Pengawas Pilkada

by - October 16, 2016

Hitungan bulan menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Provinsi Lampung,  yang akan digelar pada April 2017 mendatang.  Tapi bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) di daerah yang menyelenggarakan Pilkada,  juga bagi lembaga yang bertugas melakukan pengawasan, hitungan bulan ini seperti hitungan pekan saja. 

Terasa betul kalau waktu untuk mempersiapkan pesta demokrasi ini sangat  terbatas,  padahal sudah berlangsung hampir satu tahun.  Masih  banyak tahapan yang (belum dan) harus dilakukan,  yang sudah dilaksanakan pun seakan-akan masih tidak maksimal.

Selalu ada kekurangan di sana dan di sini, terutama bila para kontestan – para pasangan calon kepala daerah -- mulai memasuki wilayah subtansial dari kerja-kerja penyelenggara. Kritik dan protes menjadi hal yang sangat biasa, meskipun daun telinga sampai memerah saga. 

Kritik dan protes sebuah keniscayaan dalam kerja yang hasilnya berkaitan dengan hajat orang banyak.  Puja-puji akan jarang diperoleh. Orang akan langsung berkata, bahwa sukses dan keberhasilan menggelar Pilkada serentak adalah sebuah keharusan bagi lembaga yang ditunjuk sebagai penyelenggara.

Kondisi ini memaksa KPUD ekstra hati-hati dalam bekerja. Peraturan perundang-undangan yang merupakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana,  mesti dipelajari dengan seksama agar semua tahapan yang dilakukan sesuai  dengan amanat konstitusi.  Jika tidak, kritik dan protes dari kontestan  akan melayang, lebih parah lagi menjadi tuntutan hukum di pengadilan.

Tentu saja segala bentuk tuntutan hukum bisa dihindarkan sejak awal dengan selalu mengacu pada konstitusi yang ada. Selain itu, KPUD tetap perlu menjalin hubungan sinergis dengan lembaga pengawas, sehingga segala bentuk kejanggalan dalam tahapan-tahapan yang dikerjakan bisa diantisipasi sejak awal.

Komunikasi yang baik antara penyelenggara dengan lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak,  tidak boleh terputus apalagi terjadi kesenjangan (gap communication). Komunikasi itu harus intens,  sehingga semua hal yang berpeluang menimbulkan persoalan di kemudian hari bisa diantisipasi sejak dini.

Di dalam proses komunikasi itu,  baik penyelenggara maupun pengawas berada dalam satu level,  dan masing-masing harus saling memberi dukungan. Dengan begitu, tanggung jawab atas terselenggaranya Pilkada langsung dan serentak yang baik dan benar menjadi beban bersama. Kelemahan satu pihak adalah kelemahan bersama,  apalagi bila setiap stake holder punya visi dan misi yang sama untuk mendapatkan sosok pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah bersangkutan.

Komunikasi antarstake holder dalam penyelengaraan Pilkada langsung dan serentak akan berjalan dengan baik apabila setiap stake holder  memiliki agenda politik yang sama. Jangan sampai ada agenda tersembunyi (hidden agenda) seperti ingin memberi kesempatan lebih besar pada kontestan tertentu sambil mereduksi hak-hak kontestan lainnya.

Perbedaan agenda politik dari setiap stake holder Pilkada langsung dan serentak, apalagi bila agenda itu lebih kuat ditandai oleh dominannya kepentingan kelompok atau individu tertentu,  mengandung resiko besar untuk merusak nilai positif dari Pilkada itu sendiri. 

Pada akhirnya, kepentingan yang lebih besar menyangkut masa depan public sebagai warga dari pemerintahan daerah bersangkutan, akan terabaikan selama lima tahun. Tujuan-tujuan luhur dari dinamika pembangunan nasional maupun pembangun daerah akan berantakan, sehingga upaya untuk memperbaiki derajat kesejahteraan masyarakat jadi terkendala.

Pilkada langsung dan serentak adalah sebuah momentum politik yang sangat penting dalam menjamin masa depan sebuah daerah. Sebab itu, penyelenggara maupun pengawas, mesti senantiasa sejalan. Tidak boleh ada yang menunjukkan keberpihak terhadap kontestan tertentu, apalagi sampai mengorbankan profesionalisme kerja.

Yang paling penting menjadi perhatian, hasil yang buruk dari Pilkada langsung dan serentak berimplikasi serius terhadap nasib public selama lima tahun ke depan  Bukan waktu yang singkat, tentunya. Lima tahun lebih dari cukup untuk membuat rakyat sengsara dalam kehidupannya.

Pada tataran inilah, eksistensi pengawas penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak menjadi sangat urgen. Sebagai lembaga yang memiliki konstitusi jelas untuk melakukan kerja-kerja pengawasan, baik terhadap seluruh lapisan panitia penyelenggara mulai dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat pedesaan maupun terhadap para kontestan Pilkada langsung dan serentak,  sudah diandaikan bahwa seluruh personilnya memiliki kapasitas mumpuni untuk melakukan pengawasan yang ketat.

Dengan kapasitas itu, profesionalisme kerja harus diletakkan di atas kepala. Senantiasa dijunjung tinggi, sehingga segala bentuk pelanggaran yang ditemukan di lapangan, harus disikapi secara serius sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Segala bentuk kelemahan, yang lebih mempertontonkan ketidaktegasan dalam mengambil sikap,  akan merusak tatanan yang ada.

Dengan kata lain, keandalan pengawas dalam melakukan kerja-kerja pengawasan, sangat dibutuhkan public. Hasil kerja itu harus mampu memberi rasa keadilan bagi semua lapisan masyarakat, sehingga Pilkada langsung  dan serentak yang diselenggarakan betul-betul jadi mekanisme positif untuk mencari pemimpin daerah yang sesuai kebutuhan. 

Pengawas, secara harfiah bermakna,  seseorang atau lembaga yang melakukan kerja pengawasan.  Di dalam kerja mengawasi itu, sudah diandaikan bahwa pengawas dituntut untuk senantiasa aktif memperhatikan tahapan demi tahapan penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak. Setiap tahapan itu tidak boleh melenceng dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan begitu, kerja-kerja pengawasan harus berdasarkan pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur lembaga pengawas tersebut. Hasil kerja yang melampaui peraturan perundangan-undangan, sama saja dengan melakukan pelanggaran. Sesuatu yang terjadi karena melanggar aturan yang ada, bukan sesuatu yang layak dipertahankan.

Tapi, tentu saja, segala bentuk simpulan terkait hasil pengawasan, tidak boleh hanya berdasarkan pada variable dengan indikator yang tak terukur alias kuat ditandai subyektivitas.  Artinya, hasil kerja pengawasan membutuhkan legitimasi berupa bukti konkrit yang bisa dipakai untuk menguatkan tuduhan. Bukti-bukti yang bisa diukur oleh siapa saja,  yang disampaikan kepada public secara transparan, sehingga penyelenggaraan Pilkada langsung dan serentak membawa warna yang lebih cerah bagi kehidupan masyarakat.*



Versi lain opini ini disiarkan Analisa pada edisi Sabtu, 5 November 2016 dengan judul "Politik sebagai Persoalan Komunikasi". baca 

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda