Langkah Mundur DPR soal Polri
DPR RI meragukan hak prereogatif Presiden Joko Widodo terkait pemilihan Kepala Kepolsian Republik Indonesia (Kapolri). Keraguan itu berdampak serius terhadap penetapan Kapolri defenitif dalam waktu dekat.
Keraguan itu membuat DPR mengembalikan surat Presiden Joko Widodo bernomor: R/16/PRES/02/2015 tanggal 18 Februari 2015 tentang Permohonan Pengangkatan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Kapolri. Pengembalian surat itu untuk meminta penjelasan dari Jokowi tentang pencoretan nama Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.
Bagi DPR, alasan Jokowi membatalkan Budi Gunawan yang sudah mengikuti uji kelayakan dan kepantasan di DPR sebagai calon Kapolri itu, gugur dengan sendirinya pasca keputusan sidang praperadilan. Budi Gunawan dinilai DPR masih pantas jadi Kapolri, dan Jokowi tidak perlu mengajukan Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru.
Kita berharap DPR segera melakukan uji kelayakan dan kepantasan terhadap Badrodin Haiti agar negeri ini memiliki Kapolri defenitif. Tapi legislatif justru mempersoalkan kebijakan Jokowi sebagai persoalan politik.
Legislatif melakukan hal itu untuk menguji “tafsir terbaru” terhadap pasal dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri yang menyebut memilih Kapolri merupakan hak prerogative Kepala Negara. Bagi legislatif, ketentuan dalam Pasal 14 (1) UU No: 2/2002 tentang Polri itu, tidak secara tegas mengakui hak istimewa Presiden itu karena harus meminta persetujuan DPR.
DPR menafsirkan hak prerogatif Presiden merupakan hak istimewa Kepala Negara yang diatur dalam konstitusi negara. Hak itu tidak dibagi dan tidak bersisa. Hak prerogratif berarti segala kewenangan ada di tangan Kepala Negara tanpa persetujuan dari lembaga-lembaga lainnya.
Sebab itu, hak prerogatif Jokowi dalam pengangkatan Kapolri dianggap tidak ada. Sebab, siapa pun nama yang ditetapkan Jokowi sebagai Kapolri, orang itu harus mendapatkan persetujuan DPR melalui proses proses uji kelayakan dan kepantasan.
Persetujuan DPR sesungguhnya tak mengikat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah memilih Kapolri dan tidak melibatkan DPR di dalam proses uji kelapakan dan kepantasan. Tahun 2010 lalu, SBY menetapkan dan melantik Jenderal Timur Pradopo sebagai Kapolri, padahal DPR baru saja meluluskan Komjen Pol Nanan Sukarna sebagai calon Kapolri melalui uji kelayakan dan kepantasan.
Nama Timur Pradopo tidak pernah diajukan sebagai calon Kapolri. Nama itu muncul pada detik terakhir di luar dua nama yang diajukan untuk mengikuti uji kelayakan dan kepantasan di DPR pada 2010 lalu. Tanpa persetujuan DPR, Timur Pradopo tetap menjadi Kapolri hingga akhirnya diganti lagi oleh SBY dengan memilih Jenderal Pol Sutarman.
Persetujuan DPR terkait calon Kapolri Badrodin Haiti tidak mutlak harus dituruti Jokowi. Tapi tidak mudah bagi Jokowi mengambil keputusan ini, karena penolakan DPR mendapat pengaruh kuat dari PDI-P. Bahkan, PDI-P sebagai motor penggerak Koalisi Indonesia Hebat (KIH), berhasil meyakinkan Koalisi Merah Putih (KMP) untuk mendesak Jokowi melantik Budi Gunawan dengan alasan status hukumnya sudah bersih di praperadilan. KMP sendiri merasa hasil kerja mereka saat melakukan uji kelayakan dan kepantasan terhadap Budi Gunawan harus dihargai, sedangkan KIH yang dipimpin PDI-P sejak awal sangat mengharapkan Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Dilihat dari pilihan kebijakan yang dibuat selama ini, Jokowi sesungguhnya tidak bisa bersikap berseberangan dengan kehendak KIH. Bukan karena Jokowi diusung koalisi parpol itu, tetapi karena Megawati Soekarnoputri sangat mendambakan Budi Gunawan bisa memegang posisi puncak di lingkungan Korps Bhayangkara.
Sejak awal Jokowi tidak bisa menolak keinginan Megawati Soekarnoputri itu, dan tetap memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri meskipun publik menolak pilihan itu karena mantan ajudan Megawati Soekarnoputri itu terindikasi terlibat kasus rekening gendut Polri.
Dampak pilihan Presiden Jokowi itu menjadi alasan utama KPK mengumumkan status tersangka Budi Gunawan. Penetapan status tersangka itu ternyata memang keliru berdasarkan putusan siding praperadilan, tetapi tidak berarti posisi Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi akan hilang dengan sendirinya. Kasus dugaan korupsi di lingkungan Polri dengan tersangka Budi Gunawan malah dilimpahkan KPK ke kejaksaan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.
Apa yang dilakukan DPR adalah langkah mundur soal Kapolri. Tapi DPR ingin Presiden Jokowi jatuh di mata publik karena dihadapkan pada dilema kasus Budi Gunawan. Permintaan penjelasan pembatalan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, sebetulnya tidak subtansial. Pasalnya, tanpa penjelasan dari Presiden Jokowi, sesungguhnya legislatif sudah memahami duduk perkara yang terjadi. Cuma, DPR membayangkan betapa Jokowi akan kembali berada dalam tekanan, bingung memilih apakah akan tetap memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri atau memilih melantik Badrodin Haiti.
Presiden Jokowi bisa saja menghindar dari dilema ini dengan dua skenario. Pertama, Jokowi kembali ke UU tentang Polri dan memposisikan dirinya sebagai entitas paling bertanggung jawab untuk menentukan siapa yang harus menjadi Kapolri. Secara konstitusi, Presiden tidak harus melibatkan DPR soal pilihan ini sehingga tidak perlu memenuhi keinginan DPR sekaitan perubahan redaksional surat bernomor: R/16/PRES/02/2015 tanggal 18 Februari 2015.
Kedua, Jokowi bisa saja tidak memilih Budi Gunawan maupun Badrodin Haiti, tetapi memilih calon lain sebagai Kapolri. Pilihan ini bisa dilakukan Jokowi karena konstitusi membenarkan hal itu, dan DPR tidak punya dasar hukum untuk mempersoalakan Kepala Negara. Memilih calon lain di luar nama itu akan lebih tepay mengingat masa tugas Budi Gunawan maupun Badrodin Haiti sudah tak lama lagi.
Namun demikian, semua ini tergantung pada Presiden Jokowi. Setiap pilihan yang dibuat memiliki resiko yang berbeda. Pilihan berpihak pada parpol akan “dimusuhi” publik, sedang pilihan lain akan “dimusuhi” partai politik.***
BUDI HATEES | Analisa edisi Senin, 6 April 2015
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda