Lagi-Lagi Polemik

by - December 08, 2012

APRESIASI SASTRA, banyak cara. Bisa melalui essay, bisa melalui artikel sastra yang membahas sebuah karya sastra, bisa pula melalui kritik. Sebenarnya, kritik terhadap sebuah karya sastra, adalah bagian yang paling efektif untuk mempromosikan karya sastra itu sendiri.
Sejak bulan Ramadhan, terjadi polemik sengit polemik yang bermula dari Omong-Omong Sastra (OOS) yang membicarakan karya Hasan Al Banna. Damiri Mahmud menulis tentang karya itu dalam sebuah kritik yang mermbangun, tentunya. Tulisannya ditanggapi oleh Mihar Harahap, Yulhasni, T. Agus Khaidir dan hari ini justru Budi P Hatees, ikut nimbrung.

Seperti kebiasaan, penulis kritik tetap akan diberikan hak terakhir. Polemik antara Mihar Harahap dan Damiri Mahmud, hak terakhir tetap diberikan kepada Damiri Mahmud. Hari ini muncul lagi tuliosan Mihar Harahap, berjudul Tak Mengaku Guru, Tapi Menggurui, Tak Apalah. Redaksi membatasi polemik ini, tulisan Mihar Harahap kali ini adalah yang terakhir dan redaksi tetap memberi hak kepada Damiri Mahmud sebagai tulisan terakhir. Damiri Mahmud berhak menanggapi tulisan Mihar Harahap yang muncul hari ini.

Damiri Mahmud juga diberi hak membantah, meluruskan atau membalas tulisan yang disampaikan oleh T. Agus Khaidir dan Budi P Hatees. Kepada T. Agus Khaidir diberikan kesempatan dua kali menanggapinya demikian juga Budi P Hatees, dan polemik tetap akan ditutup oleh Damiri Mahmud.

Ternyata di bulan Ramadhan, kritik, kemudian munculnya polemik, sudah mengangkat para pesastra dari sumatera Utara. Polemik yang menghidupkan khazanah sastra tanah air dari Sumatera Utara ini, diikuti oleh oleh para pesastra dari seluruh Indonesia bahkan oleh anggota KSI yang ada di Belanda, Australia dan Kairo. Bukan itu saja, SMS dan percakapan di FB dan chatting Yahoo Massanger dengan para pencinta sastra dan sastrawan dari seluruh Indonesia juga dari Malaysia, Singapura, Brunai Darusalam, Phlipina, menjadi hangat, Mereka mengikuti polemik ini via internet.

Tanggapan mereka sangat positif. Sumatera Utara yang dikenal tegas dan keras, tercemin dalam polemik yang indah. Ini adalah kali kesekian polemik di Rebana yang terus menerus diikuti oleh rekan-rekan sastrawan dari berbagai penjuru Indonesia bahkan mancanegara.

Sekali lagi perlu kami sampaikan, kalau KSI punya program membicarakan karya-karya sastra intern (khusus anggota KSI) dan karya sastra ekstern yang bukan angota KSI. Semua tulisan dari berbagai media di Indonesia dikirimkan ke KSI pusat, kemudian membahasnya. Dalam triwulan kali ini, Damiri Mahmud dipilih sebagai kritikus sastra dan Eka Handayani Ginting sebagai cerpenis dari Sumatera Utara yang patut diperhitungkan. Untuk intern KSI, rasanya tak layak untuk kami tuliskan, karena itu adalah urusan intern KSI.

Ketika penulis baru menjabat sebagai Ketua KSI Medan tahun 2005, karya-karya Hasan Al Banna yang kita kirimkan ke KSI Pusat, langsung mendapat tanggapan. Sebagai cerpenis kaum muda dari beberapa provinsi, dari Medan Hasan Al Banna patut diperhitungkan, sama seperti keberadaan Eka Handayani Ginting yang masih sangat muda, untuk Indonesia dia termasuk cerpenis yang patut diperhitungkan. Tahun 2005, dari sisi intern, Maulana Satria Sinaga juga seorang penyair yang patut diperhitungkan dari beberapa penyair muda yang ada di Indonesia. Setelah sekian tahun dari apa yang dinilai oleh KSI, Hasan Al Banna muncul di Kompas, kemudian di Horizon, demikian juga Maulana Satria Sinaga. Nama mereka mulai merambat ke atas.

Kali ini polemik di Rebana yang mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan di Indonesia, termasuk dalam berbagai diskusi di Jakarta, patut pula kita syukuri. Penulis lebih bersyukur lagi, karena Damiri Mahmud, sudah mulai memberikan perhatiannya kepada penulis Sumatera Utara, termasuk untuk memberikan kritiknya terhadap kaum muda. Hal ini sangat langka dilakukan oleh Damiri Mahmud. Tahun 1970-an sampai 1980-an, Damiri mahmud dan rekan-rekan seangkatannya, sangat merasa riskan memberikan kritik terhadap kaum muda. Muncullah perlawanan kami dari kaum muda ketika itu terhadap kaum "tua".

Kalau diperhatikan, seangkatan Damiri Mahmud di Sumatera Utara, walau Damiri Mahmud sangat enggan memberikan kritik dan mengangkat kaum muda dari karya mereka, menurut penulis, Damiri Mahmud adalah orang yang paling netral. Selain Damiri Mahmud, Herman KS, juga orang yang mau menuntun dan memberikan semangat dan menanggapi tulisan kaum muda.

Terus terang, dari mereka yang seangkatan, Damiri Mahmud memang seorang yang paling brilyan dibandingkan dengan teman-temannya yang seangkatan. Tidak suka memuji dirinya, tapi secara tak langsung harus diakui, Damiri Mahmud juga sebenarnya mau menuntun kaum muda secara tersamar. Sebagai seorang kritikus, ketika itu banyak kaum muda menyayangkan, kenapa Damiri Mahmud hanya mau menanggapi karya-karya orang luar Sumatera Utara.

Kini nama Damiri Mahmud, mulai lagi dibincangkan orang di Jakarta, setelah kasus antologi cerpen yang pernah mau diterbitkan oleh DKJ, namun tak jadi, beberapa tahun lalu. Dengan polemik ini, orang-orang di Jakartra juga di Jawa, mulai lagi mengingat Damiri Mahmud. Orang mulai lagi terkenang pada buku yang ditulis oleh Damiri Mahmud tentang karya-karya Amir Hamzah yang menurut sebagin orang di Jawa, Damiri sangat kontroversial. Dibanding rekan seangkatannya, Damiri Mahmud boleh dikatakan jauh lebih bernas dan patut diperhatikan isi tulisannya.

Idris Pasaribu
A A A
Rebana - Minggu, 02 Sep 2012 

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda