MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

MAIN QUOTE$quote=Steve Jobs

Breaking News

Pungli dan Polisi di Sumut

Dipublikasi di Medan Bisnis edisi 24 Oktober 2012

SUBUH di Kota Aek Hanopan, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara,  masih bertahan pada 9 Oktober 2012  lalu, ketika mobil yang saya kendarai dicegat polisi berseragam lengkap dengan rompi hijau menyala.  Mereka, lima orang,  berasal dari kesatuan lalu lintas yang bertugas di Pos Jaga Lalu Litas Kota Aek Hanopan. Berdiri di marka jalan dan mencegat semua kendaraan yang melintas di jalan lintas Kisaran-Rantau Prapat itu, seorang polisi menyuruh saya berhenti. 

Begitu saya berhenti, polisi langsung meminta tanda pengenal saya, lalu surat izin mengemudi, kemudian surat tanda nomor kendaraan bermotor. Tak cukup itu saja. Polisi itu meminta kap mobil dibuka karena dia mau melihat nomor mesin mobil. Setelah kap mobil dibuka, polisi itu malah bertanya: “coba tunjukkan di mana nomor mesin mobil ini?”

Karena pertanyaan itu sangat aneh diajukan oleh seorang polisi yang ingin mengetahui nomor mesin mobil, saya balik bertanya:  “Bapak tidak pernah belajar di kepolisian di mana letak nomor mesin mobil?”  Pertanyaan saya membuatnya marah, dan mulai menyebut-nyebut bahwa dirinya seorang polisi yang sedang bertugas. 

Mengingat polisi itu bicara tentang tugas, saya langsung bertanya: “Siapa yang menugaskan bapak mencegat mobil saya subuh hari, memeriksa nomor mesin, dan menerima uang dari setiap truk yang lewat di depan pos polisi ini?”

Polisi berpangkat Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) itu semakin marah. “Ini pemeriksaan rutin untuk mencegah terorisme,” nada suaranya meninggi.  Saya malah tersenyum dan mengatakan: “Sprint siapa? Kapolda, Kapolres atau Kapolri. Saya tidak pernah mendengar ada Sprint itu di lingkungan Polda Sumut. Lagi pula, pencegahan terorisme kenapa hanya melibatkan lalu lintas.”

Si polisi Aiptu itu makin tegang.  Nada bicaranya semakin tidak jelas. “Bapak siapa?” tanyanya. Saya malah balik bertanya: “Kau siapa beraninya mengatasnamakan Sprint polisi untuk memungut uang di jalan.”

Tiba-tiba saja si Aiptu itu mengajak masuk ke pos polisi. Di dalam markas polisi lalu lintas itu, nada suara tak lagi tinggi. Lalu, dia bilang saya boleh lewat dan membawa kendaraan saya seakan-akan tidak pernah ada masalah di antara kami. Karena saya terburu-buru, mengingat perjalanan saya masih harus menempuh 7 jam lagi untuk sampai tujuan, saya buru-buru pergi.

Tapi, di sepanjang jalan lintas dari mulai pos polisi di Kota Aek Kanopan itu sampai Kabupaten Padanglawas, saya menyaksikan pemandangan yang sama tentang polisi yang berdiri di tengah-tengah marka jalan. Mereka selalu menerima sesuatu dari setiap pengemudi truk yang melintas di jalan raya. 

Beberapa sopir yang sempat saya ajak bicara mengatakan, mereka memberikan Rp 5.000 sampai Rp 10.000 kepada polisi, dan hal itu sudah berlangsung sejak lama. Selalu, bila melintas di jalan tersebut sekitar pukul 6.00 Wib sampai 10.00 Wib, para sopir truk harus menyiapkan uang paling sedikit Rp 50.000 karena banyak pos yang harus dibagi.

Polisi identik dengan pungutan liar (Pungli).  Di wilayah hukum Polda Sumut, polisi sebagai “raja pungli” sudah menjadi pendapat umum.  

Institusi yang memiliki peran dan fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ini, justru menumbuhkan keresahan bagi masyarakat terutama pengguna infrastruktur jalan raya. Kita tak tahu persis apa dasar hukum polisi melakukan pungli di jalan raya. Tapi, kita tahu persis bahwa pungli membawa implikasi serius terhadap perekonomian daerah. 

Pasalnya, mereka yang terkena pungli di jalan raya adalah para pelaku bisnis, baik sektor transportasi maupun sektor-sektor usaha lainnya. Pungli menyebabkan ekonomi biaya tinggi, yang membuat ongkos-ongkos produksi semakin mahal, dan pada akhirnya mendorong tingginya harga barang produksi. Pada titik tertentu, pungli mampu mendorong terjadinya inflasi. 

Barangkali polisi yang bertugas di jalan raya tidak pernah paham multiefek dari setiap kegiatan pungli yang dilakukan. Sebab itu, ada baiknya institusi Polri mempunyai solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan umum dari setiap personel yang bertugas di lapangan. Jangan sampai polisi yang bertugas hanya mengandalkan pengetahuan tentang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya, tapi tidak memiliki pemahaman yang bagus terkait dampak dari penyalahgunaan tugas dan tanggung jwab yang begitu sentral.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan tugas dan tanggung jawab personel Polri di lapangan sangat variatif.  Modusnya sama, yakni menggelar operasi khusus yang dikait-kaitkan dengan program-program Polri secara menyeluruh. Seperti halnya pengalaman saya di Kota Aek Kanopan, polisi lalu lintas mengaku menggelar razia tiap Subuh berkaitan dengan Sprint Kapolres Labuhan terkait pencegahan terorisme. Tapi, operasi pencegahan terorisme itu hanya melibatkan anggota korps lalu lintas, dan dikomandani oleh seorang Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu). 

Mungkin Polri mengira masyarakat tidak paham tugas dan tanggung jawab polisi, lalu mengasumsikan bahwa masyarakat tidak akan protes seandainya seorang anggota lalu lintas melakukan penangkapan terhadap tersangka korupsi. Artinya, personel Polri yang ada di lapangan sangat tidak cerdas dan tidak paham masalah perundang-undangan yang berlaku, kemudian mengira masyarakat sama tidak cerdasnya dengan mereka.

Apa yang dilakukan personel Polri di lapangan lebih tepat disebut pembodohan publik. Situasi inilah yang membuat Polri tidak akan pernah bisa memahami masyarakat, sehingga berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat acap tidak bisa diselesaikan sebagaimana mestinya. Peran dan fungsi Polri sebagai institusi penegak keadilan hukum tidak dilakukan oleh personel yang memang memahami makna dari penegakan hukum tersebut. 

Sudah tentu Polri akan membantah hal semacam ini sembari mengakui bahwa oknum anggota Polri memang banyak yang seperti itu. Persoalan sekarang,  polisi semacam ini hanya akan menjatuhkan nama baik institusi Polri. Mereka menjadi entitas yang akan menghambat segala upaya Polri dalam mereformasi diri. Reformasi di tubuh Polri yang berlangsung sejak awal dekade 2000-an akan menjadi sia-sia karena tidak diikuti dengan upaya meningkatkan profesionalisme kerja dari personel-personel Polri.