Jika Listrik Menyetrum
Oleh Budi Hatees
Thomas
Alfa Edison pastilah tak tahu soal tarif dasar listrik (TDL). Ia hanya tahu, listrik membuat sesuatu menyala.
Terang benderang. Sesuatu menjadi berseri-seri. Sesuatu yang membawa
kemaslahatan bagi peradaban manusia.
Barangkali
ia pun tak pernah membayangkan bila listrik, yang diidamkannya akan menyalakan peradaban
manusia, justru menyalakan malapetaka
bagi kehidupan manusia, nun di sebuah negara bernama Republik Indonesia. Malapetaka
ketika listrik itu dibicarakan orang seperti saat mereka membicarakan ekonomi,
sehingga listrik tak lebih dari soal kebutuhan dasar manusia yang sangat terbatas, yang harus
dihemat dan dikendalikan pemakaiannya.
Tapi,
justru karena itulah, listrik akhirnya
tak selalu membawa kemaslahatan. Tak selalu menyebabkan terang benderang. Sering, justru membawa kemurungan.
Menyebabkan gulita yang lebih kelam dari nasib buruk. Inilah yang akan dihadapi
para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM)
apabila anggota legislatif
menyetujui kenaikan TDL yang
diajukan pemerintah.
*
Rencana
pemerintah untuk menaikkan TDL tahun depan sebesar 15% sudah disampaikan kepada
DPR. Legislatif, yang belakangan makin mempertegas betapa sulitnya melembagakan
sekian banyak perbedaan kepentingan politik menjadi sebuah konvensi yang luhur,
telah memperlihatkan kecenderungan untuk tak kompak. Sikap mereka lunak.
Ada
fraksi di DPR yang mulai mendukung kebijakan baru itu. Alasannya logis,
setidaknya berdasarkan logika berpikir mereka yang banyak dipengaruhi
kepentingan-kepentingan politik untuk mendukung pemegang kekuasaan negara. Alasan yang justru dipandang tak logis oleh
fraksi-fraksi lain yang dipengaruhi hasrat politik untuk meruntuhkan tanggul
kekuasaan Negara.
Selalu
begitu setiap kali kebijakan Negara terkait kepentingan public mulai
dipersoalkan. Dengan cepat dijadikan wacana, dirancang sebagai komoditas
gagasan, semacam bola sepak dalam sebuah permain sepak bola. Kita tak tahu harus mendukung siapa, karena
tak ada pemikiran dan gagasan yang dirumuskan berdasarkan altruisme.
Di
sana senantiasa berselwiran kepentingan yang bukan kristalisasi dari subtansi
persoalan, hanya sesuatu yang sifatnya seolah-olah altruisme. Ada pengaburan
fakta, dilakukan dengan memproduksi fakta-fakta baru yang sesungguhnya bukan
realitas. Politik bermain di wilayah itu, membuat segala sesuatu perlu dikemas
dengan teori dramaturgi yang diperkenalkan Erving
Goffman lewat bukunya, The
Presentation of Self in Everyday Life (1959).
Pembahasan
tentang kenaikan TDL di legislatif, disiapkan sebagai panggung depan agar
public melihat betapa anggota DPR RI berjuang mati-matian untuk membela
konstituennya. Padahal, ada panggung belakang yang tak transparan dimana para
anggota legislatif itu merancang apa yang seharusnya terjadi, dan apa yang seharusnya ditampilkan ke
hadapan public.
Kepura-puraan,
atau hal-hal yang sesungguhnya nonsense,
dikomunikasikan kepada public seakan-akan itulah yang sedang terjadi. Media
massa, beserta segala kemajuan teknologinya untuk mengemas pesan menjadi
sesuatu yang bisa meledak begitu dasyat, menjadi bagian dari lakon yang terjadi
di panggung depan. Psikologi public diaduk-aduk agar menjelma jadi penonton
yang tak cerdas, yang menerima segala bentuk informasi seputar kenaikan TDL itu
sebagai hiburan seperti acara-acara dialog di stasiun-stasiun televisi.
*
Kenaikan
TDL memiliki implikasi yang sudah pasti. Ia akan merambat kemana-mana seperti
wabah penyakit yang sukar dikarantina. Hukum ekonomi, apalagi di sebuah negara
yang setelah reformasi seakan-akan menganut sistem ekonomi yang “memberikan
kebabasan bagi si kaya untuk bertambah kaya”, akan membicarakan hal yang sudah bisa
diduga.
Biaya-biaya
akan terdongkrak, prediksi-prediksi pembiayaan harus evaluasi, dan
analisis-analisis usaha harus diulangi. Pembengkakan demi pembengkakan biaya
terjadi, dan harus ditutupi dengan cara menaikkan harga barang produksi, tak
jarang diikuti dengan pengurangan jumlah tenaga kerja.
Di
sinilah, apa yang pernah dijejalkan John Maynard Keynes di kepala para pemimpin
di negara ini—biasa disebut kapitalisme dengan segenap citraannya seperti pasar
bebas beserta monopoli—meninggalkan kemuraman. Harga barang naik, maka
masyarakat luas selaku konsumen, tidak
akan mampu lagi menjadi konsumen. Perencanaan-perencanaan keuangan rumah
tangga, yang sebelumnya sempat membuat mereka menabung, kini harus mengeruk
semua tabungan agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
Rakyat
miskin di negeri ini, mereka yang berhak atas daya listrik 900 watt ke bawah, akan
semakin tak sejahtera. Memang, mereka tak langsung merasakan kenaikan TDL
karena rencana kenaikan ini tidak diarahkan langsung pada rakyat, tapi langsung
kepada pelaku usaha. Mereka, dominan pelaku usaha di negeri ini, memproduksi
ragam kebutuhan dasar masyarakat.
Inilah
yang terjadi ketika listrik dibicarakan dan dikelola dengan prinsip-prinsip
ekonomi. Tidak seorang pun bisa membantah bahwa rakyat semakin menderita.
Pasalnya, prinsip-prinsip ekonomi itu dibangun di atas fondasi politik ekonomi
yang menempatkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pelaku tunggal,
sehingga sangat dominan campur tangan pemerintah untuk “menyelamatkan” badan
usaha milik negera (BUMN) ini.
Dominasi
pemerintah ditancapkan sembari mengabaikan dan memasabodohkan realitas lemahnya
perekonomian rakyat. Pemerintah lebih mengutamakan nasib baik bagi BUMN, karena
yang menjadi alasan kenaikan TDL justru karena PLN merugi dan subsidi listrik
yang salah sasaran serta tak bisa lagi ditolerir lagi.
Artinya,
pilihan pemerintah tak menaikan TDL untuk listrik berdaya 900 watt ke bawah,
sesungguhnya bagian dari politik ekonomi yang dirancang seolah-olah mendukung
rakyat. Apalagi jika alasan itu diperkuat berbagai argumentasi terkait
pemerataan subsidi hingga ke pelosok-pelosok negeri. Padahal, pemerintah sangat
paham bahwa segala hal yang dibicarakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar
ekonomi pasti akan menyengsarakan rakyat.
Rakyat
adalah mereka yang berada pada mata rantai paling dasar dari rantai makanan.
Mereka adalah entitas yang tak paham betapa segala bentuk kebijakan pemerintah
terkait kenaikan tarif apa saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
berimplikasi serius terhadap upaya mereka untuk lepas dari jerat kemiskinan dan
ketidaksejahteraan secara social. *
0 #type=(blogger)
Terima kasih atas pesan Anda