan saya padanya bermula ketika ia datangi saya saat baru duduk. Ia tak langsung menyanyi, tetapi meminta izin lebih dahulu. Karena ia bersikap ramah, saya meladeni dan menanyakan namanya. Saya juga bertanya lagu apa yang bisa ia nyanyikan. Ia menjawab sambil tersenyum: "Saya hanya pengamen, lagu apa saja yang diminta saya usahakan."
Semula saya pikir ia berbohong. Saya memintanya menyanyikan sebuah lagu lama yang baru saja dinyanyikan Ari Lasso, Rumah Di Atas Bukit. Ternyata ia tidak berbohong, lagu itu ia nyanyikan. Suaranya merdu, dan itu sangat menghibur saya. Selanjutnya saya minta ia menyanyikan salah satu lagu Bruri, setelah itu saya minta ia menyanyikan lagu yang cocok dengan orang seperti saya.
Setelah lagu Bruri, ia kemudian bertanya tentang suasana hati saya. Saya bilang saya sedang kacau. Kekasih saya, yang saya temui saat berwisata di Danau Ranau, tidak bisa saya telepon. "Malam ini saya ingin berduaan dengan kekasih saya, tetapi ia tidak bisa saya hubungi," kata saya.
"Saya tahu suasana hati seperti itu. Saya sering mengalaminya," katanya.
"Maksudmu?"
Ia tidak menjawab, langsung memetik gitar. Ia menyanyikan lagu Iwan Fals. Saya hanya bisa tersenyum. Ia ternyata tidak sekedar pengamen. Ia sang penghibur dan tahu persis apa yang dibutuhkan orang. Saya salut padanya, pada ketekunannya atas pekerjaannya. Sejak itu, saya selalu ingin mendengarkannya menyanyi.
Salah satu contoh Penghibur yang Tekun
Saya selalu ada di sana setiap malam. Memesan secangkir kopi, membuka laptop, menulis beberapa hal. Jika sedang tak mood, saya memanggil salah seorang pengamen dan memintanya menyanyikan beberapa lagu.
Karena kebiasaan itu, seorang pengamen yang sering saya mintai agar menyanyi, cepat sekali mengenali saya. Kalau saya datang dan mengambil tempat duduk, ia akan buru-buru muncul. Ia selalu membawa gitar. Sambil memegang gitarnya dengan sikap siap menyanyi, ia bertanya apakah saya butuh beberapa lagu. "Saya baru saja berhasil menghafal beberapa lagu cinta," katanya.
Setelah saya beri izin, ia pun menyanyi. Suaranya sangat merdu. Vokalnya bagus. Teknik gitarnya lumayan. Ia sangat serius saat menyanyi. Saya merasa, setiap kali ia menyanyi, selalu saja permainannya semakin bagus. Saya yakin ia belajar serius, ia tekuni pekerjaannya sebagai pengamen.
Suatu malam, sebelum ia menyanyi, saya memintanya duduk. Saya memintanya memesan kopi. Saya bilang ingin ngobrol dengan dirinya. Ia tidak menolak. Ia duduk di hadapan saya, lalu memesan secangkir kopi. Ia juga memesan jagung bakar. "Yang pedas, Bang," katanya kepada pedagang jagung bakar.
Kemudian kami terlibat percakapan serius. Dari percakapan itulah saya tahu alasannya mengamen. Katanya, mengamen baginya adalah bekerja. Awalnya ia ingin bekerja di sebuah perusahaan, entah sebagai apa saja. Ia seorang lulusan sebuah perguruan tinggi swasta. Tapi, setelah ia melamar pekerjaan dan tidak kunjung memperolehnya, ia putuskan menjadi pengamen.
Mula-mula ia sangat canggung. Ia juga malu. Tapi, lama kelamaan ia merasa sangat menyukai pekerjaannya. Ia menyukai bukan karena penghasilannya besar, tapi karena penghasilannya didapat setelah orang lain terhibur. Ia pun menekuni pekerjaannya. Katanya, ia sangat selektif memilih tempat menyanyi. Ia akan melihat apakah seseorang itu akan senang kalau ia menyanyi atau tidak.
Begitulah, suatu hari ia bertemu saya. Saya menyukainya, bukan lantaran cara menyanyinya bagus. Saya menyukainya karena ketekunannya dengan pekerjaannya. Ketertarikan saya padanya bermula ketika ia datangi saya saat baru duduk. Ia tak langsung menyanyi, tetapi meminta izin lebih dahulu. Karena ia bersikap ramah, saya meladeni dan menanyakan namanya. Saya juga bertanya lagu apa yang bisa ia nyanyikan. Ia menjawab sambil tersenyum: "Saya hanya pengamen, lagu apa saja yang diminta saya usahakan."
Semula saya pikir ia berbohong. Saya memintanya menyanyikan sebuah lagu lama yang baru saja dinyanyikan Ari Lasso, Rumah Di Atas Bukit. Ternyata ia tidak berbohong, lagu itu ia nyanyikan. Suaranya merdu, dan itu sangat menghibur saya. Selanjutnya saya minta ia menyanyikan salah satu lagu Bruri, setelah itu saya minta ia menyanyikan lagu yang cocok dengan orang seperti saya.
Setelah lagu Bruri, ia kemudian bertanya tentang suasana hati saya. Saya bilang saya sedang kacau. Kekasih saya, yang saya temui saat berwisata di Danau Ranau, tidak bisa saya telepon. "Malam ini saya ingin berduaan dengan kekasih saya, tetapi ia tidak bisa saya hubungi," kata saya.
"Saya tahu suasana hati seperti itu. Saya sering mengalaminya," katanya.
"Maksudmu?"
Ia tidak menjawab, langsung memetik gitar. Ia menyanyikan lagu Iwan Fals. Saya hanya bisa tersenyum. Ia ternyata tidak sekedar pengamen. Ia sang penghibur dan tahu persis apa yang dibutuhkan orang. Saya salut padanya, pada ketekunannya atas pekerjaannya. Sejak itu, saya selalu ingin mendengarkannya menyanyi.
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda