Memenangi Politik, Memenangkan Kemulian

by - October 16, 2016


PILKADA langsung dan serentak, yang digelar pada 9 Desember 2015 lalu,  termasuk sukses meskipun sesuatu yang baru di negeri ini.  Publik memberi puja-puji kepada semua stake holder yang mendorong sukses itu. 

Meskipun begitu,  kita tidak bisa mengabaikan bahwa selalu ada segelintir orang yang senantiasa merawat ingatan-ingatan “traumatik” dan sinisme atas pelaksanaan pesta demokrasi yang pernah digelar di negeri ini. Mereka tidak percaya pemilihan umum,  tak mau datang alias golput.  Ingatan memang tak harus digerus dari kenangan, apalagi bila ada referensi yang bisa menjadi acuan dari betapa bobroknya sistem demokrasi di negeri ini di masa lalu.

Tapi, tentu, sikap optimis tidak boleh dikesampingkan. Ketika mulai banyak orang memiliki kesadaran dan kepekaan luar biasa atas pentingnya pemilihan umum sebagai sebuah mekanisme memilih calon pemimpin, kita pun perlu menjaga optimism itu. Kita juga bisa mendapatkan pemimpin seperti yang diharapkan semua orang, seorang pemimpin yang negarawan, orang yang mau dan bersedia mengabdikan diri untuk melayani kepentingan rakyatnya.

Dengan begitu, kita harus memaklumi bahwa kekeliruan dan kelemahan adalah sebuah keniscayaan dalam kerja manusia.  Makanya, manusia selalu berikhtiar bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mendekati kesempurnaan itu. Cara yang segera ditempuh, tidak lain, belajar dari kekurangan yang pernah dilakukan.

Optimisme harus dimiliki menghadapi Pilkada langsung dan serentak di beberapa kabupaten di Provinsi Lampung, yang akan digelar pada April 2017 mendatang.  Belajar dari kekurangan saat Pilkada 2015, terutama lewat evaluasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan para intelektual serta akademisi, bukan tidak mungkin kesempurnaan akan diraih. Segala kelemahan, kekurangan, dan ketidakpuasan, semoga tidak kita temukan lagi pada Pilkada yang akan datang.

Tentu saja sikap optimis tidak bisa berdiri sendiri. Perlu dukungan sikap-sikap lain, seperti mentalitas budaya yang gemuk dengan hasrat dan harapan untuk mendapatkan hasil yang baik dengan cara-cara yang baik. Kita harus memiliki gloria—martabat dalam berpolitik.  Moralitas dan nilai-nilai social perlu dipelihara  dan dirawat.

Kita bisa mengutif nasehat Niccolo Machiavelli pada beberapa abad lalu. ”Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” kata dia, ”tidak dapat disebut kegagahan, tapi cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, meskipun bukan memenangi  kemuliaan.”

Kita garis bawahi tentang memenangi kemulian.  Tentu saja soal ini lebih ditujukan kepada para kontestan.

Mereka yang menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pilkada langsung dan serentak, seharusnya menjalankan apa yang disebut  politik bermartabat. Politik seperti ini tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan.
Martabat memancar dari tindakan otentik  yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Kemuliaan  membuat kontestan dihormati rakyatnya.

Dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak bawah” cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat kita. Politik uang para kandidat selama Pilkada menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.

Martabat dalam politik harus dijaga. Kita punya banyak referensi tentang pemimpin yang menjaga martabat politiknya. Pada Pilpres 2014 lalu, misalnya, public menyaksikan aneka peristiwa politik di Indonesia memunculkan adegan akrab dan hangat: bersalaman.  Pasang capres-cawapres sering bersalaman saat tampil dalam acara-acara di KPU dan tempat perdebatan.

Kita mendapati ekspresi kebersamaan pada gesture yang diperlihatkan para kandidat pemimpin bangsa. Sebab, bersalaman memiliki sejarah kultural yang panjang sebagai manifestasi dari etika politik yang mengajarkan bahwa bersalaman adalah representasi pertalian atau relasi, bermakna perkenalan, perdamaian, rekonsiliasi, dan solidaritas. Adegan bersalaman antara Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah ekspresi politik beradab, acuan keteladanan dalam berdemokrasi.

Para kandidat Gubernur DKI Jakarta, mempertontonkan keakraban di antara mereka dengan selfi seusai mendapaftar di KUP DKI Jakarta. Para kandidat lebur dalam tawa dan senyum sumringah.  Terlihat sangat tulus. Padahal mereka sama-sama berhasrat memenangi Pilkada DKI Jakarta, tapi mereka tidak pernah mempertontonkan permusuhan demi menguber kekuasaan.

Berfoto bersama, mengembangkan senyum sumringah, dan dipertontonkan kepada public lewat media social, bisa dimaknai sebagai upaya para kandidat Gubernur DKI Jakarta dalam mengukuhan makna kebersamaan. Dalam agenda demokrasi, tubuh adalah ekspresi politik. Tubuh adalah bahasa populis untuk menggerakkan public. Ekspresi perdamaian dan persahabatan harus dipertontonkan para kandidat kepada public agar Pilkada langsung dan serentak tidak menjadi arena saling menambah permusuhan.

Kita di luar DKI Jakarta, mahfum bahwa semua ekspresi dan laku yang ditunjukkan kandidat Gubernur DKI Jakarta lewat foto selfi itu, menangkap imajinasi kebersamaan yang tetap dijaga meski secara politik bertarung.  Pertarungan politik bukan sebuah peperangan, bukan pertempuran hidup dan mati. Pertarungan politik menimbulkan ketegangan luar biasa, tapi bukan berarti setiap petarung harus membabi buta.

Di sinilah perkara kemulian itu menjadi penting. Setiap kandidat peserta Pilkada langsung dan serentak harus menjadi sosok anutan perihal “pengendalian diri”. Mereka mesti menjadi tauladan bagi para pendukungnya. Mereka harus menjadi mulia.

Kemenangan dalam politik itu memang penting. Tapi, yang lebih penting lagi, bisa menjaga situasi tetap kondusif.  Maka semua kandidat harus mengutamakan rekonsiliasi. Mereka bertarung tetapi tidak bermusuhan. Mereka membuat strategi untuk memenangi pertarungan, tetapi tidak membuat hal itu jadi sumber pertikaian.

Mari kita dorong agar Pilkada langsung dan serentak menjadi momentum penyembuhan ingatan traumatic masa lalu. Demokrasi harus menjadi cara yang paling bagus untuk memilih pemimpin.*

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda