Jika Listrik Menyetrum

by - November 06, 2012

Oleh Budi Hatees



Thomas Alfa Edison pastilah tak tahu soal tarif dasar listrik (TDL).  Ia hanya tahu, listrik membuat sesuatu menyala. Terang benderang. Sesuatu menjadi berseri-seri. Sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi peradaban manusia.
                                                                          
Barangkali ia  pun tak pernah membayangkan  bila listrik,  yang diidamkannya akan menyalakan peradaban manusia,  justru menyalakan malapetaka bagi kehidupan manusia, nun di sebuah negara bernama Republik Indonesia. Malapetaka ketika listrik itu dibicarakan orang seperti saat mereka membicarakan ekonomi, sehingga listrik tak lebih dari soal kebutuhan dasar  manusia yang sangat terbatas, yang harus dihemat dan dikendalikan pemakaiannya.
                                                                          
Tapi, justru karena itulah,  listrik akhirnya tak selalu membawa kemaslahatan. Tak selalu menyebabkan terang benderang.  Sering, justru membawa kemurungan. Menyebabkan gulita yang lebih kelam dari nasib buruk. Inilah yang akan dihadapi para pelaku usaha kecil dan menengah  (UKM) apabila anggota legislatif  menyetujui  kenaikan TDL yang diajukan pemerintah.

*

Rencana pemerintah untuk menaikkan TDL tahun depan sebesar 15% sudah disampaikan kepada DPR. Legislatif, yang belakangan makin mempertegas betapa sulitnya melembagakan sekian banyak perbedaan kepentingan politik menjadi sebuah konvensi yang luhur, telah memperlihatkan kecenderungan untuk tak kompak.  Sikap mereka lunak.

Ada fraksi di DPR yang mulai mendukung kebijakan baru itu. Alasannya logis, setidaknya berdasarkan logika berpikir mereka yang banyak dipengaruhi kepentingan-kepentingan politik untuk mendukung pemegang kekuasaan negara.  Alasan yang justru dipandang tak logis oleh fraksi-fraksi lain yang dipengaruhi hasrat politik untuk meruntuhkan tanggul kekuasaan Negara.

Selalu begitu setiap kali kebijakan Negara terkait kepentingan public mulai dipersoalkan. Dengan cepat dijadikan wacana, dirancang sebagai komoditas gagasan, semacam bola sepak dalam sebuah permain sepak bola.  Kita tak tahu harus mendukung siapa, karena tak ada pemikiran dan gagasan yang dirumuskan berdasarkan altruisme.

Di sana senantiasa berselwiran kepentingan yang bukan kristalisasi dari subtansi persoalan, hanya sesuatu yang sifatnya seolah-olah altruisme. Ada pengaburan fakta, dilakukan dengan memproduksi fakta-fakta baru yang sesungguhnya bukan realitas. Politik bermain di wilayah itu, membuat segala sesuatu perlu dikemas dengan teori dramaturgi yang diperkenalkan Erving Goffman lewat bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life (1959).

Pembahasan tentang kenaikan TDL di legislatif, disiapkan sebagai panggung depan agar public melihat betapa anggota DPR RI berjuang mati-matian untuk membela konstituennya. Padahal, ada panggung belakang yang tak transparan dimana para anggota legislatif itu merancang apa yang seharusnya terjadi,  dan apa yang seharusnya ditampilkan ke hadapan public.

Kepura-puraan, atau hal-hal yang sesungguhnya nonsense, dikomunikasikan kepada public seakan-akan itulah yang sedang terjadi. Media massa, beserta segala kemajuan teknologinya untuk mengemas pesan menjadi sesuatu yang bisa meledak begitu dasyat, menjadi bagian dari lakon yang terjadi di panggung depan. Psikologi public diaduk-aduk agar menjelma jadi penonton yang tak cerdas, yang menerima segala bentuk informasi seputar kenaikan TDL itu sebagai hiburan seperti acara-acara dialog di stasiun-stasiun televisi.

*

Kenaikan TDL memiliki implikasi yang sudah pasti. Ia akan merambat kemana-mana seperti wabah penyakit yang sukar dikarantina. Hukum ekonomi, apalagi di sebuah negara yang setelah reformasi seakan-akan menganut sistem ekonomi yang “memberikan kebabasan bagi si kaya untuk bertambah kaya”, akan membicarakan hal yang sudah bisa diduga.

Biaya-biaya akan terdongkrak, prediksi-prediksi pembiayaan harus evaluasi, dan analisis-analisis usaha harus diulangi. Pembengkakan demi pembengkakan biaya terjadi, dan harus ditutupi dengan cara menaikkan harga barang produksi, tak jarang diikuti dengan pengurangan jumlah tenaga kerja.

Di sinilah, apa yang pernah dijejalkan John Maynard Keynes di kepala para pemimpin di negara ini—biasa disebut kapitalisme dengan segenap citraannya seperti pasar bebas beserta monopoli—meninggalkan kemuraman. Harga barang naik, maka masyarakat luas selaku konsumen,  tidak akan mampu lagi menjadi konsumen. Perencanaan-perencanaan keuangan rumah tangga, yang sebelumnya sempat membuat mereka menabung, kini harus mengeruk semua tabungan agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.

Rakyat miskin di negeri ini, mereka yang berhak atas daya listrik 900 watt ke bawah, akan semakin tak sejahtera. Memang, mereka tak langsung merasakan kenaikan TDL karena rencana kenaikan ini tidak diarahkan langsung pada rakyat, tapi langsung kepada pelaku usaha. Mereka, dominan pelaku usaha di negeri ini, memproduksi ragam kebutuhan dasar masyarakat.

Inilah yang terjadi ketika listrik dibicarakan dan dikelola dengan prinsip-prinsip ekonomi. Tidak seorang pun bisa membantah bahwa rakyat semakin menderita. Pasalnya, prinsip-prinsip ekonomi itu dibangun di atas fondasi politik ekonomi yang menempatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pelaku tunggal, sehingga sangat dominan campur tangan pemerintah untuk “menyelamatkan” badan usaha milik negera (BUMN) ini.

Dominasi pemerintah ditancapkan sembari mengabaikan dan memasabodohkan realitas lemahnya perekonomian rakyat. Pemerintah lebih mengutamakan nasib baik bagi BUMN, karena yang menjadi alasan kenaikan TDL justru karena PLN merugi dan subsidi listrik yang salah sasaran serta tak bisa lagi ditolerir lagi.

Artinya, pilihan pemerintah tak menaikan TDL untuk listrik berdaya 900 watt ke bawah, sesungguhnya bagian dari politik ekonomi yang dirancang seolah-olah mendukung rakyat. Apalagi jika alasan itu diperkuat berbagai argumentasi terkait pemerataan subsidi hingga ke pelosok-pelosok negeri. Padahal, pemerintah sangat paham bahwa segala hal yang dibicarakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar ekonomi pasti akan menyengsarakan rakyat.

Rakyat adalah mereka yang berada pada mata rantai paling dasar dari rantai makanan. Mereka adalah entitas yang tak paham betapa segala bentuk kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif apa saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berimplikasi serius terhadap upaya mereka untuk lepas dari jerat kemiskinan dan ketidaksejahteraan secara social. *

You May Also Like

0 #type=(blogger)

Terima kasih atas pesan Anda