PILKADA
langsung dan serentak, yang digelar pada 9 Desember 2015 lalu, termasuk sukses meskipun sesuatu yang baru di
negeri ini. Publik memberi puja-puji
kepada semua stake holder yang
mendorong sukses itu.
Meskipun
begitu, kita tidak bisa mengabaikan
bahwa selalu ada segelintir orang yang senantiasa merawat ingatan-ingatan
“traumatik” dan sinisme atas pelaksanaan pesta demokrasi yang pernah digelar di
negeri ini. Mereka tidak percaya pemilihan umum, tak mau datang alias golput. Ingatan memang tak harus digerus dari
kenangan, apalagi bila ada referensi yang bisa menjadi acuan dari betapa
bobroknya sistem demokrasi di negeri ini di masa lalu.
Tapi,
tentu, sikap optimis tidak boleh dikesampingkan. Ketika mulai banyak orang
memiliki kesadaran dan kepekaan luar biasa atas pentingnya pemilihan umum
sebagai sebuah mekanisme memilih calon pemimpin, kita pun perlu menjaga
optimism itu. Kita juga bisa mendapatkan pemimpin seperti yang diharapkan semua
orang, seorang pemimpin yang negarawan, orang yang mau dan bersedia mengabdikan
diri untuk melayani kepentingan rakyatnya.
Dengan
begitu, kita harus memaklumi bahwa kekeliruan dan kelemahan adalah sebuah
keniscayaan dalam kerja manusia.
Makanya, manusia selalu berikhtiar bisa melakukan segala sesuatu dengan
sempurna, sehingga berbagai upaya dilakukan untuk mendekati kesempurnaan itu.
Cara yang segera ditempuh, tidak lain, belajar dari kekurangan yang pernah
dilakukan.
Optimisme
harus dimiliki menghadapi Pilkada langsung dan serentak di beberapa kabupaten
di Provinsi Lampung, yang akan digelar pada April 2017 mendatang. Belajar dari kekurangan saat Pilkada 2015,
terutama lewat evaluasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan para intelektual serta akademisi, bukan tidak
mungkin kesempurnaan akan diraih. Segala kelemahan, kekurangan, dan
ketidakpuasan, semoga tidak kita temukan lagi pada Pilkada yang akan datang.
Tentu saja
sikap optimis tidak bisa berdiri sendiri. Perlu dukungan sikap-sikap lain,
seperti mentalitas budaya yang gemuk dengan hasrat dan harapan untuk
mendapatkan hasil yang baik dengan cara-cara yang baik. Kita harus memiliki gloria—martabat
dalam berpolitik. Moralitas dan nilai-nilai
social perlu dipelihara dan dirawat.
Kita bisa
mengutif nasehat Niccolo Machiavelli pada beberapa abad lalu. ”Membunuh sesama
warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama,” kata dia, ”tidak
dapat disebut kegagahan, tapi cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan,
meskipun bukan memenangi kemuliaan.”
Kita garis
bawahi tentang memenangi kemulian. Tentu
saja soal ini lebih ditujukan kepada para kontestan.
Mereka
yang menjadi calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pilkada langsung dan serentak,
seharusnya menjalankan apa yang disebut
politik bermartabat. Politik seperti ini tak digerakkan semata-mata oleh
nafsu pencarian kekuasaan.
Martabat
memancar dari tindakan otentik yang
penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter. Kemuliaan membuat kontestan dihormati rakyatnya.
Dalam
masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai
lini, entah itu di pemerintahan, DPR, entah peradilan. Rumus ”jilat atas, injak
bawah” cukup merasuki birokrasi, perusahaan, dan organisasi dalam masyarakat
kita. Politik uang para kandidat selama Pilkada menunjukkan kenyataan vulgar
bahwa politik itu sendiri tidak lagi merupakan tindakan otentik yang berdaulat,
tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
Martabat
dalam politik harus dijaga. Kita punya banyak referensi tentang pemimpin yang
menjaga martabat politiknya. Pada Pilpres 2014 lalu, misalnya, public
menyaksikan aneka peristiwa politik di Indonesia memunculkan adegan akrab dan
hangat: bersalaman. Pasang
capres-cawapres sering bersalaman saat tampil dalam acara-acara di KPU dan
tempat perdebatan.
Kita
mendapati ekspresi kebersamaan pada gesture yang diperlihatkan para kandidat
pemimpin bangsa. Sebab, bersalaman memiliki sejarah kultural yang panjang
sebagai manifestasi dari etika politik yang mengajarkan bahwa bersalaman adalah
representasi pertalian atau relasi, bermakna perkenalan, perdamaian,
rekonsiliasi, dan solidaritas. Adegan bersalaman antara Joko Widodo-Jusuf Kalla
dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah ekspresi politik beradab, acuan
keteladanan dalam berdemokrasi.
Para
kandidat Gubernur DKI Jakarta, mempertontonkan keakraban di antara mereka
dengan selfi seusai mendapaftar di KUP DKI Jakarta. Para kandidat lebur dalam
tawa dan senyum sumringah. Terlihat
sangat tulus. Padahal mereka sama-sama berhasrat memenangi Pilkada DKI Jakarta,
tapi mereka tidak pernah mempertontonkan permusuhan demi menguber kekuasaan.
Berfoto
bersama, mengembangkan senyum sumringah, dan dipertontonkan kepada public lewat
media social, bisa dimaknai sebagai upaya para kandidat Gubernur DKI Jakarta
dalam mengukuhan makna kebersamaan. Dalam agenda demokrasi, tubuh adalah
ekspresi politik. Tubuh adalah bahasa populis untuk menggerakkan public.
Ekspresi perdamaian dan persahabatan harus dipertontonkan para kandidat kepada
public agar Pilkada langsung dan serentak tidak menjadi arena saling menambah
permusuhan.
Kita di
luar DKI Jakarta, mahfum bahwa semua ekspresi dan laku yang ditunjukkan
kandidat Gubernur DKI Jakarta lewat foto selfi itu, menangkap imajinasi
kebersamaan yang tetap dijaga meski secara politik bertarung. Pertarungan politik bukan sebuah peperangan,
bukan pertempuran hidup dan mati. Pertarungan politik menimbulkan ketegangan
luar biasa, tapi bukan berarti setiap petarung harus membabi buta.
Di sinilah
perkara kemulian itu menjadi penting. Setiap kandidat peserta Pilkada langsung
dan serentak harus menjadi sosok anutan perihal “pengendalian diri”. Mereka
mesti menjadi tauladan bagi para pendukungnya. Mereka harus menjadi mulia.
Kemenangan
dalam politik itu memang penting. Tapi, yang lebih penting lagi, bisa menjaga
situasi tetap kondusif. Maka semua
kandidat harus mengutamakan rekonsiliasi. Mereka bertarung tetapi tidak
bermusuhan. Mereka membuat strategi untuk memenangi pertarungan, tetapi tidak
membuat hal itu jadi sumber pertikaian.
Mari kita
dorong agar Pilkada langsung dan serentak menjadi momentum penyembuhan ingatan
traumatic masa lalu. Demokrasi harus menjadi cara yang paling bagus untuk memilih
pemimpin.*
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda