Aksi KPK Melucuti Polri

by - December 10, 2012

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai bertaji. Setelah menggelandangkan seorang jenderal polisi yang masih aktif, Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, ke rumah tahanan, giliran seorang menteri, Andi Alfian Mallarangeng, jadi tersangka kasus fasilitas olahraga Hambalang.

Sudah lama publik mendambakan taji yang tajam dari KPK mengenai sasaran yang tepat. Tapi, baru kali ini taji itu mengenai sasaran dan langsung menggemparkan dua lembaga negara, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia serta Kepolisian Republik Indonesia.

Namun, cukupkah hanya dua lembaga negara itu yang dibuat gempar?

Bukankah KPK punya peluang untuk lebih menggemparkan seandainya berani bersikap dalam kasus Bank Century. Karena Wakil Presiden Budiono terkait megaskandal yang menjadi perhatian publik itu, yang oleh Ketua KPK Abraham Samad malah digiring menjadi persoalan politik pemakzulan seorang Wakil Presiden?

Tentu saja tidak cukup. Meski begitu, untuk sementara upaya KPK layak kita apresiasi, terutama karena penahanan Irjend (Pol) Djoko Susilo dan Andi Alfian Mallaranggeng dilakukan jelang satu tahun Abraham Samad memimpin KPK. Itu berarti, Ketua KPK Abraham Samad yang dilantik Presiden Soesilo Bambang Yudoyono 16 Desember 2011 lalu, butuh waktu tak sampai setahun untuk menggulung elite yang korup.

Karena itu, penahanan Sang Jenderal dan penetapan Sang Menteri jadi tersangka menjadi semacam teriakan bahwa Abraham Samad memang sosok yang cocok untuk memimpin KPK. Tapi, tunggu dulu, simpul semacam ini terlalu cepat. Sebab, kinerja KPK selama setahun ini hanya bagus dalam soal menetapkan tersangka dan menahan tersangka. Tapi, kurang memuaskan publik dalam menyelesaikan perkara korupsi.

Cerita tentang Muhammad Nazaruddin, yang jadi tersangka dan dipenjara, masih belum jelas akhirnya. Drama penangkapan bekas bendahara Partai Demokrat itu mampu menjerat tersangka-tersangka lain, membuat megaskandal Wisma Atlet itu menjadi buah bibir publik. Bahkan, sejumlah pengamat meragukan kemampuan Abraham Samad mengungkap perkara yang terkait dengan pusaran kekuasaan ini, setidaknya mencari kebenaran atas keterlibatan sejumlah elite yang namanya disebut-sebut Nazaruddin.

Sebab itu, tidak berlebihan bila soal Sang Jenderal dan Sang Menteri ini tidak perlu dibesar-besarkan karena bukan kasus keduanya yang layak jadi indikator ketajaman taji KPK. Lain halnya jika KPK mampu mengungkapkan bahwa korupsi di lingkungan Mabes Polri berkaitan dengan realitas bahwa institusi Polri selaku penegak hukum sesungguhnya tak bersih dari korupsi. Apakah penyidikan dan penyelidikan KPK atas korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri mampu mengungkap motif yang sesungguhnya?

Pertanyaan ini berangkat dari asumsi umum bahwa Direktorat Lalu Lintas adalah stakeholderMabes Polri yang paling banyak menyumbang untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri. Terutama yang berasal dari pelayanan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010, Polri berhak mengelola 90 persen dari total dana PNPB yang diperolehnya, dan tinggal melaporkan penggunaannya untuk masuk dalam APBN.

Tapi, transparansi penggunaan dana PNBP tak terlalu jelas. Publik tidak pernah tahu soal dana PNBP ini, karena publik hanya paham bahwa Polri mendapat bagian dari APBN untuk kegiatan-kegiatan operasional dan gaji personelnya. Polri sendiri acap mengeluhkan, jatah APBN hanya bisa dibagi tak lebih 10 persen untuk kegiatan operasional. Artinya, Polri selalu kekurangan dana operasional.

Jika demikian, lantas dana PNBP itu dialokasikan ke mana? Publik tidak pernah paham soal itu. Pemerintah sendiri, melalui lembaga-lembaga audit negara, hampir tak pernah terdengar melakukan audit terkait penggunaan dana PNPB sebesar 90 persen setiap tahun. Padahal, total dana PNPB Polri sangat besar, mencapai triliunan rupiah tiap tahun. Untuk tahun 2012, Polri mengelola dana PNBP sebesar Rp3,4 triliun.

Lantaran transparansi itu tidak jelas, bukan mustahil Polri menggunakan dana itu untuk hal-hal yang tak terukur. Bisa jadi beberapa persen di antara dana PNBP itu dialokasikan untuk feepara pejabat di lingkungan Polri. Sebab itulah, Polri akan selau menempatkan SDM di lingkungan Direktorat Lalu Lintas sebagai sosok "pengumpul dana".

SDM yang mampu membuat target sumbangan PNBP meningkat setiap tahun, sekaligus juga memiliki kemampuan mengelola proyek-proyek di lingkungan Polri yang akan dibiayai dengan dana PNBP itu. Irjend (Pol) Djoko Susilo adalah perwira tinggi berprestasi, salah seorang "bintang" Akademi Polisi, sehingga menjadi sosok yang pantas untuk posisi Kepala Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri.

Tapi, kita tak tahu persis soal dana-dana yang dikumpulkan itu, KPK harus mampu mengungkapkannya dalam penyidikan dan penyelidikan dengan kasus korupsi mobil simulator SIM sebagai batu loncatannya. Jika KPK mampu mengungkap hal itu, mau tak mau kita harus memberi aplaus. Apalagi penahanan Sang Jenderal sudah kadung menjadi preseden buruk bahwa Polri telah gagal menjalankan agenda reformasi birokrasi Polri (RBP), yang kini sudah memasuki gelombang II. Gagal karena urusan internalnya: membersihkan institusi Polri dari keberadaan aparat yang korup, tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga KPK harus turun tangan.

Barangkali, KPK memang menilai Polri "masuk angin" dalam menyelesaikan kasus korupsi di lingkungan internalnya. Bila penilaian itu benar, sudah seharusnya KPK lebih intensif dalam menyelesaikan perkara korupsi di lingkungan Polri. Selama ini banyak kasus korupsi melibatkan petinggi Polri, karena transparansi penggunaan dana di lingkungan Polri nyaris tak pernah diperiksa.

BPK dan berbagai lembaga audit keuangan negara seakan-akan punya keengganan untuk mengaudit dana-dana Polri, terutama berkaitan dengan dana-dana pihak ketiga yang masuk ke dalam kas Polri untuk program-program tertentu seperti: pembangunan ragam fasilitas di lingkungan Polri.

Setahun Abraham Samad menjadi pemimpin KPK, mesti diakui bahwa prestasinya yang paling menonjol adalah "menelanjangi" institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang "masuk angin". Publik mendukung upaya KPK, karena baru KPK yang bisa diandalkan untuk memuaskan rasa benci publik terhadap ragam kemunafikan yang menjadi budaya dalam sistem manajemen pelayan di lingkungan Polri. n


Jurnal Nasional | Senin, 10 Dec 2012

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda