Kritik untuk Komisi Kepolisian Nasional
SUKAR dibantah jika disebut Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) punya andilmembuat rivalitas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) versus KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) semakin menajam selama sebulan terakhir. Andil itudisebabkan Kompolnas mengajukan nama Komjend Pol Budi Gunawan sebagai calonKapolri kepada Presiden Joko Widodo.
Sebagai lembaga yang merupakan representasimasyarakat sipil dalam rangka turut mengatur kepolisian agar terpenuhi prinsippemolisian demokratis, Kompolnasseharusnya peka mendengarkan protes publik karena kompetensi BG tak layaksebagai calon Kapolri; nama BG terkait dengan megaskandal rekening gendutPolri.
TetapiKompolnas menutup kuping atas protes publik, tetap mengajukan nama BG denganalasan memenuhi kriteria yang telah ditetapkan UU No.2/2002. Dalam Pasal Pasal 11 butir 6 disebutkan,calon Kepala Polri adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dankarier. Dengan begitu, Kompolnas memakai kriteria kepangkatan, jabatan, sisamasa dinas, pengalaman memimpin Polda tipe A, dan juga angkatan semasa belajardi Akademi Kepolisian.
Nama BGdiajukan Kompolnas bersama sejumlah perwira tinggi lainnya, dan Jokowi kemudianmemilih BG sebagai calon tunggal Kapolri. Pilihan Jokowi ini sudah bisaditebak, karena BG memiliki sejarah kedekataan dengan PDI Perjuangan, partaipolitik yang kini menjadi pemegang kekuasaan negara. Artinya, sehebat apapunkopetensi calon-calon Kapolri yang diajukan Kompolnas, BG selalu akan menjadipilihan Presiden.
Lainsoal jika Kompolnas tidak mengajukan BG sebagai calon Kapolri dengan berbagaipertimbangan terhadap kompetensi BG yang diinformasikan publik. Tapi, Kompolnastidak akan menempuh jalan itu karena data dan informasi yang dimilikinyatentang para perwira tinggi calon Kapolri sangat minim mengingat kerja samaKompolnas dan Polri memburuk di era Kapolri Sutarman.
Kasushukum yang menjerat Adrianus Meliala, salah satu bukti buruknya hubungan itu.Akibatnya, kesepakatan bersama antara Polri dan Kompolnas No B/24/IV/2012 danNo 01/IV/2012/Kompolnas tentang Kerja Sama dan Hubungan Tata Cara KerjaKepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kompolnas tertanggal 5 April 2012,tidak berjalan lancar.
Dalamsituasi seperti itu, seharusnya Kompolnas memilih posisi sebagai representasipublik dalam mengawasi Polri agar lebih mandiri, professional, dandemokratis. Kompolnas seharusnya memihakpada kepentingan publik dengan mencoret nama BG. Tapi Kompolnas tidak melakukanhal itu, karena lembaga ini mengandaikan pergatian Kapolri sebagai momentumuntuk perbaiki hubungan yang tidak harnomis dengan Polri.
PilihanKompolnas terhadap sosok BG yang sejak lama sudah dikait-kaitkan dengan kasuskorupsi, seakan-akan tidak ada sosok perwira tinggi Polri yang betul-betulbersih korupsi. Pilihan ini pantas disayangkan karena Kapolnas tidakberorientasi pada munculnya sosok pemimpin Polri yang mampu membawa institusiPolri menjadi lembaga yang diinginkan publik.
Dengankata lain, Kompolnas tidak melakukan evaluasi atas kinerja semua para perwiratinggi yang berpotensi menjadi calon Kapolri. Evaluasi tak bisa dilakukan tanpamemiliki kewenangan untuk masuk ke dalam internal Polri. Jika pun punyakewenangan, Kompolnas tidak akan bisa melakuka evaluasi dalam waktu singkat.
Biladalam waktu singkat Kompolnas bisa mengumpulkan nama-nama perwira tinggi calonKapolri untuk diajukan agar dipertimbangkan Presiden, bisa dibayangkan betapakuat subyektivitas mempengaruhi keputusan Kompolnas. Pasalnya, rekam jejak perwira tinggi Polri sangatpanjang, mustahil menelusuri satu per satu jejak itu dalam waktu singkat. Dengan kata lain, Kompolnas memakai kriteriatambahan yang dikaitkan dengan dinamika sosial politik dalam negeri. *
Budi Hatees | KORAN TEMPO edisi 25 Februari 2015
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda