Dari Rahim Mana Sebaiknya Bupati Tapsel 2015-2020
Tulisan
ini menyajikan hasil penelitian yang digelar Sahata Institute sejak Juni 2013
sampai Juni 2014. Berangkat dari sejumlah pertanyaan tentang dari rahim apa
seharusnya Bupati Tapsel periode 2015-2020 dilahirkan, karena rahim
pasar/bisnis yang melahirkan Ongku P. Hasibuan dan rahim partai politik (Partai
Golkar) yang melahirkan Syahrul M. Pasaribu, ternyata tidak membawa perubahan
signifikan pada dinamika pembangunan daerah.
Banyak
indikator yang bisa diajukan untuk menyebut pembangunan daerah tidak
berdinamika ketika Bupati Tapsel lahir dari rahim pasar/bisnis dan rahim partai
politik. Salah satunya adalah soal ketidakmampuan Ongku P. Hasibuan maupun
Syahrul M. Pasaribu dalam memindahkan ibu kota Kabupaten Tapsel dari Kota
Padangsidempuan ke Kota Sipirok. Artinya,
selama tujuh tahun jika dihitung sejak tahun 2007 sampai 2014, disengaja atau tidak telah terjadi perlawanan
terhadap konstitusi negara yang mengamanatkan pemindahan ibu kota Kabupaten
Tapsel dari Kota Padangsidempuan ke Kota Sipirok.
Dampak yang lebih subtansial terasa pada tidak
terpenuhinya amanat UU
No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Public, sehingga peran dan fungsi negara
yang dijalankan birokrasi pemerintahan daerah kehilangan situs aksiologinya
sebagai pelayan masyarakat. Sebab itu,
rahim pasar/bisnis dan partai politik bisa disebut gagal menyelesaikan sekian
banyak amanat reformasi di Kabupaten Tapsel, sehingga perlu mencari alternatif
rahim lain untuk melahirkan calon Bupati Tapsel periode 2015-2020.
Agenda terpenting Bupati Tapsel periode
2015-2020 adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Padangsidempuan ke
Kota Sipirok sebagai amanat konstitusi negara.
Sebab itu, dibutuhkan Bupati Tapsel periode 2015-2020 yang punya niat
baik untuk merealisasikan agenda tersebut pada tahun pertama, sehingga pada
tahun kedua dan seterusnya bisa lebih focus menggeliatkan dinamika pembangunan
daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada banyak alternative “rahim” yang bisa
melahirkan Bupati Tapsel periode 2015-2020 seperti: rahim birokrasi, pendidikan (intelektual),
partai politik, pasar/bisnis, militer,
organisasi massa (aktivis), dan daerah atau
kecamatan/kelurahan/desa. Dari sekian
banyak rahim itu, hasil penelitian Sahata Institute yang dilakukan diseluruh
kecamatan yang ada di Kabupaten Tapsel, memperlihatkan
sentimen positif publik perihal ”rahim”
daerah sebagai jalur utama yang layak diperhitungkan menjadi Bupati Tapsel
periode 2015-2020.
Sekitar 75
persen responden setuju agar tokoh-tokoh daerah, dari kecamatan manapun di Kabupaten
Tapsel, harus maju sebagai calon Bupati
Tapsel periode 2015-2020. Alasan publik
lebih dikaitkan dengan latar belakang kultural masyarakat seluruh kecamatan di
Kabupaten Tapsel yang merupakan sebuah diaspora dari Batak Angkola, dimana
antara masyarakat di sebuah kecamatan memiliki kohesivitas yang tinggi dengan
masyarakat di kecamatan lain karena ditautkan oleh ikatan kultural sebagai
sesama masyarakat Batak beradat Angkola. Adanya ikatan-ikatan sosial karena
asimilisasi yang disebabkan pernikahan, membuat kohesivitas yang ada terjalin
sebagai ikatan kekeluargaan.
Secara
teoritik, sentimen positif publik sejalan dengan konsepsi ideal desentralisasi
sebagai semangat reformasi. Artinya,
reformasi mengamanatkan agar mereka yang
seharusnya menjadi Bupati Tapsel adalah orang yang sudah teruji dan terlatih kemampuannya pada skala tertentu
(kecamatan/kelurahan/desa), sehingga
ketika ingin naik ke tingkat daerah (bupati) sudah punya basis yang jelas dan
tegas. Ketika menjadi Kepala Daerah,
mereka tinggal meningkatkan skala pemikiran dan gagasan. Jika selama ini
terlatih berpikir dalam lingkung local kecamatan/kelurahan/desa, ketika jadi
Kepala Daerah harus meningkatkan skala menjadi local kabupaten.
Selama ini,
mayarakat selalu dicekoki dengan kebohongan, bahwa para calon Kepala Daerah
yang berasal dari rahim pasar/bisnis, intelektual, militer, birokrasi, partai
politik, organisasi kemasyarakatan, pasti sudah bisa menjadi Bupati (ready made politician). Padahal, nyaris
tidak ada seorang pun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
dipastikan sudah bisa jadi Kepala
Daerah. Kecuali para incumbent, maka setiap orang yang ingin menjadi Kepala
Daerah sesungguhnya masih perlu melalui proses pelatihan, penguatan, dan
pemahaman (training ground) sebelum
akhirnya benar-benar piawai. Dengan kata lain, jika Kepala Daerah yang lahir
dari rahim kecamatan/kelurahan/desa adalah figure yang terlatih, besar
peluangnya untuk sukses mengelola politik/pemerintahan pada level kabupaten.
Tentu saja
pemimpin level kecamatan/kelurahan/desa tidak gampang untuk bisa maju sebagai
calon Bupati Tapsel. Pasalnya, demokratisasi politik di negeri ini memberi
peran sentral terhadap partai politik untuk mengekalkan sentralisme politik. Intervensi
elite pusat dari partai politik sangat tinggi. Pertimbangan utama figur calon
Kepala Daerah adalah kalkulasi riil politik, selain juga hasil transaksi di
pasar gelap kekuasaan. Nasib rakyat
hanya untuk alasan, dibicarakan tetapi rakyat dikorbankan.
Dalam situasi
seperti ini, hukum besi oligarki mewujud.
Posisi Kepala Daerah dicaplok dan diklaim semata untuk figure dari rahim partai politik dan para elite lama.
Akses ke tubuh kekuasaan menjadi sukar.
Kekuasaan ditetapkan sebagai bukan mainan dari orang-orang di luar
partai politik atau elite lama, sehingga rahim kecamatan/kelurahan/desa
mustahil akan tampil sebagai Kepala Daerah.
Tapi sengkarut demokrasi ini bukan tak bia diluruskan. Pasalnya, ada regulasi pemilu yang memberi
peluang bagi lahirnya Kepala Daerah dari kantung independen. Meskipun begitu, soal ini sangat tergantung
pada rakyat sebagai pemilih. *
1 #type=(blogger)
Good luck for us...
ReplyDeleteTerima kasih atas pesan Anda